Menjauh dari Makassar sama dengan pergi dari makanan enak. Namun selangkah demi selangkah, akan ada pelajaran penting yang didapat. Soal bertahan dan melenturkan kekauan selera.
Saya terlahir sebagai lelaki yang suka makan kue dan nasi semenjak Orde Baru. Apa saja. Di Makassar, biasanya, jika ingin, pagi atau sore, saya membeli putu cangkir yang tak jauh dari rumah.
Semuanya enak. Mungkin, karena kami dan sekeluarga memakannya saat masih hangat. Memang, saya selalu menganjurkan pada adik dan ibu untuk makan saat kue baru kubeli.
Putu cangkir berisi kelapa parut yang putih bersih, sementara putunya sendiri dari berbahan dasar gula aren. Ia berbentuk penutup gelas, bisa juga menjadi wadah alas gelas atau tempat sambal saat makan nasi dan ikan goreng.
Hidupku tak pernah jauh dari kue, sebab ibu saya seorang pedagang jalangkote, dan adik saya yang menjualnya. Jalangkote, disebut pastel kalau di Jakarta, entah di daerah lain. Sebutin coba?
Setiap sore, ibu saya membuat jalangkote. Kadang, di depan penggiling adonan, ia tertidur. Orangtuaku ialah yang kuat. Bangun pagi, membereskan rumah, kerja, lalu membuat jalangkote.
Biasanya, saya bertanya mengapa ibu tertidur. Katanya, capek, kalau orang yang kaku berbahasa Indonesia, menyebutnya capai, lalu menegur saya yang kurang paham berbahasa baku. Hm. Iya ngerti. Huhu.
Jalangkote ibu berisi bihun, wortel, ubi jalar, dan kol. Tidak pakai daging-dagingan seperti yang marak dalam lagu yang sempat populer sebelum tahun baru.
Kue buatan ibu dijual seharga seribu per satuannya. Terbilang murah. Biasanya, hanya beberapa jam, penganan buatan ibu sudah habis.
Adik saya juga senang berdagang. Ia tak malu. Kalau ia tak punya duit jajan, dengan senang hati ia pergi berkeliling perumahan dan meneriakkan jualan.
Sering sekali adik saya disindir tentang jualannya. Maklum, ia masih kecil. Permainan anak seusianya memang masih pada taraf umpatan yang bernada bercanda.
Kadang adik saya marah dan mengajak kawannya untuk berkelahi kalau sudah tersinggung. Kadang pula, adik saya langsung menggulingkan kawannya di tanah tak beberapa lama setelah mendegar gelagat kurang enak soal jalangkote di telinganya.
Setiap kali disindir dan mengadu sewaktu di rumah, saya katakan padanya, bahwa semua pedagang dan pengusaha awalnya diumpat dan direndahkan. Orang-orang yang tak yakin dengan berdagang memang begitu.
Saat mendengar kalimatku meluncur. Ia hanya mengangguk sembari duduk di kursi plastik teras rumah, dan bermain gim di ponselnya.
O ya, selain pandai membuat kue, ibu juga sering membeli kue. Saat pulang dari memburuh, biasanya ia membawa kantong plastik bening. Isi kantong itu macam-macam. Ada onde-onde Jawa, roko-roko unti, roko-roko cangkuning, dan risol. Semuanya hadir di meja, biasanya pada pagi hari dan sepulang kerja.
Sebelum merantau, saya sering sekali, jika ingin, pergi membeli pisang ijo. Prinsip saya, jika ingin makan, harus tercapai. Itupun jika harganya cukup dengan isi dompet.
Ah, Makassar!
Semuanya berubah. Sekarang sudah tidak lagi. Sudah sebulan saya pergi jauh dari rumah dan ibu. Berbekal pengetahuan dan pengalaman, saya mencari peruntungan di ibu kota.
Rindu rumah dan ibu adalah hal yang niscaya. Ia menjadi kebutuhan sekunder, dan tak ada jalan lain selain merindu. Soal selera makanan nomor dua. Ia saya sebut sebagai kebutuhan tersier.
Beberapa hari ini, saya cuma makan biskuit, wafer, dan segala macam makanan. Kue tradisional jarang sekali. Toh, jika pagi, saya langsung bekerja.
Di kontrakan sekaligus kantor yang kami tempati, kawan-kawan kemarin bersepakat dan urunan untuk membeli kue tradisional. Seperti onde-onde Jawa yang di permukaannya terlengket wijen dan risol.
Enak sekali. Saat itu sore hari. Kami minum teh bersama dan mengunyah penganan. Kami ngobrol ngalor ngidul dan tertawa-tawa.
Saya jadi ingat Makassar. Di Makassar, ada banyak sekali jenis kue. Ada buroncong, barongko, dan segala macam pula namanya seperti yang sudah saya sebutkan di atas.
Semuanya hanya mampu diingat saja. Seperti pesan-pesan kawan saya sebelum ke Jakarta, “jangan rasis. bergaullah dengan semua suku di sana.” Nasihat itu saya pegang.
Semua pikiran dan pesan kawan, saya ingat kembali saat mendapati bahasa Makassar menyebut kanrejawa yang berarti penganan dan melihat toko bernama kue bugis di Jakarta. Paling mengagetkan, Umar Kayam pernah ngomong, bahwa orang Bugis-Makassar merupakan masyarakat yang rendah hati.
Alasannya meskipun pembuat kue-kue adalah orang Makassar, Bugis, Mandar atau Toraja, kue-kue itu tetap disebut kanrejawa. Suatu penghormatan bagi orang Jawa. Sebaliknya di Jawa, kita mengenal kue Bugis.
Jauh sebelum rasisme itu ada. Barangkali, Jawa dan Makassar sudah saling mengakrabkan diri lewat kue-kuenya. Tentu saja, semuanya enak, apalagi kita tahu soal sejarahnya.
Sayangnya saya enggan mencarinya terburu-buru lewat sejarah. Saya lebih suka makan kue sekarang sambil merindu, sembari berpikir: betapa hebat peradaban budaya dulu, sampai ucapan terima kasih ke makanan, ada nama daerahnya. Gak ada klaim budaya lagi.