Lontar-id– Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pernah menyebut pelaut Bugis sebagai bajak laut yang merupakan perampok. Anggapan itu sesungguhnya digunakan untuk menyindir Najib Razak yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia dan diduga melakukan tindakan korupsi.
“Hari ini masalahnya luar biasa. Karena apa dia luar biasa? Sebabnya karena kita dipimpin oleh seorang Perdana Menteri pencuri, penyamun, perompak. Nah inilah negara kita hari ini. Tak pernah berlaku semacam ini di mana perdana menteri adalah seorang perompak. Mungkin karena dia berasal dari lanun bugis. Entah bagaimana dia sesat sampai ke Malaysia. Pergi baliklah ke Bugis.” Kata Mahathir.
Pernyataan Mahathir di atas memuat stereotipe etnis Bugis sebagai kelompok pencuri dan penyamun. Ungkapan Mahathir jika dikaitkan pada historitas pelaut suku Bugis justru sangat kontras.
Pelras dalam bukunya The Bugis (1996) secara jelas menyebutkan bahwa pelaut Bugis sangat terkenal dan ditakuti. Selain itu, ia juga menyebut bahwa selama ini bajak laut seringkali dikaitkan dengan perbudakan dan hal itu memberikan anggapan negatif terhadap bajak laut Bugis seperti Mahathir yang menyebut bajak laut Bugis sebagai perampok.
“Sangat sedikit sumber dari abad ke-19 yang secara langsung menyebutkan orang Bugis Sulawesi selatan terlbat aksi perampokan di laut, dan laporan Belanda yang paling rinci tentang masalah tersebut yang ditulis pada 1846 hampir tidak pernah menyebutkan adanya perampok dari Bugis.”
Pelras bahkan mengatakan, justru pelaut Bugis lah yang menjadi sasaran perampok. Para pelaut Bugis dikenal handal dalam hal perdagangan. Pada tahun 1825, perahu dagang di Wajo jumlahnya sekitar 100 buah, 100 di Mandar, 100 di Kaili, 50 di Wajo, 10 di Pare-Pare, 50 di Flores, 40 di Sumbawa, 50 di Bali dan Lombok, 50 di Bonerate, 66 di bagian timur dan tenggara Kalimantan, 20 di bagian barat Kalimantan, 50 buah di Jawa. Jika ditotalnya jumlahnya hampir 700 dan itu hanya perahu yang berasal dari Wajo.
Para pelaut Bugis berlabuh di pelabuhan-pelabuhan guna mengumpulkan produk-produk setempat sekaligus sebagai titik pemberangkatan dan pelayaran dagang mereka menuju pelabuhan-pelabuhan utama di kawasan Nusantara, Singapura, dan wilayah-wilayah lain. Berbagai catatan menyebutkan kapasitas perahu dagang Bugis pada masa itu sekitar 20-80 ton.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sekitar 1850 situasi perdagangan laut di Nusantara perlahan meredup karena kehadiran kapal-kapal layar dari Eropa. Persaingan di wilayah timurmenjadi kian sengit dengan diperkenalkannya kapal uap reguler pada 1891 oleh perusahaan navigasi kerajaan Belanda (KPM) ke pelabuhan-pelabuha kecil seperti Bajoe atau Palopo di Sulawesi Selatan. Itulah mengapa, hingga akbir abad ke-19 sampai saat ini, aktivitas dagang pelaut Bugis hanya sebagai pelengkap aktivitas perdagangan kapal modern.
Kejayaan pelaut Bugis nampaknya saat ini hanya sekadar cerita masa lalu. Identitas para pelaut Bugis yang disegani dan terkenal mengarungi laut perlahan punah, khususnya ketika mendengar kabar kematian pelaut Bugis, Muhammad Al-Fatah asal Enrekang yang meninggal di atas perahu dan dibuang di laut.
Baca Juga: Pelaut asal Sulsel dan Fakta Pemakaman di Laut
Kisah Muhammad Alfatah menyiratkan kisah kelam dan penderitaan para pelaut Indonesia yang berlayar di luar negeri. Pengalaman suram mungkin tidak hanya menimpa Muhammad AlFatah namun pelaut-pelaut kita lainnya.