Politik praktis dinilai bermuatan negatif bagi sebagian orang. Meski begitu, Manuver Ma’ruf Amin dan kemasan media dalam membentuk opini kelompok suporter mendukung Jokowi-Ma’ruf sudah menuai kontroversi.
Minggu 6 Januari kemarin, suporter PSM dibikin pusing tentang seseorang yang mencatut PSM. Kelompok suporter pun ikut terbawa. Mereka kepanasan dengan seseorang yang membawa nama kelompok suporter dalam mendeklarasikan dukungan ke pasangan calon nomor urut 1.
Banyak sekali yang tidak setuju. Seperti yang diutarakan Presiden Red Gank, Sul Dg Kulle. “Kami merasa tidak pernah mendeklarasikan dukung-mendukung paslon tertentu. Mendukung itu hak pribadi, tapi jangan sampai membawa nama kelompok,” bebernya.
Ia pun memohon maaf buat yang mendeklarasikan dukungan dengan membawa nama suporter PSM untuk tidak lagi membawa nama PSM. “Janganmi bawa nama PSM kodong. Yakin, akan banyak yang tersakiti.”
Sampai sekarang, pria dengan embel-embel PSM yang bersama Ma’ruf, belum diketahui siapa. Sul bahkan meminta pria itu untuk unjuk diri dan mengaku dari suporter apa di Makassar. “Karena kalau tidak, akan terjadi generalisasi.”
Senada dengan Sul, Ketua Komunitas VIP Selatan, kelompok suporter PSM juga, menolak untuk disebut sebagai pendukung salah satu calon. Secara tegas, ia mengklaim tidak mendukung baik pasangan 1 atau 2 di kontes pilpres.
Dalam amatan saya, meski belum jelas identitas mereka yang datang menemui Ma’ruf yang mendaku dari kelompok dari pelbagai klub, setidaknya ada koneksi saling menguntungkan di balik keduanya. Paling dekat, mereka bisa mengintervensi Ma’ruf untuk membereskan sengkarut sepakbola Indonesia. Itupun jika memang mereka bukan kelompok suporter kaleng-kaleng. Jangan sampai cuma catut saja.
Sengkarut itu ada banyak. Satu uraian yang jelas adalah memutus rantai mafia yang kian hari kian terang namanya di media kita, tepat saat momen pilpres lagi hangat-hangatnya seperti roti. Setiap orang bisa menyantapnya dan saat sampai di mulut betapa nikmatnya dirasa.
Isu besar itulah yang membuat kelompok suporter banyak berharap dengan instrumen negara untuk menyetop hal itu. Mengharapkan PSSI bisa saja, namun penuntutasannya barangkali akan lama, karena orang di dalamnya, sebagian, disebut sebagai lumbung kebobrokan sepakbola yang paling primer.
Soal mafia bisa jadi. Soal lain yang lebih vulgar yang bisa menimbulkan curiga pada publik? Karena pikiran saya inilah, maka suporter memang tidak setuju pihaknya ada yang merapat dan membawa organisasi untuk mendukung copras-capresan. Mendukung atau tidak, kita sedang berpolitik dengan pilihan kita.
Sejarah Politik dalam Olahraga
Bukan kali ini saja politisi dan elemen sepakbola serta olahraga bekerja sama dalam membangun citra. Masa-masa Orde Lama juga pernah lewat Ganefo, setelah Sukarno dan kompatriotnya yang seideologi merasa diputus jalurnya oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC), karena tidak sepaham lewat ide Soekarno yang memasukkan sepakbola ke politik.
Sebelum itu, Soekarno dilarang berpolitik dan harus bergerak sesuai kemauan IOC. Soekarno berang, karena keputusan panitia IOC tidak memasukkan Israel dan Taiwan dalam Asian Games bermuatan politis, meski IOC berdalih, kedua negara itu tak punya visa.
Padahal, secara tak kasat mata, analis politik menyatakan motif sesungguhnya tetap berkaitan dengan status Israel yang dinilai sebagai penjajah bangsa Palestina. Sementara Taiwan tidak mempunyai hubungan diplomatik resmi dengan Pemerintah RI karena dianggap bagian Republik Rakyat Cina (RRC).
