Lontar.id – Beranda instagram saya heboh karena berita seputar sperma yang bisa menghamili perempuan di dalam kolam renang. Pernyataan ini gampang sekali menuai reaksi dari warganet mengingat bahwa yang mengatakannya adalah seorang anggota lembaga resmi negara.
Kurang dari 24 jam, video Komisioner KPAI Bidang Kesehatan, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA), Sitti Hikmawaty, telah menyebar di berbagai platform sosial media. Mungkin juga sudah menjadi salah satu koleksi di galeri gawai kamu.
Dilansir dari Tribun Timur.com, Hikma bilang begini, “Kaum perempuan berhati-hati saat berada di kolam renang. Kehamilan dapat terjadi jika berenangnya dengan kaum laki-laki. Ini hamil tak langsung,” Pada Jumat (21/2/2020).
Sitti Hikmawaty melanjutkan, pertemuan yang tidak langsung itu, misalnya, ada sebuah mediasi di kolam renang. “Ada jenis sperma tertentu yang sangat kuat. Walaupun tidak terjadi penetrasi, tapi ada pria terangsang dan mengeluarkan sperma, dapat berindikasi hamil,” ujarnya.
Oke sekarang, seberapa banyak dari kamu yang percaya pada kalimat absurd yang tidak ilmiah ini?. Berapa banyak yang ragu-ragu dan berfikir “apa iya bisa seperti itu?”.
Parahnya lagi jika sampai ada yang panik. Buru-buru ingin tes kehamilan karena beberapa hari lalu pernah berenang di kolam yang ramai laki-laki.
Saat pertama kali melihat video ini, tubuh saya spontan merespon dengan tawa. Penggalan lirik lagu tiktok seketika terngiang di kepala. Entah apa yang merasuki otak sang komisioner KPAI tersebut.
Di sisi lain, pernyataan kontroversial KPAI juga membuat hati saya sedih. Bisa jadi ini adalah puncak gunung es dari segala persoalan seksualitas di Indonesia. Minimnya pendidikan tentang seks yang diajarkan kepada kita menjadi pemicu miskonsepsi.
Mungkin KPAI lupa bahwa kehamilan pada perempuan disebabkan sperma masuk ke rahim. Membuahi sel telur atau ovum. Dan itu baru bisa terjadi jika kita berhubungan seksual dengan penetrasi. Memasukkan penis ke dalam vagina.
Sperma toh tidak akan bertahan lama di dalam air. Apalagi air di kolam renang yang sudah bercampur dengan klorin.
Sitti Hikmawatty melalui pernyataannya mengklaim bahwa yang ia sampaikan bersumber dari jurnal luar negeri. Jika referensi luar negeri yang dimaksud doi adalah artikel berjudul “Florida : 16 Perempuan Hamil Setelah Seorang Bocah Ejakulasi di Kolam Renang”, maka sungguh kasihan dia sudah termakan hoaks.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh situs satir WorldNewsDailyReport.com pada 26 Januari 2016. Lalu dipublikasikan kembali oleh sejumlah website. Hingga mulai mendapatkan tanggapan dari Kominfo pada 24 Juni 2019.
Melalui laman resminya, Kominfo menegaskan berita tentang kehamilan belasan perempuan di kolam renang itu tidak benar. Loh kok ibu yang satu itu tidak caritau dulu yah? atau emang malas baca? hm ya maaf bu, abisnya gemes.
Kita Butuh Pendidikan Seks
Kenapa semua orang tiba-tiba merasa perlu meluruskan argumen sesat tersebut?. Lembaga sekelas KPAI yang dibentuk berdasarkan amanat UU Nomor 23 Tahun 2002, jelas gampang sekali menjadi sorotan.
