Vaksinasi untuk Difabel di Yogyakarta
Lontar.id – Vaksinasi bukanlah akhir dari upaya mencegah meluasnya pandemi. Maka dari itu, budaya 5M harus tetap dilaksanakan. Hal itu disampaikan oleh Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, Kamis, 17 Juni 2021 pagi di GOR UNY, Sleman, .
Dalam kesempatan itu, Paku Alam membacakan sambutan Gubernur DIY pada agenda peninjauan vaksinasi Covid-19 massal gelombang pertama yang digelar Pemda DIY bersama Grab dan Good Doctor.
“Jangan sampai kerja keras dan upaya mencegah meluasnya pagebluk Covid-19 menjadi kurang bermanfaat, hanya karena kita tidak disiplin atau lengah. Mari, saiyeg saekpraya, mengawal upaya recovery sosial dan ekonomi dengan budaya hidup sehat, kapan dan dimanapun berada,” jelasnya, seperti dikutip dari laman resmi Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pada agenda vaksinasi yang digelar sejak Senin (14/06) hingga Kamis (17/06) itu, ditargetkan sebanyak 10.000 orang divaksin, dimana 630 diantaranya adalah disabilitas. Selain itu, penyandang disabilitas juga bisa mendapatkan pendampingan dari Difabel Tanggap Bencana (DIFAGANA) dan penerjemah khusus, hingga armada antar jemput khusus penyandang disabilitas ke pusat vaksinasi.
Sri Paduka menuturkan bahwa vaksinasi merupakan upaya preventif untuk meminimalisir penyebaran Covid-19. “Vaksinasi Covid-19 adalah program Pemerintah Pusat, yang penyelenggaraannya didukung oleh Pemerintah Daerah demi percepatan tercapainya tataran herd immunity di negara tercinta ini,” ungkapnya.
Dia juga berharap kegiatan vaksinasi massal ini bisa menjadi contoh gerakan kolaboratif yang baik melalui pola kerjasama multi helix lintas sektor. “Saya mendengar bahwa khusus peserta dari penyandang disabilitas mampu melampaui target yang ditentukan panitia. Kami mendorong agar kegiatan vaksinasi masal yang melibatkan kelompok rentan dan penyandang disabilitas dapat dilakukan lagi pada waktu yang dekat,” harap Sri Paduka.
Besok DKPP Periksa Ketua dan Anggota KPU Bali
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan menggelar sidang virtual pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) perkara nomor 125-PKE-DKPP/IV/2021 di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Jumat, 18 Juni 2021 pukul 09.00 WIB.
Perkara ini diadukan oleh Ketut Adi Gunawan. Pengadu melaporkan Ketua dan Anggota KPU Prov. Bali yakni, I Dewa Agung Lidartawan, Anak Agung Gede Raka Nakula, I Gede John Darmawan, I Gusti Ngurah Agus Darma Sanjaya, dan Luh Putu Sri Widyastini sebagai Teradu I – V. Pengadu juga melaporkan Ketua dan Anggota Bawaslu Prov. Bali yakni Ketut Ariani, I Ketut Rudia, dan I Wayan Widyardana Putra sebagai Teradu VI– VIII.
Pokok aduan bahwa para Teradu, baik KPU maupun Bawaslu Provinsi Bali sama-sama bekerja secara tidak profesional dalam menindaklanjuti aduan masyarakat atas nama Gede Suardana tanggal 20 Bulan Juni tahun 2019. Pengaduan tersebut terkait dugaan pelanggaran undang-undang pemilu oleh para Teradu perihal keterangan tidak benar dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) caleg terpilih Dapil 5 No. Urut 10 untuk DPRD Provinsi Bali atas nama Dr. Somvir dari Partai Nasdem dan tetap mengesahkan Dr. Somvir sebagai calon terpilih DPRD Provinsi Bali 2019
Sesuai ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, sidang akan dipimpin Anggota DKPP dan Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi Bali.
Rencananya, sidang akan dilakukan secara virtual dengan Ketua Majelis di Jakarta dan semua pihak berada di daerahnya masing-masing.
Plt. Sekretaris DKPP, Yudia Ramli mengatakan agenda sidang ini adalah mendengarkan keterangan Pengadu dan Teradu serta Saksi-saksi atau Pihak Terkait yang dihadirkan. “DKPP telah memanggil semua pihak secara patut, yakni lima hari sebelum sidang pemeriksaan digelar,” jelas Yudia, seperti tertuls dalam rilis.
Ia menambahkan, sidang kode etik DKPP bersifat terbuka untuk umum. “Sidang kode etik DKPP bersifat terbuka, artinya masyarakat dan media dapat menyaksikan langsung jalannya sidang pemeriksaan atau melalui live streaming Facebook DKPP, @medsosdkpp dan akun Youtube DKPP,” terangnya.
KKP Resmi Larang Ekspor Benur
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) resmi melarang ekspor benih bening lobster, menyusul terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah NKRI.
