Lontar.id– Dalam perjalanan hidup yang tidak mudah ini, tentu saja, kita seringkali diperhadapkan oleh banyak masalah-masalah hidup. Masalah di sini bukan mengawang-awang yang berada ditataran “ide”, misal, kapan waktu yang tepat untuk menikah? Bagaimana seharusnya saya membangun prinsip hidup yang futuristik dan lain sebagainya.
Masalah yang saya maksudkan di sini, lebih kepada tataran yang lebih praksis, misalnya bagaimana mengatur sampah dapur agar memiliki kadar limbah yang sedikit? Bagaimana cara mengetahui makanan yang sehat bagi tubuh dan tidak mencemari lingkungan? Dan lain sebagainya.
Sebagai umat yang beragama Islam, masalah-masalah demikian seharusnya bisa kita dapatkan dalam pengajaran keagamaan.
Kehidupan manusia berangkat dari kehidupan sehari-hari. Jam berapa kita bangun? Vitamin apa yang seharusnya dikonsumsi agar tetap bugar dalam menjalankan aktivitas bekerja di kota yang sangat padat? Seorang Ibu yang bekerja setiap hari di kantor dan kembali bekerja setelah pulang ke rumahnya. Di jalan kita menemukan anak-anak yang bekerja seharian meminta sekeping koin. Para trasngeder yang dipukuli, hingga diskriminasi terhadap para penganut agama lokal, sehingga tidak mampu menjalankan ritual beribadahnya.
Peristiwa-peristiwa di atas setiap hari kita temukan dan mungkin menjadi pengalaman pribadi. Dengan kata lain, masalah-masalah praksis itu adalah sesuatu yang penting untuk diselesaikan agar manusia dapat hidup dengan tentram. Jika tidak, maka tentu saja amanat beragama dalam konteks ini adalah Islam tidak terpenuhi. Dengan kata lain, agama (Islam) tidak memberi kita keselamatan. Padahal arti kata Islam itu sendiri adalah selamat.
Sejak kita bayi dan bertumbuh dewasa, entah itu di sekolah, di dalam rumah, dan pergaulan sehari-hari kurikulum dan sistem masyarakat tidak memberikan kita panduan praktis tentang bagaimana kita sebagai ummat Islam mampu menangkap isu-isu sosial yang tentu saja berkelindan pada tataran politik, ekonomi, dan budaya. Apa yang kita dapatkan dalam pembelajaran keislaman tidak menjadi jawaban kongkret atas masalah-masalah praksis, alih-alih membuat kita lebih peka dan kritis terhadap isu-isu sosial. Sederhananya saja, bagaimana fiqih mengatur pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, agar manusia tidak melulu memandang alam semata-mata sebagai objek.
Kemarin malam, (15/10/2019) dalam diskusi Forus Islam Progresif (FIP) setidaknya saya menemukan satu kepingan baru yang memberikan pengantar cukup penting tentang bagaimana Islam seharusnya membuat kita peka terhadap isu-isu sosial. Hal itu berangkat dari pemikiran Kuntowijoyo yang berusaha menyandarkan Islam sebagai jawaban dari permasalahan-permasalahan yang dijelaskan di atas.
Fadly Isna salah satu pembaca Kuntowijoyo dan pemantik diskusi FIP mengungkapkan bahwa gagasan Kunto pada dasarnya cukup progresif. Ia menjelaskan landasan pemikiran Kunto dengan memaknai apa yang disebut “profetik”.
Profetik jika diartikan literal berarti kenabian. Sebagai umat yang beragama Islam, kita tentunya yakin bahwa Nabi adalah manusia yang berhasil membawa misi keislaman yang rahmatan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam. Kunto melalui tulisan-tulisannya terlihat mengetengahkan profetik tidak dari tataran filsafat, melainkan dari tataran etika.
Sederhananya, memaknai etika profetik sebagai sikap integaratif terhadap kebersandaran manusia kepada Tuhan dan sesamanya dengan meniru perbuatan Nabi. Maksudnya adalah meskipun Nabi telah mencapai tingkatan sebagai manusia agung (mistis) namun tetap diperintahkan menjalankan tugas-tugas kerasulannya. Artinya, hubungan manusia dengan Islam seharusnya hubungan yang erat yang membawa perubahan pada kehidupan sehari-hari dalam lingkup masyarakat.
Saya sendiri mengenal Kunto melalui karya sastra yang ditulisnya, salah satunya adalah novel Pasar (1994). Secara mendasar, novel Pasar bercerita tentang pergolakan orang-orang kampung yang justru banyak terjadi di pasar.
Pasar menjadi ruang yang sangat signifikan untuk melihat kehidupan warga dalam suatu kampung. Bagaimana hubungannya dengan tetangga, hubungan asmara, persaingan pekerjaan dan status sosial. Melalui pasar Kunto secara sadar berupaya menunjukkan bahwa melihat Islam bukan hanya dalam masjid tapi justru paling kompleks terjadi di pasar. Dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi, novel Pasar juga bisa dibaca sebagai respon atau tanggapan kritis Kunto terhadap kapitalisme. Ia melihat bahwa sistem kapitalis telah masuk ke desa-desa melalui pasar dan hal itu secara besar mengubah kebudayaan dan kebiasaan masyarakatnya. Misalnya yang dulunya sangat komunal menjadi lebih individualis.
Kunto secara terang-terangan memang meneguhkan pandangannya sendiri bahwa sastra yang ia pijak adalah sastra profetik yang berarti sastra yang tidak terpisah dari realitas. Ia mengatakan sastra profetik adalah sastra yang dialketik, artinya sastra berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya. Namun yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah apakah sastra itu mampu menjadi bagian dari gerakan itu sendiri yang termanifestasi dalam laku hidup yang sesuai dengan prinsip hidup yang “profetik”?
Pertanyaan itu belum sempat saya tanyakan pada diskusi kemarin malam. Namun tentu menjadi pekerjaan rumah baru untuk saya menemukannya pada tulisan-tulisannya yang lain dan pada tokoh-tokoh pemikir Islam yang lain. Saya yakin, ada banyak pemikir Islam yang perlu dibaca untuk membuka wawasan kita terhadap Islam dan tentu saja agar membuat kita lebih peka terhadap permasalahan sosial-politik yang menjangkiti bangsa Indonesia saat ini.