Soekarno mau semua negara dirangkul. Merasa tidak diakomodir, maka diingatlah The New Emerging Forces (Nefo), lawan dari The Old Established Forces (Oldefo), tempat berkumpulnya negara Blok Barat. Nefo sendiri adalah kelompok negara-negara progresif dan mewakili kekuatan baru di tengah bipolarisasi Blok Barat dan Blok Timur. Negara-negara Nefo tumbuh di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Games of The New Emerging Forces (Ganefo) pun terbentuk. Mirip IOC. Ganefo adalah pesta olahraga bagi negara-negara Blok Timur. Saat dibukanya Ganefo, dengan tegas Bung Karno dengan lantang menentang pilih kasihnya IOC.
“Mari berkata jujur.. Saat mereka (IOC) mengucilkan RRC, apakah itu bukan politik? Saat mereka tak ramah dengan Republik Arab Bersatu, apakah itu bukan politik? Saat mereka tak ramah pada Korea Utara, itu bukan politik? Saat mereka mengucilkan Vietnam Utara, itu bukan politik? Saya hanya sedang jujur. Olahraga memiliki kaitan dengan politik. Indonesia menawarkan untuk mencampurkan olahraga dengan politik, maka mari bangun GANEFO melawan Oldefo,” katanya sebagaimana tertuang dalam Buletin Ganefo edisi pertama (Juli 1963).
Kedua, Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah memakai Gelora Bung Karno sebagai tempat untuk ulang tahun mereka. PKI saat itu mesra-mesranya dengan Soekarno. PKI yang pada medio 1955 memang gencar berkampanye lewat sepakbola.
Secara organisasi, PKI menganggap jika sepakbola itu penting diurus dengan bagus. Sebenarnya bisa sangat panjang jika berbicara soal sepakbola dan gerakan politik. Seperti Witarsa dan Ramlan yang menjadi calon legislatif yang notabene berperan sebagai pemain Timnas Indonesia saat itu. Keduanya adalah pion dan poin penting bagi PKI untuk menggerakkan mesin partainya saat itu.
PKI pastinya ingin menang, seperti yang dikabarkan di Harian Rakjat medio 1955, masyarakat lalu dibuainya dengan janji untuk membenahi stadion. Jika mimpi itu ingin digapai, maka ‘coblos’ jalan keluarnya. Dan terbukti, Stadion Senayan di Jakarta lalu terbangun karena Soekarno dan peranan PKI punya andil di dalamnya.
Munafri, Contoh Sukses Perpaduan Olahraga dan Politik
Dulu banyak yang sempat cemas jika PSM Makassar akan menciut namanya saat Munafri maju ke palagan pemilihan calon wali kota di Makassar. Katanya, Munafri atau Appi lebih baik mengurus PSM saja. Fokus.
Ide-ide ini sempat ramai dibincangkan di ruang-ruang publik dan media sosial. Tapi, pihak Munafri tak ambil pusing. Ia tetap berjalan apa adanya. Membagi fokusnya ke PSM dan gerakan politik praktis.
Pada akhirnya, ada yang dikorbankan. Appi harus menerima kalah dari kotak kosong. Ia juga banyak dicecar dan dinyinyiri akibat ia terjun ke dalam jalur yang sama sekali ia tidak ketahui medannya. Lebih baik di PSM, kata orang-orang.
Tapi apakah politik merusak PSM? Tidak sama sekali. PSM tetap jalan dan tampil trengginas, meski pemainnya tetap terang-terangan mendukung bos besarnya dalam Pilwali Makassar dan dihujat sana-sini.
Saya kira, PSM sudah begitu hebat bercokol di posisi 2 klasemen akhir Liga 1. Meski dimaki, meski dicibiri, meski bosnya dianggap tidak akan mampu mengurus sepakbola saat berpolitik, semuanya terbantahkan. PSM nyaris juara.