Suzzanna sesungguhnya mencoba menunjukkan kekhawatiran lain yang mesti ditakutkan. Bukan dari sosok sundel bolong yang diperankannya. Perhatikanlah beberapa adegan di filmnya. Sudah ada yang menghantui dan meneror kita dikehidupan nyata. Apa itu?
Siapa yang tidak mengenal sundel bolong, sosok mistis hantu lokal yang dihidupkan dalam industri perfilman. Hantu perempuan berjubah putih menjuntai dengan rambut panjang, kaki yang tidak menapak serta lobang besar di punggung. Kemunculan hantu ini kerap untuk menggodai para lelaki di malam hari.
Melalui Suzzanna Martha Frederica van Osch, atau lebih dikenal Suzzanna, sosok sundel bolong kemudian dibuat hidup dalam film dengan judul serupa yang ia perankan pada era orde baru (1981). Pamor Suzzanna dalam memerankan berbagai film horor dengan ekspresi datar membuatnya dinobatkan sebagai Ratu Horor Indonesia. Bahkan setelah kematiannya, 15 Oktober 2008, sosok Suzzanna ternyata masih mempunyai tempat tersendiri bagi para pekerja seni perfilman.
Terbukti dengan hadirnya kembali film Suzzanna; Bernafas dalam Kubur yang serentak bergentayangan di bioskop Indonesia pada 15 November 2018. Disutradarai oleh Anggy Umbara, film ini berhasil membawa penonton bernostalgia pada sosok Suzzanna yang diperankan oleh Luna Maya.
Melihat animo masyarakat yang begitu besar terhadap film ini, salah satu stasiun televisi pun akhirnya memanfaatkan momen bangkitnya Suzzanna dengan menayangkan kembali film-film nya yang pernah tenar di era 80-90an. Mengambil jadwal primitime, film Suzzanna diputar pada pukul 20.00 WIB. Sundel Bolong adalah salah satu film yang ditayangkan ulang.
Bagi mereka yang sudah menyaksikan film ini di masanya, beberapa adegannya mungkin membeks diingatan. Paling membekas mungkin adegan saat Suzzanna memakan sate beratus-ratus tusuk, juga pada saat ia mengerjai Bokir.
Namun siapa sangka, bahwa film horor ini menyimpan kritik sosial yang sampai saat ini masih relevan ditemui. Konstruksi patriarki menempatkan laki-laki sebagai sosok yang memiliki kekuatan dan kuasa terhadap perempuan. Lalu menciptakan gambaran perempuan yang lemah, tidak berdaya, serta seringkali hanya menjadi pemuas nafsu birahi laki-laki.
Hal ini nampak pada scene saat tokoh Alisa (Suzzanna) diperkosa oleh seorang pemilik toko butik, Rudy, yang juga terhimpun pada satu sindikat prostitusi menawari kerjasama terhadap Alisa. Di bawah perintah mantan mucikari Alisa, ia meminta Alisa kembali menjadi pelacur, namun ditolak karena Alisa telah menikah dan menjalani hidup yang berbeda. Tidak terima dengan penolakan tersebut, Rudy bersama anak buahnya kemudian menculik lalu memperkosa Alisa secara bejat.
Kasus pemerkosaan tersebut dibawa Alisa ke pengadilan, namun naas keadilan ternyata tidak berpihak padanya. Masa lalu Alisa yang pernah terlibat prostitusi dinilai pantas jika memperoleh kekerasan seksual. Citra negatif, dan gampangan dilekatkan pada dirinya. Alih-alih diposisikan sebagai korban, Alisa malah direndahkan.
Apa yang ditampilkan dalam film ini adalah realita hukum yang kelam. Menganggap pakaian minim sebagai pemicu nomor satu terjadinya pemerkosaan tanpa mau mencoba mendengarkan pembelaan yang ingin disampaikan. Padahal banyak juga kasus pemerkosaan menimpa perempuan-perempuan berbalut pakaian tertutup dari atas hingga bawah. Jadi jangan heran, jika para pelaku kebal hukum karena korban biasanya sengaja memilih diam. Sebab merasa tidak ada gunanya jika melapor.
Malu dan putus asa, sosok Alisa semakin dibuat tidak berdaya hingga harus menghabisi nyawanya sendiri di kamar mandi. Dari sinilah penampakan hantu sundel bolong pertama kali muncul. Mendatangi satu per satu orang yang telah merenggut kebahagiaannya. Membunuh mereka tanpa ampun.
Adegan ini mestinya menjadi tamparan keras bagi dunia hukum kita. Seorang perempuan, korban pelecehan seksual, korban pemerkosaan, korban kebejatan laki-laki, korban prostitusi harus menunggu mati terlebih dulu untuk memperoleh keadilannya sendiri.
Pemerkosaan masih menghantui perempuan Indonesia hingga detik ini. Kenyamanan dan keamanan di jalan, di ruang-ruang publik, di kantor, di sekolah, bahkan di tempat ibadah sekalipun masih belum maksimal.
Objek Seksualitas
Awal Januari ini masih hangat dibicarakan, VA yang terjaring razia di salah satu hotel Surabaya menuai banyak kecaman dari masyarakat. Ditambah sikap polisi yang terlalu bersemangat dalam menggembor-gemborkan kasus ini hingga membeberkan soal kondom dan celana dalam segala.
Seolah alfa tentang keberimbangan fakta, sosok laki-laki yang juga kedapatan bersama VA, luput dari pemberitaan polisi. Angka 80 juta pun dilontarkan untuk menarik perhatian media dan khalayak agar terfokus pada VA semata.
Seks adalah milik laki-laki, dan perempuan adalah objek untuk menyalurkan seks mereka. Sehingga mendapat reaksi wajar jika laki-laki melakukan hubungan badan semacam itu, bahkan di luar ikatan pernikahan sekalipun. Namun jika perempuan ketahuan melakukan seks, meski dalam keadaan terpaksa sekalipun, maka sanksi sosial dan hinaan tak henti didaratkan.
Aparat kepolisian dan masyarakat sebaiknya berbenah. Belajar memberi ruang untuk para korban kekerasan seksual, bahkan jika itu seorang pelacur sekalipun. Agar tidak ada lagi hantu-hantu seperti sundel bolong yang bangkit dari alam kubur untuk keadilan.
Penulis: Miftah Aulia