KPAI tidak bisa memfilter informasi yang sudah terlanjur tersebar di masyarakat. Beberapa orang bisa saja langsung percaya. Menganggap yang berbicara kredibel. Paham apa yang disampaikan.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ada anak-anak perempuan yang dilarang orangtuanya pergi berenang. Padahal aktivitas itu sudah menjadi olahraga rutin sang anak.
Hak atas tubuh tiba-tiba terenggut karena kekhawatiran yang tidak berdasar. Atau, ada kejadian seperti yang digambarkan @Nynecomics. Anak yang hamil karena abis having sex bareng pacar, sengaja tidak memakai kondom.
Lalu berbohong pada ibunya. Ia hamil karena beberapa bulan lalu pernah berenang. Dan ada sperma orang yang nyasar masuk begitu saja ke dalam vaginanya.
Sebenarnya masih ada bagian pernyataan komisioner KPAI kemarin yang masuk akal. Katanya anak-anak perlu dibekali dengan ilmu kesehatan reproduksi.
Nah, ini saya senang sekali jika kesadaran ini pelan-pelan mulai terbuka untuk dibicarakan. Tetapi bagaimana mau mengajarkan pentingnya edukasi seks dan kesehatan reproduksi, jika proses kehamilan saja tidak tahu. Huhu.
Apalagi membicarakan seks dinilai tabu. Orang-orang yang lantang membahas seks dilabeli stigma. Terlebih jika itu perempuan.
Perempuan yang menggunakan diksi penis, vagina, dan payudara untuk edukasi pada sebuah diskusi atau forum dianggap gampang untuk diajak bersenggama.
Seperti kejadian yang menimpa pembicara di salah satu universitas ternama di Sulawesi Selatan.
Seorang laki-laki bersuara menyampaikan kata maaf di awal kalimat karena merasa penggunaan istilah biologis itu tidak etik.
Kemudian melanjutkan dengan analogi yang menyerang pembicara seperti “Sudah berapa kali Anda dipakai?”.
Bersembunyi dibalik moralitas. Menanyakan aktivitas seksual seseorang di ruang publik menurutnya sah-sah saja untuk dilakukan.
Karena yang memantik adalah pembicara sendiri. Padahal keduanya jelas berada di konteks yang berbeda.
Mendengar pendidikan seks, adegan yang muncul di kepala kebanyakan orang hanyalah bagaimana pasangan bercinta di ranjang. Maka tidak heran jika pemikiran konservatif masih berkembang.
Orang yang belajar seks diindikasi akan menjadi liar. Berhubungan seks dengan siapa saja. Loh yah, padahal pendidikan seks malah mengajarkan kita untuk mengontrol birahi.
Melakukan seks yang bertanggung jawab. Melindungi diri dari resiko penyakit menular seksual karena memakai kondom. Dan tidak bergonta-ganti pasangan.
Pendidikan seks juga bisa menjadi tameng bagi anak-anak untuk terhindar dari menjadi korban atau pelaku pelecehan serta kekerasan seksual.
Kemarin saat saya membahas pernyataan nyeleneh KPAI ini kepada seorang kawan, dia tiba-tiba saja memasang raut wajah serius. Dengan suara parau dia mengaku pernah menjadi korban pelecehan oleh pamannya sendiri.
Itu terjadi saat dia masih duduk di bangku kelas 4 sd. Dia yang sedang berbaring di kamarnya tiba-tiba saja didatangi oleh pamannya. Dipeluk sambil digerayangi dari belakang.
Dia ketakutan. Tetapi tidak berani membuka mata atau bergerak. Apa yang ia alami itu tidak pernah diceritakan kepada siapapun, termasuk keluarganya, orangtuanya.
Selama 20 tahun ia hidup dalam bayang-bayang masa kecil yang menyakitkan. Saat itu ia tidak tahu apa yang sedang dialaminya. Melaporkan kejadian itu kepada orangtua yang tidak pernah menyinggung soal seks hanya akan memalukan.
