Lontar.id – Kementerian Sosial berupaya mengurangi beban masyarakat melalui bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai, Bantuan Sosial (Bansos) dan lainnya sebagai bagian dari strategi penanggulangan kemiskinan pada masa pandemi COVID-19.
Melalui program yang diberikan tersebut, masyarakat juga diminta untuk mendukung upaya pemerintah dalam memutus rantai penularan COVID-19 dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan seperti tetap patuh protokol kesehatan hingga mendukung dan menyukseskan program vaksinasi.
Menteri Sosial RI, Tri Rismaharini, mengatakan bahwa apabila program bantuan itu tidak diimbangi dengan kepatuhan masyarakat, maka apa yang telah diberikan pemerintah akan sia-sia.
“Apabila kita tidak bisa menjaga semuanya itu. Apalagi kalau kemudian ada yang tidak mau divaksin, maka semua uang yang sudah kita gelontorkan menjadi sia-sia,” jelas Mensos Risma dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tahun 2021 di Jakarta, Selasa, 9 Maret 2021, seperti tertulis dalam rilis.
Sebelumnya, Risma melihat bahwa dampak dari pandemi COVID-19 yang sudah hampir berjalan selama satu tahun di tanah air itu sangat terasa dan membuat angka kemiskinan menjadi lebih berat.
Menurutnya, hal itu terjadi karena pengeluaran masyarakat juga semakin meningkat dalam memenuhi kebutuhan lain dalam kehidupan sehari-hari, seperti bertambahnya pengeluaran untuk alat pelindung diri untuk mencegah penularan COVID-19, akses internet dan sebagainya.
Akan tetapi di sisi lain, mantan Wali Kota Surabaya itu menilai bahwa pandemi COVID-19 juga mengajarkan masyarakat untuk disiplin, peduli kebersihan dan kesehatan hingga mencoba hal baru seperti pembelajaran formal melalui media daring.
Bagja Harap Batas Usia Pengawas Ad Hoc Bawaslu Minimal 17 Tahun

Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengharapkan rekrutmen pengawas ad hoc Bawaslu minimal berusia 17 tahun. Berkaca dari gelaran pemilihan sebelumnya, Bawaslu mengalami kesulitan dalam merekrut pengawas ad hoc lantaran syarat usianya 25 tahun.
Selain itu, menurut Bagja, syarat minimal usia 17 tahun sama dengan rekrutmen jajaran ad hoc KPU.
“Saat ini usia rekrutmen ad hoc Bawaslu minimal 25 tahun. Hal tersebut agak sulit karena termasuk usia yang biasanya terikat dengan tempat kerja masing-masing,” katanya dalam diskusi daring yang digelar Sekretariar Jenderal DPR RI bertajuk Posisi Penyelenggara Pemilu Sebagai Bagian Demokrasi Yang Substantif, Selasa, 9 Maret 2021, seperti tertulis dalam rilis.
Bagja menegaskan Bawaslu membutuhkan pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang mengerti kemajuan teknologi. Gunanya untuk mengurangi kesalahan saat menjalankan tugas di lapangan. Sebab, pengawas wajib menguasai ponsel pintar dan aplikasi yang digunakan paska pemungutan suara.
“Kalau usianya terlalu tua dikhawatirkan kurang mengerti,” terang Alumni Utrecht itu.
Bagja optimis jika pengawas TPS didominiasi oleh anak muda, akan berimbas terhadap kinerja rekapitulasi suara. Pada hari H pemilihan, dia yakin rekapitulasi bisa tembus 60 persen.
“Minimal di provinsi yang jaringan internetnya bagus bisa langsung dilihat hasil perolehan suara peserta pemilu. Ini yang kami inginkan supaya kerja cepat dan tepat. Minimalisir terjadinya kesalahan,” ucapnya.
Aturan mengenai usia pengawas ad hoc diatur dalam Pasal 117 ayat (1) huruf (b) Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Dalam pasal terebut disebutkan berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS.
DKPP Periksa KPU Sulawesi Tengah
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang virtual pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEEP) Perkara Nomor 74-PKE-DKPP/II/2021 pada Selasa, 9 Maret 2021.
Perkara ini diadukan Kaharuddinsyah dan Rizal Sugiarto. Keduanya mengadukan Tanwir Lamaning, Sahran Raden, Naharuddin, dan Syamsul Gafur (Ketua dan Anggota KPU Prov. Sulawesi Tengah) sebagai Teradu I sampai IV.
