Setelah diceritakan soal ‘dia’ yang seperti menunggu di bawah tangga. Saya jadi memanggil teman untuk menemani saya berdagang.
Teman saya itu, juga sering bermain-main dengan ‘mereka’ yang nantinya, kisahnya, akan saya paparkan, soal perempuan yang dimutilasi dan banyak lagi.
Ia semangat sewaktu kupanggil untuk menemani saya berdagang. Di rumahnya, ia kadang bosan. “Serius mau ajak saya nih?” Saya mengiyakan. Ia lekas mengganti baju dan memperbaiki dandanannya.
Teman saya itu juga jago masak. Kadang, ia membantu saya untuk membuat mi goreng, nasi goreng, dan lainnya seperti pada cerita sebelumnya yang saya paparkan.
Baca: ‘Mereka’ yang Tampak Jelang Subuh di Sekitar Unhas
Kami adalah dua orang yang suka mengobrol. Apa saja. Semua tema pembicaraan, bagi temanku, akan selalu nyambung. Ia banyak paham dengan banyak hal. Menyenangkan. Meski juga banyak bohongnya. Ehehe.
O ya, sampai di warung, kami keluarkan seluruh barang jualan. Setelahnya, kami duduk menunggu pembeli. Rokok terhidang di meja tempat kami duduk. Air dingin bercampur es batu jadi minuman kami.
Di warung memang ada wifi. Saya banyak menonton youtube sembari menunggu, dan temanku itu terus bermain gim. Seperti tidak bosan. Jika jaringan lelet, ia berhenti. “Turun kelas nanti,” begitu menurutnya.
Malam tiba. Pengunjung masih sepi. Kami berdua saja. Saya kirim pesan ke Wahyu untuk menemani kami ngopi dan cerita. Melanjutkan kisah mistik yang dialaminya.
Tak lama setelah bertukar pesan, Wahyu datang. Kopi saya buat tiga gelas. Semuanya manis. Tidak pakai susu. Ada pia saya siapkan untuk kami asup bersama.
Wahyu pun memulai ceritanya. Setelah bermain gim dan nonton youtube tidak begitu lama. Kami berdua takzim mendengar, dan memegang dagu.
“Teman saya itu akhirnya tahu, siapa yang berdiri persis menunggu di bawah tangga,” ujar Wahyu. Kami serempak menjawab siapa.
Ialah orangnya yang pernah, entah tahun berapa, kehilangan kepalanya. Di pangkalan ojek Sahabat, ia dieksekusi. Pacarnya yang memenggal kepalanya tanpa tahu kenapa.
“Sampai sekarang ia mencari kepalanya. Ia bilang saat masuk ke dalam tubuh teman saya itu.”
“Kepalanya dibuang ke taman dekat indekos. Tepatnya dekat pagar. Sewaktu kerasukan, ia menunjuk sepetak tanah dan menyuruh kami mencarinya,” jelas Wahyu.
Beberapa bulan sebelum Wahyu menceritakan kisah itu pada kami, ia mengalami sendiri hal yang kurang mengenakkan.
Tengah malam, kawannya yang indigo itu, kerasukan. Hari itu hujan begitu deras. Ia berlari menuju pagar yang terkunci rapat. Ia tabrakkan dirinya di sana. Di pagar dekat taman.
Saat terjatuh, perempuan itu bangkit lagi, dan mencoba menerobos pagar, lalu jatuh lagi.
Ia kira dirinya bisa menembus pagar itu. Terdengar lucu, namun terasa getir. Kami menelan pahitnya kopi, sambil terus mengembuskan rokok.
Wahyu membuka sebungkus pianya. Kami berdua juga. Kami makan, sembari menjeda perbincangan serius itu.
Pianya enak, rasa kacang hijau dan masih lembut di mulut. Bayangkan saja penganan itu bercampur dengan kopi hangat.
“Ia tidak bisa bicara. Saya mengambilnya dan membopongnya dengan kawan, saat hujan deras di luar indekos. Saya bawa ke kamarnya.”
“Saat itu ia ingin menulis. Ia seperti ingin menyampaikan sesuatu. Akhirnya saya beri kertas, dan ia menulis ‘carikan kepala saya di luar’ saya sempat bingung.”
Wahyu kemudian bilang kalau kepala perempuan itu tak ada di luar. “Sia-sia. Ini hujan. Tidak ada terlihat di sana. Kepalamu sudah hilang, dan tidak mungkin dicari lagi, karena kematianmu sudah lama.”
Tibalah ia mengangguk. Lalu menulis lagi, bahwa di pangkalan ojek itulah, ia diseret oleh kekasihnya. Ia dibunuh di sana.
Ia masih muda, dan saat itu masih berkuliah. Sampai sekarang ia mencari kepalanya. “Jadi begitu ceritanya. Barangkali ialah yang sering berdiri di bawah tangga,” jelasnya.
Saya paham, merinding, lalu menyesap lebih banyak kopi. Kawan saya lanjut cerita. Katanya, banyak keanehan di indekos tempat Wahyu bekerja. Ia merasa, sewaktu pembangunan indekos tersebut, tak ada ruwat dan izin pakai dengan ‘pemilik tanah’.
“Setidaknya harus izin. Itu budaya yang ditanamkan leluhur.”
Wahyu dengan cepat menjawab, kalau kemungkinan besar memang indekos yang kutempati berdagang itu belum diruwat.
“Waktu indekos ini masih dalam tahap pembangunan, sering kudapati sesaji di pohon besar dekat indekos. Sekarang pohonnya sudah hilang ditebang.”
“Itu yang bisa panggil jin jahat masuk dalam sini (indekos). Harus memang diruwat ini tempat. Sekadar izin dan tabik jika kita ingin memulai apa-apa,” kata kawan saya itu, membalas Wahyu.
Malam makin larut. Angin dingin menerpa tubuh kami. Sepi sekali suasananya. Untung saya akan pulang berdua dengan teman. Tidak terasa, setelah bercerita, bermain domino, hari sudah berganti. Pukul 02.00 wita.
Saya pamit ke Wahyu. Kemudian membereskan warung dengan cepat. Pohon pisang di seberang warung seperti memandang kami. Udara dingin kian menusuk.
Kami pulang. Terlalu larut, dan mencoba merasa seperti biasa, meski cerita tadi masih terbawa. Sebelum pangkalan ojek, kami mencium bau yang sungguh harum, melebihi parfum. Sangat harum.
Saya menegur temanku. “Bau apa itu? Kenapa harum sekali? Selama saya pulang malam, saya tidak pernah hirup bau seharum itu.”
Saya meyakinkannya. Ia diam saja. Berhadapan dengan pangkalan ojek, kami biasa-biasa saja, dan tak ingin membahas hal yang dicerita Wahyu tadi.
Esoknya, siang, saya ke warung. Saya menemui ibu yang bekerja membersihkan indekos. Saya menceritakan pengalaman saya semalam, dan bertanya, benarkah di sekitar sini ada bunga sedap malam, atau pohon yang bisa mengeluarkan bau harum?
“Tidak ada. Barangkali salah cium,” katanya padaku. Saya paham, dan takkan membahasnya lagi. Saya tak lagi pulang selarut seperti kemarin. Tak lagi.
*Bagi teman-teman yang punya cerita misteri di daerahnya, bisa mengirimkan tulisan di redaksi kami lewat [email protected]. Ini sebagai upaya menghidupkan kembali cerita masa lampau, sehingga generasi saat ini dapat mengambil pelajaran.