Lontar.id – Ketua Bawaslu Abhan menyampaikan dari data yang dihimpun dari divisi SDM dan Organisasi Bawaslu tahun 2020, soal profesionalitas menjadi aduan paling banyak yang dilaporkan ke DKPP.
Hal ini menurutnya menjadi catatan perbaikan ke depannya untuk tidak terulang di Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024.
Dia melanjutkan ada tujuh aduan yang diajukan ke Bawaslu RI, ada sembilan aduan ke Bawaslu Provinsi dan 250 aduan yang ditujukan ke Bawaslu Kabupaten/Kota. Dari data ini, dia menyebutkan sebanyak 83 persen putusan paling banyak tipologi pelanggarannya adalah soal profesionalitas penyelenggara pemilu.
“Tentu ini sangat relevan kita kaji kembali, profesionalitas itu bisa soal kapasitas dan pemahaman terkait undang-undang,” jelasnya saat memberikan arahan pada Diskusi Terpumpun proyeksi penanganan pelanggaran kode etik pada Pemilu Pemilihan 2024 di Jakarta, Selasa (17/11/2021).
Baca juga: Bawaslu Harap Video Tutorial Tingkatkan Kemampuan Gali Alat Bukti
Berangkat dari hal tersebut, Abhan menyetujui putusan DKPP kepada Bawaslu perlu dijadikan bahan renungan untuk perbaikan agar tidak terjadi kesalahan yang sama di Pemilu dan Pemilihan mendatang. Terlebih, Abhan menyadari aduan pelanggaran etik seringkali juga menyasar ke hal-hal yang dinilai sepele. Hal tersebut menurutnya bisa menjadi perbaikan di masa mendatang.
Pada kesempatan yang sama Anggota Bawaslu Dewi Ratna Dewi Pettalolo pun melihat keserentakan Pemilu dan Pemilihan (Pilkada) 2024 mendatang berimplikasi pada kompeksitas penyelenggaraan bagi penyelenggara pemilu. Dia menyadari hal ini membuat beban kerja penyelenggara tinggi sehingga tuntutan profesionalitas bisa saja terganggu.
“Penting (dilakukan) evaluasi sehingga ke depan kita dapat terhindar dari hal-hal yang bisa menjadi pintu masuk untuk dilaporkan ke DKPP,” tegas Kordiv Penanganan Pelanggaran tersebut.
Melihat hal tersebut Ketua KPU Ilham Saputra pun setuju bahwa profesionalitas harus dijunjung tinggi oleh penyelenggara pemilu, namun memang menurutnya perlu ada persamaan persepsi terkait pelanggaran kode etik. Sebab, lanjut dia, tidak ada jenis-jenis pelanggaran yang disalahartikan melanggar namun nyatanya tidak.
“Ya harus ada penyamaan samakan persepsinya agar tidak multitafsir, harus jelas penafsiran pelanggaran kode etik di ketiga lembaga ini,” tuturnya.