Jakarta, Lontar.id – Film zaman dulu kembali menghiasi layar lebar di Indonesia dengan wajah baru yang lebih segar. Mereka semua sukses membawa hasrat kita kembali dalam menonton film Indonesia di layar lebar, setelah film-film Eropa merajai daftar tontonan kita.
Bagaimana tidak, persaingan melebarkan jarak begitu jauh. Tampak jomplang, karena film-film bergenre misteri dan romansa kurang menggigit. Secara spesifik film horor pada era 2000-an terlalu mengedepankan erotisme dan nirsubstansi.
Bukannya film tempo dulu tak bermain di ranah seksualitas jika menyebut genre mistik. Tercatat, adegan seks bermunculan dalam film pada 1970-an. Awalnya adegan itu hanya digunakan sebagai pelengkap. Namun, pada 1980-an sampai 1990-an, elemen itu menutupi cerita dan mendapatkan banyak porsi.
Perbedaaan waktu yang terpaut jauh itu, mengubah banyak hal. Modernisme tampak seperti dua mata pisau: memajukan atau merusak peradaban. Disebutkan, era tontonan mistis mendongkrak dan memengaruhi budaya medio 70 hingga 90-an
Peneliti budaya populer Indonesia Katinka van Heeren mencatat, sejak film Ratu Ular (1972) jumlah produksi film horor di Indonesia terus meningkat. Menurutnya, bahkan film horor menjadi satu-satunya yang diproduksi kala industri film Indonesia anjlok sejak 1993.
Artikel surat kabar semasa 1993 dan 1994 pun menyebut genre yang kerap disebut juga film klenik atau film mistik ini sebagai representasi industri film Indonesia. Sebutan ini setara dengan produksi film kungfu yang identik dengan Cina atau film India yang khas dengan selingan tarian dan nyanyiannya.
“Pengamat budaya Indonesia mencoba untuk menjelaskan fenomena film horor ini dengan menyatakan bahwa genre tersebut terkait erat dengan masyarakat Indonesia dan budaya Timur yang menurut mereka identik dengan mistik dan hal-hal supernatural,” sebut Heeren dalam “Return of the Kyai: Representations of Horror, Commerce, and Censorship in Post-Suharto Indonesian Film and Television.”
Atas dasar itu, saya mewawancarai Rezkiyah Saleh Tjako, pendiri komunitas Findie, tempat perkumpulan pencinta film di Makassar. Kami berbincang lewat telepon dengan penuh semangat diiringi derai tawa dalam membahas wajah film Indonesia saat ini
Lama berbasa-basi, ia langsung menanggapi pertanyaan saya soal bagaimana film Indonesia tahun 2018 dan pendangannya soal akankah wajah karya sineas Indonesia akan berubah pada tahun ini. Apalagi dengan melejitnya nama Joko Anwar serta film Wiro Sableng.
Baca juga: Ada Jadul Reborn di Balik Kebangkitan Perfilman Tanah Air
Toh, kisah pendekar kapak maut naga geni 212, Wiro Sableng, muridnya Sinto Gendeng, menambah deretan daftar film jadul yang masuk bioskop. Ia disentuh dengan gaya hollywood dengan terlibatnya rumah produksi sekelas Fox dan LifeLike Picutre dalam proses penggarapannya.
Secara gamblang, soal pertanyaan tadi, ia menjawab tidak. Tidak ada perkembangan melainkan hanya memoles sedikit rupa film-film yang top pada masa lalu, seperti pada tahun 70 hingga 90-an. Soal alasannya, film Indonesia begitu gampang ditebak ke mana arahnya.
“Kita masih berkutat di film romantis dan horor. Dari amatan 2018, kita akan ramai-ramai kembali ke masa lalu. Masa lalu yang dimutakhirkan. Postmo-postmo begitu ya.”
“Secara tahap, kita belum bisa maju lagi untuk membuat gaya baru dalam dunia film. Masyarakat kita sudah bisa ditebak tontonannya dan sangat jomplang jika dibandingkan dengan luar negeri seperti Eropa.”
Diakuinya, penonton di Eropa, sulit ditebak genre kesukaannya. Banyak film yang dikerja secara serius, dan membuat mereka bersemangat untuk menonton beragam genre dan tidak fokus pada satu genre saja. Kekuatan film nyaris sama-sama kuat dan punya nilai masing-masing.
Di Indonesia, beberapa tahun terakhir, film Indonesia menampakkan ciri khasnya lewat genre, seperti horor dan percintaan. Dalam genre horor, ada nama Pengabdi Setan dan sementara romansa, ada nama Ayat-ayat Cinta.
Lantas bagaimana soal film action jika sineas Indonesia ingin mengubah paradigma itu? Rezky yang akrab disapa Eky ini lalu berkata sulit. “Misalnya mau bikin film action, itu sulit sekali. Harus punya modal besar. Bedanya dengan Eropa, mereka mau gelontorkan uang banyak karena memang pasarnya besar.”
“Bukti keseriusannya itu, riset untuk bikin satu film itu sangat lama. Dan mereka didukung penuh oleh negaranya. Satu yang bisa ditebak: isi dari film layar lebar dari Eropa itu penuh propaganda dan sasarannya jelas,” bebernya.
Selain layar lebar, film indie di Eropa juga hidup. “Jadi penonton film indie dan layar lebarnya itu sama-sama kuat. Itu yang kurang bisa ditebak.”
Soal Indonesia? Ia akui, sudah banyak kemajuan dari muka perfilman kita. Setidaknya kualitas sudah makin baik dari hari ke hari. “Pokoknya tahun ini akan banyak yang diadaptasi dari masa lalu. Cuma diubah sedikit.” tandasnya.