Lontar.id – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendukung penerapan UU No. 17 Tahun 2016 atas kasus pemerkosaan anak usia 14 tahun di Kabupaten Majalengka oleh 11 terduga pelaku. Para terduga pelaku yang sebagian besar masih berusia anak dapat diproses dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar meminta agar Aparat Penegak Hukum dapat melaksanakan keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Baik anak korban, anak saksi, dan anak pelaku semuanya berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus karena mereka masih memiliki masa depan, hal ini termasuk perlindungan privasi dari Anak,” kata Nahar, dalam keterangan pers, Jumat, 4 Februari 2022.
Polres Majalengka menerapkan ancaman hukum berdasarkan UU No. 17 Tahun 2016 pasal 81 untuk tujuh terduga pelaku dan pasal 82 untuk tiga terduga pelaku.
Sementara satu orang anak usia 12, dikembalikan kepada orang tuanya untuk mendapat pembinaan. Diduga para terduga pelaku kasus pemerkosaan tersebut akibat kecanduan pornografi.
Nahar mengingatkan agar APH (polisi, kejaksaan) dengan bantuan perhitungan dari LPSK agar mengajukan restitusi ganti kerugian untuk diberikan kepada korban anak, yang dibebankan kepada para 11 terduga pelaku kekerasan seksual tersebut (Pasal 1 Angka 11 UU 31/2014 tentang Perubahan Atas UU 13/ 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban).
Jaksa Penuntut Umum akan mengajukan tuntutan hukuman pada 11 terduga pelaku, disertai bersamaan dengan tuntutan restitusi ganti rugi korban, berdasarkan perhitungan dari LPSK dalam proses penuntutan di persidangan pengadilan.
Pembayaran ganti kerugian tersebut dibebankan kepada para pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya” (Pasal 1 angka 1 PP 43/2017).
Nahar mengatakan KemenPPPA telah berkoodinasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Majelengka dan telah dilakukan penjangkauan dan pendampingan oleh tim Dinas P3AKB dan Dinsos Kabupaten Majalengka kepada korban serta bersama-sama Polres Majalengka memberikan pendampingan kepada Anak pelaku.
Nahar menegaskan kasus ini sangat miris dan mencerminkan lemahnya pengasuhan pada anak oleh orang tua dan/atau wali serta dampak lebih jauh dari rendahnya literasi digital dan adiksi pornografi yang menyebabkan anak melakukan kekerasan seksual di usia dini.
Korban yang berusia 14 tahun maupun anak-anak pelaku tidak memiliki literasi digital yang cukup serta tidak mendapatkan pendampingan dalam bermedia sosial, sehingga mereka tidak terlindungi dan tidak mendapatkan edukasi yang tepat di saat -anak terpapar pada konten-konten pornografi, termasuk kekerasan seksual di ranah digital.
Akses internet dan gawai yang begitu mudah diberikan oleh para orang tua namun tidak dibarengi dengan kecakapan berinteraksi dan memfilter informasi secara berlarut-larut dapat menyebabkan anak rentan terhadap berbagai risiko yaitu adiksi siber (cyber addiction), termasuk adiksi pada gawai, pornografi dan game online, perundungan secara daring (cyber bullying), dan kekerasan siber (cyber abuse) berupa eksploitasi sesual daring maupun eksploitasi secara ekonomi.