Pemilihan calon anggota legislatif tahun 2019, ikut diramaikan kelompok milenial. Mereka nantinya akan berebut suara rakyat di masing-masing daerah pemilihan (Dapil), agar terpilih mewakili suara konstituennya.
Memang disadari, tidaklah mudah mengambil simpati pemilih di tengah politik transaksional. Semuanya harus dihitung berdasarkan materi. Visi dan program kerja tak lagi diperhitungkan, melainkan apa yang bisa ditukarkan.
Terlebih lagi, pemilih sudah terbiasa dengan istilah yang umum dalam masyarakat, yakni ‘serangan fajar’ atau ‘ada uang, kami pilih’, sehingga caleg harus mengeluarkan ongkos yang cukup besar.
Politik transaksional menciptakan ongkos politik yang mahal. Jika caleg tak memiliki kesiapan materi yang kuat, dia bakal dilindas oleh caleg lain. Apalagi, dia adalah caleg pendatang baru, modal pas-pasan, tidak populer dan bertengkar di nomor urut paling bawah.
Lalu apalagi yang mau diharapkan, melawan petahana yang sudah berpengalaman, punya jaringan dan modal yang kuat? Kecuali maju sebagai caleg hanya untuk memenuhi syarat KPU dan penambah suara partai, itu soal lain.
Milenial
Setidaknya, politik kita di Indonesia sejak Orde Baru didominasi oleh para senior yang mengisi kursi-kursi legislatif. Namun, belakangan ini munculnya kelompok milenial turut terlibat dalam politik praktis dan mengikuti pileg, menjadi angin segar bagi generasi muda.
Bagaimana tidak? Kelompok milenial masih dianggap alergi dengan iklim politik, aksi culas dan korupsi mewarnai perjalanan lembaga rakyat, sehingga ini menjadi alasan pemicu bagi kelompok milenial mengasingkan diri dari aktivitas politik.
Namun hal itu terbantahkan, ketika menjamurnya kelompok milenial terjun di dunia politik. Mereka masuk di partai-partai politik kemudian mencalonkan diri sebagai caleg.
Ada semacam kesadaran diri dari mereka, bahwa negeri ini dalam keadaan tidak baik-baik saja. Kasus korupsi, terorisme, diskriminasi, hukum, buruh, dan kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat adalah sekian masalah yang perlu ditangani dengan serius.
Olehnya, mereka bergabung di partai, karena menuju kursi legislatif harus menggunakan kendaraan politik. Meskipun partai hari ini sulit dipercaya, namun mau tak mau, parpol adalah kendaraan yang sah secara konstitusional untuk berpolitik praktis.
Muncul dalam benak pikiran saya, bagaimana cara kelompok milenial berebut suara rakyat?
Secara pengalaman, kelompok milenial masih jauh tertinggal ketimbang para seniornya yang lebih dahulu duduk di kursi parlemen. Umur yang terbilang muda dianggap masih labil dan belum berani mengambil keputusan saat rapat Paripurna di DPR nantinya. Belum lagi dari segi finansial yang kalah jauh dari petahana.
Jika menyelisik caleg milenial dari ukuran materi, soal banyaknya atau tidak; jika banyak akan menang dan sedikit akan kalah, maka itu tidak sepenuhnya benar. Hal itu bagian kedua, meski akan ada anggaran belanja politik, dan menggerakkan tim relawan.
Terpenting dari itu semua adalah adanya kepercayaan publik terhadap generasi muda, mampu mengaggregasi kepentingannya di parlemen dan menurunnya kepercayaan konstituen terhadap petahana yang jago menjual jargon. Ini adalah modal besar kelompok milenial merebut suara rakyat.
Medsos
Media sosial dalam kehidupan sehari-hari sangatlah berpengaruh, baik dalam aktivitas bersama keluarga, kerabat dan kolega di kantor. Sebagian orang menghabiskan waktunya di depan layar gadged, mengotak-atik media sosial, entah mencari informasi sesuai dengan pekerjaan atau sekadar mengintip aktivitas selebriti.
Kelompok milenial, sangat melek dengan teknologi. Mereka menggunakan layanan media sosial sebagai wahana kampanye, menjangkau semua pemilih khusus di dapilnya. Kampanye lewat media sosial, akan membantu mengurangi pengeluaran ongkos politik yang besar dan sia-sia. Modal kecil, tapi efektif.
Lewat media sosial, visi misi disampaikan, lengkap dengan desain grafis yang mencolok berikut dengan nomor urut dan logo partai pengusung. Sehingga pengguna medsos dapat membaca apa yang akan diperjuangkan caleg milenial.
Penulis: Ruslan