Lontar.id – Setidaknya ada tiga kali aksi razia buku yang dilakukan oleh aparat beberapa pekan ini. Pertama, razia buku yang dilakukan di Kampung Inggris, Kediri pada Kamis, 27 Desember 2018. Kedua, razia buku yang terjadi di Padang, Sumatera Barat. Beberapa buku diambil tentara dari sebuah toko buku di kawasan Hos Cokroaminoto, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang pada Selasa, 08 Januari 2019. Ketiga, razia buku yang dilakukan oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) Tarakan di salah satu toko buku di Tarakan pada Selasa, 08 Januari 2019.
Dalam ketiga razia, aparat menyita beberapa buku kiri yang dianggap terlarang karena memiliki paham komunisme.
Baca Juga: Politisi Sibuk Berebut Suara, Aparat Sibuk Sita Bahan Baca
Membaca berita-berita aksi razia di atas mengingatkan saya pada suatu pertemuan kuliah di kampus. Saai itu, dosen saya sedang menerangkan materi kuliah yang membahas kajian filsuf yang tidak ingin disebut filsuf post-strukturalis, tapi juga tidak dapat digolongkan strukturalis, yaitu Michel Foucault.
Foucault memang berbeda dengan Marx, beberapa tesisnya ia bantah. Tapi ia juga banyak bersepakat dengan Marx. Bagi dosen saya, susah bahkan tidak akan bisa menerangkan materi Foucault tanpa menerangkan Marx terlebih dahulu.
“Oleh sebab itu, saya heran jika kita dilarang membahas tentang Marxisme. Sementara dalam ilmu budaya, kita tak dapat berbicara apa-apa tanpa membaca marx terlebih dahulu.”
Yang justru mengherankan sekaligus menggelikkan ketika membaca berita-berita terkait penziaraan buku kiri yang dilakukan oleh para tentara. Buku-buku bernuansa kiri sudah tersebar dan jumlahnya sangat banyak. Mereka barangkali bisa merazia buku itu dalam bentuk fisik, tapi buku yang telah dibaca ada dalam pikiran dan imajinasi setiap pembacanya. Mereka sampai kapanpun tidak akan bisa dirazia.
Dalam laman facebooknya, seorang sastrawan Indonesia, Eka Kurniawan mengajak seluruh anak muda untuk melawan, dan melalui tulisan ini saya ingin mengatakan hal yang serupa.
Tindakan razia yang dirawat selama ini mencabik-cabik dan sebenarnya telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Yakni, hak membaca, dan hak manusia untuk bepikir. Maka, lawanlah sebab aparat akan takut dengan orang-orang yang membaca. “BACA! SEBAB RAKYAT YANG MEMBACA, ITU YANG DITAKUTKAN OLEH TENTARA. Kalau perlu pamerkan foto Anda membaca buku-buku itu di sosial media, seperti tentara-tentara ini juga dengan pongah memamerkan aksi razia mereka.” Tulis Eka.
Anak muda yang sadar telah dirampas hak berpikirnya memiliki banyak kesempatan untuk melawan dengan cara membaca dan memamerkannya. Meski demikian, razia buku jika harus dilihat dari sisi yang lain juga memberikan konstribusi. Sebab katanya anak muda yang dilarang akan semakin penasaran untuk melakukannya.
Selain itu Pak Polisi, sekedar informasi saja. Setidaknya kalau belum pernah membaca buku kiri, paling tidak mengertilah kalau zaman sekarang itu sudah era digital. Jika razia dilakukan, pdf atau file digitalnya sudah banyak yang tersebar. Mau dirazia sampai ke ujung dunia juga tidak akan bisa.
Ah, sudahlah, kita barangkali memang bangsa yang susah berpikir.