Lontar.id – Menkopolhukam Mahfud MD mengklaim tak ada kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di era pemerintahan Jokowi, sejak pertama dilantik pada 2014-2019 hingga periode kedua 2019-2024.
Pernyataan Mahfud MD tak berbanding lurus dengan hasil laporan yang yang dipegang KomnasHAM.
Komisioner KomnasHAM Amiruddin menjelaskan bahwa setiap bulannya, masyarakat memasukkan laporan terkait adanya pelanggaran HAM, yakni sekitar 50 kasus.
Kasus pelanggaran HAM yang ada di meja KomnasHAM, mulai dari pelanggaran ringan hingga pelanggaran berat masih menumpuk. Ia mengaku tak mengerti maksud Menkopolhukam Mahfud MD yang menyebutkan tidak adanya kasus pelanggaran HAM di era Jokowi.
Bahkan jika dirinya bertemu langsung dengan Mahfud MD, ia akan mempertanyakan kebenaran pernyataan tersebut agar tidak terjadi simpang siur.
“Kalau KomnasHAM dalam 1 bulan menerima sekitar 50 pengaduan artinya ada warga negara yang merasa, ingat yang merasa HAM dia tercederai itulah yang terjadi hari ini. Jadi apa yang dimaksud Pak Mahfud saya enggak ngerti, mungkin kalau ketemu saya akan tanyakan langsung,” kata Komisioner KomnasHAM Amiruddin saat diskusi HAM dan Media Massa di Gedung KomnasHAM, Jumat (13/12/2019).
Dalam hasil survei KomnasHAM bekerja sama dengan KOMPAS pada September-Oktober 2019 menunjukkan besarnya angka pelanggaran HAM era Jokowi. Pada Survei itu mengangkat dua topik utama seperti refleksi 20 Tahun UU 39 dan pelanggaran HAM masa lalu. Sedangkan topik lainnya menyangkut kekerasan terhadap masyarakat Papua.
Khusus untuk pelanggaran HAM berat di masa lalu, masyarakat menginginkan kasus diselesaikan di meja pengadilan hingga tuntas. Menyeret semua para pelaku untuk diadili. Sebanyak 80 persen responden menyatakan kasus pelanggaran HAM berat segera dituntaskan. Namun penyelesaian kasus itu menghadapi hambatan cukup berat dalam konteks hukum yaitu politik.
Responden percaya sebanyak 60-70 persen menyebutkan adanya hambatan politik, karena pelaku dianggap sulit diseret ke meja hijau karena berada di lingkaran kekuasaan.
Pertanyaan lain yang diajukan yaitu, kasus pelanggaran diselesaikan di mana? 62 persen responden menjawab harus diadili di pengadilan nasional, 37 persen di pengadilan internasional dan 0,5 persen di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Dari hasil survei KomnasHAM, terpotret responden masih meragukan kemampuan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dalam menyelesaikan kasus HAM masa lalu karena ada nuansa politis.
“Intinya sederhana bahwa masyarakat menyatakan untuk pelanggaran HAM berat perlu pelakunya diperiksa di pengadilan. Masyarakat menilai pengadilan harus ada,” ujar Amiruddin.
Ketua Komisioner KomnasHAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pihaknya telah mengirim surat ke Presiden Jokowi terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Menurut dia, ada dua cara yang bisa ditempuh, pertama menyeret pelaku ke pengadilan atau menggunakan jalan dengan memilih lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“Sekarang pemerintah (Jokowi-Ma’ruf) memerintahkan Menkopolhukam untuk membikin UU. Tetapi kita juga ingatkan agar mengajak korban atau kolega korban untuk bicara, sehingga prinsip-prinsip keadilan benar-benar didialogkan. Karena mereka adalah subjek utama yang merasakan akibat dari pelanggaran HAM,” terangnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah