Jakarta, Lontar.id – Ibuku orang yang kuat. Ia pekerja keras hingga pensiun. Ia sering berkisah padaku, saat aku masih remaja, soal rutinitasnya sebagai petani. Petani di Bima, tepatnya di Desa Parado, adalah pekerjaan mayoritas orang-orang.
Kisah-kisah soal kunjungannya ke sawah selalu menarik untuk kudengar. Apalagi sawahnya jauh dari rumah dan harus melewati gunung, serta jalan setapak yang berkelok, hanya cukup dilewati satu orang. Butuh kesigapan menjejak, kalau salah sedikit, jurang menganga siap menelan ibu. Kadang, usai hujan memuntahkan berton-ton air, jalan itu becek dan licin.
Ibu pergi dengan membawa bekal dan peralatan. Di tangannya, tertenteng ember berisi banyak air, dan semua peralatan sebagai petani dibawa. Di kepalanya bertengger satu lagi ember, biasanya diisi dengan nasi, sayur, ikan, dan sedikit beras untuk dimasak di gubuk pinggir sawah. Bapak pun demikian, ia membawa barang lebih banyak dari ibu, untuk keperluan lainnya.
Dulu kami punya hewan peliharaan sapi dan kuda. Biasanya, bapak fungsikan untuk mengangkut padi hasil panen, tapi tak lama. Ada saja orang yang tidak suka, mereka diam-diam mengambil satu per satu, ada juga yang ditebas kaki dan badannya lantaran masuk di areal sawah dan ladang orang.
Setelah itu, bapak tak lagi menggunakan jasa sapi dan kuda, melainkan menggunakan tenaga sendiri, memikul padi dari sawah hingga sampai rumah, jaraknya jauh, berkilo-kilo meter. Hasil panen pun tak menentu, hanya cukup untuk kebutuhan.
Bapak juga menjalani pekerjaan sebagai juru tulis (sekretaris desa), sama persis dengan lama berkuasanya rezim orde baru waktu itu. Gaji bapak bukan berupa uang, tapi sebidang tanah lahan garapan yang dikasih oleh negara.
Pekerjaan bapak sedikit terbantu oleh kakakku. Mereka bekerja pontang-panting. Aku tak punya ingatan banyak tentang kakakku waktu itu. Karena aku masih kecil.
Kakakku yang pertama, baru aku lihat wajahnya saat dia menyelesaikan studi di Ujung Pandang (IAIN), dia hanya pulang sebentar, lalu kembali lagi mencari pekerjaan di sana. Setahuku dia bekerja sebagai wartawan, lepas itu dia mengabdi sebagai seorang guru di Kalimantan.
Kakakku yang kedua, mewarisi ayah. Dia kuat bekerja, baik, dan jarang menolak jika ada orang yang datang membutuhkan tenaganya. Namun pada 2002-2003, ia jatuh sakit, badannya tak bisa digerakkan, dia hanya tergeletak di tempat tidur dan tak bisa bicara dengan jelas. Hanya bahasa isyarat. Seisi gubuk kami mencoba paham, dan perlahan orangtua ku mengerti apa yang mau ia katakan.
Saya masih ingat, jelang kakakku mengembuskan napas terakhir. Waktu itu aku sudah kembali dari Jawa, bersama dengan saudari ibuku. Sebenarnya aku sudah putuskan akan masuk sekolah di Jakarta Timur, tinggal bersama saudaraku yang ketiga dan keempat, tapi ibu tak bisa mengurus sendiri kakakku, akhirnya aku putuskan untuk kembali ke kampung.
Kakakku tiba-tiba pingsan tanpa sebab selama tiga hari. Rumah mulai ramai dikunjungi tetangga dan keluarga, mereka hanya mengirimkan doa ke langit, mengetuk pintu rumah Tuhan agar secepatnya sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala. Namun Tuhan punya rencana sendiri, meskipun doa dan harapan telah dikirim, dia memanggil hambanya kembali ke sisinya.
Di hari ke-3, kakakku pergi dengan bahagia, senyum simpul terlihat jelas di bibirnya saat detik-detik kepergiannya. Mungkin kerinduannya yang amat dalam, karena berhasil mengambil tiket bertemu dengan penciptanya.
Isi rumah tiba-tiba tumpah dengan air mata, suara tangisan memecah keheningan. Dia pergi tak kembali lagi tuk selamanya. Meninggalkan kami, keluarga, dananak semata wayangnya. Dia bahagia.
Anak Petani Gagal Jadi Petani
Meski bekerja di kantor desa sebagai juru tulis selama 32 tahun, bapak sebenarnya adalah seorang petani tulen. Lahan milik bapakku waktu itu masih terbilang cukup banyak, mulai dari areal sawah, ladang, hingga kebun. Alasannya, ia salah satu penduduk asli di permukiman tersebut dan mendapatkan jatah lahan garapan di masa Soeharto berkuasa.
Bapak sebenarnya orang yang sangat demokratis, dia tak memaksakan kehendak dirinya menjadikan keturunannya sebagai petani. Dia membiarkan anaknya memilih dan menentukan sendiri jalan masing-masing, termasuk mencari pekerjaan sesuai dengan keinginan.
Praktis, empat orang anaknya memilih pergi jauh dari kampung, merantau. Kecuali almarhum nomor dua. Saya dan kakak yang pertama, memilih Ujung Pandang, sebagai tempat mengais ilmu di IAIN.
Lama merantau di Kota Daeng, berkenalan dengan budaya masyarakat, bahasa, mencicipi kuliner khas Ujung Pandang adalah satu dari sekian cerita selama di sana.
Sedangkan saudaraku yang ke tiga dan ke empat, merantau ke Jakarta, mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan keluargannya. Kadang sekali dalam setahun kami harus pulang ke kampung, tetapi belum pernah pulang secara bersamaan, berkumpul kembali seperti dulu.
Saya merasa, kami adalah potret anak petani yang gagal jadi petani. Suatu pekerjaan yang ditekuni orang tua kami hingga usianya uzur. Ladang, sawah, dan kebun, dibiarkan begitu saja, tak ada yang garap. Tetapi bapak tak ingin melihat lahan tersebut tidak dimanfaatkan, akhirnya dia menyuruh orang lain menggarap lahan tersebut, hingga suatu waktu nanti, anak-anaknya akan datang kembali ke kampung dan memanfaatkan lahan warisannya.
Penulis: Ruslan