Para Teradu didalilkan telah menerbitkan surat tindaklanjut penarikan Kartu Sulteng Sejahtera milik paslon nomor urut 2, namun dalam surat itu sama sekali tidak ada ketegasan dan kepastian hukum tentang batasan waktu penarikan yang mengakibatkan perolehan suara paslon 01 menurun akibat Kartu Sulteng Sejahtera.
Untuk Teradu III, Pengadu mendalilkan telah melanggar prinsip mandiri dan tidak netral dengan memihak salah satu pasangan calon dengan mengeluarkan pendapat yang bersifat partisan di media online.
“Surat yang ditandatangani oleh Teradu I, III, dan IV terkait penarikan KSS (Kartu Sulteng Sejahtera) menurut kami tidak memberikan kepastian hukum. Istilah kami surat ini banci,” ungkap Pengadu I, Kaharuddinsyah.
Dalam surat tersebut menyatakan terlapor (Paslon Nomor Urut 2 pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah) terbukti melakukan pelanggaran administrasi. Terlapor diberikan sanksi peringatan dan diperintahkan untuk menarik KSS.
Pengadu mengatakan seharusnya para Teradu membuat edaran kepada KPU kabupaten/kota untuk menarik KSS. Terlebih kartu ini telah beredar luas di seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
“Penarikan KSS ini hanya dilakukan di Kota Palu atau di sekitaran Kantor KPU Provinsi Sulawesi Tengah saja. Teradu setengah hati melaksanakan penarikan kartu ini, dan limit waktu penarikan kartu tidak, kapan saja ditarik walau sudah selesai pemilihan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Teradu III diduga tidak netral dan memihak kepada salah satu paslon dengan mengeluarkan pernyataan di media cetak maupun online. Pernyataan itu dinilai dapat mempengaruhi publik atau masyarakat.
Teradu III mengatakan jika paslon nomor urut 2 pemilik program KSS tidak bisa didiskualifikasi dari Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah. “Pernyataan Teradu sangat mempengaruhi pandangan publik terhadap dugaan pelanggaran pemilihan yang kami laporkan,” pungkasnya.
Sementara itu, para Teradu mengungkapkan telah menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Provinsi Sulawesi tengah terkait pelanggaran administrasi pemilihan program KSS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gubernur Sumut Kembali Luncurkan 3 Mobil Operasi Lapangan

Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi kembali meluncurkan tiga unit Mobil Operasi Lapangan Bakti Kesehatan Bermartabat Sumut di Halaman Aula Tengku Rizal Nurdin, Rumah Dinas Gubernur, Jalan Jenderal Sudirman Nomor 41 Medan, Selasa, 9 Maret 2021. Hal ini sebagai bentuk komitmen Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan bermartabat.
Mobil Operasi Lapangan adalah bus yang dilengkapi berbagai peralatan medis, yang memungkinkan untuk dilakukan tindakan medis seperti operasi bedah dan tindakan medis lainnya. Karena itu, Mobil Operasi Lapangan ini juga sering disebut sebagai ‘Rumah Sakit Berjalan’.
Seperti pendahulunya, tiga unit Mobil Operasi Lapangan ini akan bertugas memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat yang membutuhkan di berbagai daerah di Sumut. Gubernur menargetkan setidaknya Sumut memiliki 17 unit Mobil Operasi Lapangan yang akan tersebar di seluruh kabupaten/kota.
“Saya berharap minimal ada jumlahnya (mobil operasi) separuh dari 33 kabupaten/kota, atau minimal 17 bus yang siap mengatasi penyakit rakyat kita di berbagai daerah di Sumut,” ujar Gubernur Edy Rahmayadi, didampingi Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sumut Irman Oemar dan Kepala Dinas Kesehatan Sumut Alwi Mujahit.
Menurut Edy Rahmayadi, Mobil Operasi Lapangan sangat diperlukan di Sumut. Mengingat wilayah Sumut sangat luas. Dengan Mobil Operasi Lapangan, pasien yang memerlukan tindakan operasi, tidak perlu lagi dibawa ke Kota Medan.
Mobil Operasi Lapangan digunakan untuk tindakan medis operasi kecil dan besar. Gubernur mencontohkan di mobil operasi tersebut bisa dilakukan tindakan bedah tumor kecil. “Untuk itu ke depan, ada satu unit yang sifatnya standby , setiap kendaraan ada dokter, perawat dan peralatan medis yang dibutuhkan,” kata Gubernur.