Pengumuman terbitnya PermenKP No. 17 tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Sakti Wahyu Trenggono melalui sosial medianya pada Kamis, 17 Juni 2021. Saat menyampaikan pengumuman, Menteri Trenggono sedang melakukan rangkaian kunjungan kerja di Provinsi Maluku.
“Permen ini adalah salah satu wujud dari janji saya usai dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada Desember 2020 lalu. Saat itu saya sudah menegaskan, BBL sebagai salah satu kekayaan laut Indonesia harus untuk pembudidayaan di wilayah NKRI. Untuk pembudidayaan wajib dilakukan di wilayah provinsi yang sama dengan lokasi penangkapan BBL,” urai Menteri Trenggono, seperti tertulis dalam rilis.
Melalui aturan baru tersebut, Menteri Trenggono berharap semua pemangku kepentingan yang terlibat dengan BBL bisa menjadi sejahtera dalam mengelola kekayaan laut berbasis ekonomi biru. “Mari bersama kita kawal implementasi dari aturan ini di lapangan nantinya,” pungkas Menteri Trenggono.
Muatan materi dalam PermenKP 17/2021 meliputi prosedur penangkapan benih bening lobster (puerulus) atau lobster yang belum berpigmen, pembudidayaan benih bening lobster; prosedur penangkapan dan/atau pengeluaran lobster (Panulirus spp.), dan prosedur pengelolaan kepiting dan rajungan di wilayah negara RI.
Plt Dirjen Perikanan Budidaya KKP, TB Haeru Rahayu mengatakan, kebijakan pelarangan ekspor BBL ini tidak lain untuk mendorong pertumbuhan budidaya lobster di Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab lobster merupakan salah satu komoditas ekspor yang bernilai ekonomis tinggi.
“Lobster merupakan salah satu dari tiga komoditas yang menjadi prioritas perikanan budidaya, selain udang dan rumput laut,” ungkap Tebe, sapaan TB Haeru.
Saat ini Indonesia merupakan produsen lobster terbesar kedua di dunia dengan share produksi dari total produksi lobster dunia sebesar 31,59%, setelah Vietnam yang memiliki share produksi 62,5%. Dengan adanya peraturan yang berpihak pada pengembangan usaha budidaya lobster di dalam negeri, sambung Tebe, tugas selanjutnya adalah memacu perkembangan budidaya lobster di Indonesia, salah satunya dengan mengembangkan kampung lobster.
Strategi Kementerian PPPA Hapus Pekerja Anak
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menerapkan sejumlah strategi untuk menghapuskan pekerja anak di Indonesia sebagai bentuk perlindungan terhadap hak anak di Indonesia.
Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan, penghapusan pekerja anak di Indonesia merupakan salah satu dari lima arahan prioritas Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kepada Kementerian PPPA.
“Untuk itu kami menargetkan jumlah pekerja anak usia 10-17 tahun yang bekerja, bisa terus kita turunkan angkanya sampai serendah-rendahnya,” ujarnya, dikutip dari laman Kementerian PPPA, Kamis, 17 Juni 2021.
Mengutip data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2020, Menteri PPPA menyampaikan, jumlah pekerja anak mencapai 392.061, turun sebanyak 41.005 orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Bintang mengatakan, sejumlah strategi diterapkan antara lain dengan mengembangkan basis data pekerja anak, memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan terkait pekerja anak, dan mainstreaming isu pekerja anak dalam kebijakan dan program perlindungan khusus anak di kabupaten/kota.
Selanjutnya mengembangkan model desa ramah perempuan dan peduli anak sebagai pendekatan untuk pencegahan pekerja anak, mengembangkan pemantauan dan remidiasi pekerja anak, serta mengoordinasikan untuk penanggulangan pekerja anak pada empat sektor prioritas yakni pertanian, perikanan, jasa, dan pariwisata.
Lebih lanjut Menteri PPPA menekankan pentingnya untuk segera menghentikan praktik pekerja anak karena mendatangkan dampak yang luas meliputi dampak sosial, fisik, dan emosi pada anak.
“Dampak sosialnya, tidak berkesempatan untuk sekolah, atau bermain dengan teman sebaya. Sebagai pekerja anak dapat menyebabkan kecelakaan atau penyakit. Secara emosi, dapat menyebabkan terjadinya eksploitasi, kasar, pendendam, rendah empati,” ujarnya.
Oleh karena itu, imbuh Bintang, sejumlah faktor pendorong keberadaan pekerja anak di Indonesia harus menjadi perhatian agar tidak semakin memicu jumlah pekerja anak di Tanah Air. Faktor pendorong tersebut di antaranya kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, serta terbatasnya pemantauan dan pengawasan terhadap pekerja anak. Selain itu terdapat juga faktor tradisi, kurangnya fasilitas untuk anak-anak, dan anak putus sekolah.