Dan siapa juga yang akan percaya pada cerita anak kecil dilecehkan paman sendiri? Kita harusnya bisa lebih terbuka. Melihat pendidikan seks yang ideal sebagai pencegahan atas kehamilan yang tidak direncanakan. Penyakit menular dan infeksi seksual. Pernikahan anak di usia dini. Pelecehan dan kekerasan seksual.
Edukasi soal kebersihan alat kelamin. Persoalan menstruasi dan mimpi basah. Masturbasi yang sehat. Serta pengontrolan diri terhadap nafsu yang menggebu.
Lagian bukannya ini juga menjadi sebuah masalah ketika ada laki-laki yang ejakulasi sembarangan?. Ereksi di tempat umum. Libido seks yang tidak bisa ditahan.
Mengajarkan anak-anak perihal seks sejak dini berarti kita sudah membantu mereka mengenali tubuh mereka. Ada bagian dari tubuh yang tidak bisa disentuh oleh orang lain. Terutama orang asing.
Jika ada yang tiba-tiba memegang vagina, payudara, atau penis, anak-anak harus berani melapor kepada orangtua. Bukan hanya membiarkannya. Seolah itu hal yang wajar.
Kita tidak bisa memisahkan seks dari keseharian. Memiliki hasrat ingin bercumbu mesra itu sah-sah saja. Namun perlu digaris bawahi bahwa semua itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran.
Aktivitas seksual yang diawali konsensus. Tidak ada pemaksaan. Pun jika tidak ingin maka kita harus tahu bagaimana cara untuk menolak secara tegas.
Seks jangan dipersempit hanya sebatas moral. Akan tetapi, kita sebagai makhluk seksual justru harus tahu bagaimana praktiknya yang bertanggung jawab.
Pertanyaannya, sudahkah kurikulum kita di sekolah merangkum semua persoalan ini secara menyeluruh? hm coba diingat-ingat lagi. Informasi yang disediakan sangat terbatas.
Tidak jarang malah penggunaan istilah biologis sengaja dihaluskan–eufemisme. Penis diganti menjadi pisang atau terong. Vagina seketika menjadi durian atau jeruk. Tolonglah apakah ngomong penis dan vagina itu memang sebegitu kasarnya? hiks.
Jadi kita harus belajar dari mana dong? kalau saran Kemendikbud sih, pelajar harus cari tahu sendiri melalui internet. haha.
Di instagram ada kok beberapa akun yang konsisten membahas seks. Ada @Tabu.id dan @Perkumpulan.samsara. Jangan malu untuk belajar seks. Ini penting kok untuk terhindar dari kebodohan.
Kamu juga bisa nonton Sex Education. Ini rekomended buat membuka wawasan kamu. Serial ini dikemas dengan berbagai persoalan yang secara tidak sadar banyak terjadi di lingkungan kita.
Seandainya saja setiap sekolah bisa punya terapis seksual seperti Jean (Gillian Anderson). Jean adalah ibu dari Otis (Asa Butterfield)– seorang anak laki-laki yang membuka klinik konsultasi seks kecil-kecilan di sekolahnya bersama Maeve (Emma Mackey).
Singkat cerita, Jean mulai dipanggil untuk memberikan konsultasi seks di sekolah Otis setelah seisi sekolah dibuat panik oleh isu penyakit menular seksual- klamidia, yang menjangkiti beberapa siswa.
Jean difasilitasi ruangan privat– menciptakan ruangannya sendiri. Setiap pelajar bisa datang dan bercerita tentang aktivitas seksnya dengan aman. Jean mendengarkan tanpa penghakiman.
Alangkah banyak orang yang akhirnya teredukasi dan terselamatkan pola pikirnya. Tetapi tolong, jangan sarankan film ini ke mereka yang masih anggap seks itu tabu. Entar yang ada malah kamu dituduh tidak bermoral. Mampus kau dikoyak-koyak budaya moralis!.
Penulis: Miftahul Aulia