Lontar.id – Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, akan memimpin Myanmar di Pengadilan Dunia pada hari Rabu (11/12/2019). Negaranya menghadapi tuduhan genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Gambia, sebuah negara kecil di Afrika Barat, telah melaporkan Myanmar di Pengadilan Tinggi Internasional, menuduh negara itu melanggar Konvensi Genosida 1948.
Dilansir Reuters, Rabu (11/12/2019), Suu Kyi, pemimpin politik utama Myanmar, mengejutkan para kritikus dengan melakukan perjalanan ke Den Haag, untuk memimpin delegasi negaranya. Kantornya mengatakan dia akan membela kepentingan nasional.
Suu Kyi mendengarkan dengan tenang pada hari Selasa (10/12/2019), ketika pengacara untuk Gambia, merinci kesaksian gamblang tentang penderitaan Rohingya di tangan militer Myanmar.
Dalam tiga hari persidangan minggu ini, hakim mendengarkan fase pertama kasus ini, yakni tuntutan Gambia untuk “tindakan sementara”, setara dengan perintah penahanan terhadap Myanmar, untuk melindungi populasi Rohingya sampai kasus ini didengar secara penuh.
Meskipun Suu Kyi belum mengungkapkan rincian pembelaan pemerintahnya, dia dan tim hukumnya diharapkan berdebat, bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi, dan bahwa tidak ada genosida yang terjadi di Myanmar.
Gambia berpendapat itu adalah tugas setiap negara di bawah Konvensi 1948, untuk mencegah genosida terjadi. Gambia mendapat dukungan politik dari Organisasi Kerjasama Islam, serta beberapa negara Barat termasuk Kanada dan Belanda.
Lebih dari 730.000 etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar, setelah militer melancarkan tindakan keras di negara bagian Rakhine barat negara itu pada Agustus 2017. Sebagian besar kini tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Myanmar berpendapat bahwa “operasi pembersihan” militer di Rakhine adalah tanggapan yang dapat dibenarkan untuk tindakan terorisme, dan bahwa tentaranya telah bertindak dengan tepat.