Lontar.id – Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh belakangan menunjukkan sikap politik berlawanan dengan Jokowi. Bos media televisi swasta ini, disebut-sebut mulai mempersiapkan figur untuk menghadapi Pilpres 2024. Padahal, pilpres masih lama. Jokowi-Ma’ruf baru saja dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada Oktober lalu.
Yang bikin Jokowi harus menanggapi manuver Surya Paloh, ketika bertemu dengan Ketum PKS Sohibul Iman. Jokowi seolah meradang, menerka maksud Surya Paloh yang tiba-tiba menemui PKS, partai oposisi di Pilpres 2019.
Surya Paloh dan Sohibul Iman sempat saling merangkul. Rangkulan itu penuh dengan rasa harmonis dan kegembiraan, sampai Jokowi mengomentari wajah Surya Paloh yang cerah usai pertemuan dengan PKS.
Jokowi ingin tahu maksud Surya Paloh, komunikasi apakah yang sudah terbangun dengan parpol yang konsisten berada di luar pemerintahan itu? Mungkinkah di tengah jalan, NasDem akan loncat pagar atau keluar dari partai pengusung pemerintah.
Jokowi semacam mendapatkan firasat buruk dari manuver Surya Paloh, sebuah lonceng peringatan keras bahwa NasDem bisa berbuat lebih meski tanpa berada di belakang Jokowi.
Entah apa yang dibahas Surya Paloh dan Sohibul Iman, bisa saja isi pembicaraannya terkait kemungkinan NasDem akan keluar dari koalisi, juga persiapan mengenai pilpres. Pertemuan itu tidak bisa dianggap sebagai pertemuan biasa, kedua ketum parpol.
Pasti ada pembahasan utama yang bahkan tidak disampaikan lewat media massa. Hanya keduanya yang tahu tentang kesepakatan apa yang sudah terjalin, bahkan Jokowi sekalipun tak tahu. Semua bisa saja terjadi, karena dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya memungkinkan bila kepentingan dapat dipertemukan. Hari ini berlawanan, besok saling berangkulan.
Contohnya, Jokowi dan Prabowo. Di pilpres saling sikut-menyikut dan sindir-sindiran, bahkan pemilu berujung di meja Mahkamah Konstitusi (MK). Namun setelah pemilu usai dan Jokowi-Ma’ruf dinyatakan sebagai pemenang, Prabowo kemudian masuk di kabinet sebagai menteri pertahanan. Semua bisa terjadi.
Selanjutnya, yang menunjukkan bahwa Surya Paloh terlibat ‘perang dingin’ dengan Jokowi. Ketika acara kongres ke-II NasDem di JI Expo, Jokowi sebagai presiden tidak diundang pada acara pembukaan. Sementara Anies Baswedan yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, justru mendapatkan undangan.
Meski NasDem beralasan, Jokowi akan diundang pada akhir kongres bersama dengan ketum partai lainnya. Hal ini menunjukkan ada ketidaklaziman setiap gelaran kongres atau acara partai politik. Kebiasaan pada umumnya, presiden selalu diundang untuk hadir sekaligus membuka acara dengan resmi di awal, bukan diakhir kegiatan.
Sekali lagi, Surya Paloh sedang memainkan seni politik, dalam bahasa lain yaitu bermanuver. Menampar Jokowi sekaligus PDIP dengan caranya sendiri.
Surya Paloh merupakan politikus yang telah malang melintang, pengalaman dan jam terbangnya tak perlu diragukan lagi.
Ia telah masuk dunia politik sejak zaman orde baru. Besar dan membesarkan Partai Golkar dan kini sebagai pendiri NasDem. Artinya, lewat pengalaman itu, Surya Paloh sedang bermain dalam suatu arena yang bahkan Jokowi tidak mampu membacanya.
Dugaan saya, Surya Paloh akan bermain di dua kubu secara bersamaan, tanpa disadari Jokowi. Karena bagaimana pun, Surya Paloh telah menghitung secara matang, tiga kadernya saat ini menjabat sebagai menteri di Koalisi Indonesia Maju, harus tetap aman.
Menjaga hubungan baik dengan Jokowi utamanya Megawati sebagai pengendali. Namun di sisi lain, Surya Paloh tetap mendapatkan tempat di kubu partai oposisi agar tetap menjaga stabilitas sampai jelang pemilu.
Editor: Ais Al-Jum’ah