Lontar.id – Ada yang signifikan berubah dalam kehidupan orang tua saya beberapa waktu belakangan ini. Perubahan itu sebenarnya terjadi pada bapak saya. Belakangan saya melihatnya hampir setiap saat di depan smartphone-nya. Beragam tindakan ia ekspresikan, mulai dari tersenyum simpul hingga tertawa terbahak-bahak.
Peristiwa itu akhirnya saya ketahui seluk-beluknya, ia memang sedang gandrung melakukan aktifitas berjagat maya. Mulai dari menonton video ceramah Zakir Naik di Youtube, sampai menonton cara pemeliharaan burung walet. Memang, ia sedang memelihara burung walet kala itu.
Kebiasaan itu saya hiraukan saja, toh tidak mengganggu ketentraman anggota keluarga yang lain. Namun, kebiasaan itu mulai menyebalkan ketika bapak saya menuding jika saya menggunakan smartphone-nya menonton Youtube. Alih-alih menggunkannya, toh hampir 24 jam, smartphone itu berada dalam genggamannya.
Hal itu tentu saja tidak saya ambil pusing, sebagai anak saya woles saja. Akan tetapi, ada peristiwa yang membuat saya cukup sengsara. Itu terjadi ketika saya berangkat merantau, menyelesaikan studi di Pulau Jawa.
Tidak bisa dielakkan lagi, kemampuan Bapak saya menggunakan smartphone-nya meningkat. Hal itu dikarenakan saya tidak lagi ada di sampingnya. Ia tak lagi memiliki pilihan lain selain belajar sendiri saat tidak mengetahui cara menggunakan sistem tertentu di smartphone. Ketidakberadaan saya di sisinya memantik ia berselancar lebih jauh dalam ruang-ruang maya itu.
Hanya saja, kini Bapak saya tidak hanya menggunakan smartphone-nya sebagai media hiburan dan berkomunikasi. Ia mulai memperlakukannya sebagai media berjihad (baca:kampanye).
Selain itu, hampir setiap subuh ia akan membangunkan anaknya untuk bangun shalat subuh di saat saya memang belum tidur pada waktu itu. Dan kita memang memiliki selisih waktu satu jam.
Hampir setiap subuh saya membalas obrolannya, bukan karena saya terbangun shalat subuh. Tapi karena memang saya belum tidur saat itu.
Sebagai anak, saya menyikapi itu sebagai hal yang positif. Akan tetapi, berbeda ketika bapak saya mulai menyebar berita-berita dari capres yang didukungnya. Yang mengkhawatirkan adalah berita-berita tersebut berupa black campaign.
Terus terang saja, saya sulit menjelaskan dan meluruskan tindakan penyebaran hoaks seperti itu. Dalam beberapa penelitian, orang tua cenderung lebih aktif melakukan penyebaran hoaks dikarenakan rendahnya literasi digital mereka dan persoalan biologis yang membuat kemampuan kognitif mereka menurun seiring bertambahnya usia, sehingga lebih rentan menerima dan menyebarkan hoaks.
Saya tidak tahu dan susah membuktikan apakah dua hal itu yang membuat bapak saya lebih mudah menyebar hoaks. Sampai suatu hari saya menemukannya tiba-tiba bertransformasi menjadi penyair digital abad 21 di Facebook.
Seiring dengan memanasnya arena politik di Indonesia menjelang pilpres, sepertinya bapak saya juga kelelahan sendiri dengan situasi tersebut. Ia tak lagi berupaya meyakinkan orang-orang agar memilih pilihannya dengan menyebar tulisan-tulisan yang memuja-muja capres pilihannya.
Kini ia memilih menjadi penyair, menyebar kata-kata puitis di setiap postingannya.
Entah, saya juga tidak tahu motif apa yang melatarbelakangi pilihannya menjadi penyair. Tapi itu cukup melegakkan.
Di sisi lain ada sesuatu yang membuat saya cukup resah. Ia selalu berusaha menyangkutkan setiap puisinya kepada saya. Tanpa canggung, ia meminta saya untuk mengomentari puisi-puisinya di Facebook. Hal itu, hampir setiap hari terjadi terhitung sejak akhir Desember hingga hari ini.
Sebagai mahasiswa sastra, katanya saya memiliki kepekaan dan pengetahuan lebih tentang puisi. Sehingga menurutnya saya harus mengomentari puisnya, tapi harus dengan pujian.
Terus terang, puisi-puisi bapak saya meskipun sangat “eksperimental” tapi masih jauh dari kata bagus. Ia bukanlah penyair yang memiliki pengetahuan teoritik tentang sastra. Tapi saya tetap harus mengomentari puisi-puisinya di sosial media, bagus ataupun tidak bagus komentarnya harus dengan penuh pujian.
Apa yang dikehendaki oleh bapak saya bukanlah sesuatu yang sulit. Saya lebih senang melihat berandanya dipenuhi puisi-puisi dibandingkan berita-berita yang memperkarakan cebong dan kampret.
Apa yang terjadi pada bapak saya menyiratkan betapa melelahkannya melihat rupa-rupa kebohongan politik saat ini. Bahkan bapak saya yang dulunya jihadis salah satu pasangan capres lebih memilih menjadi penyair.
Jadi, berbahagialah bapak, kini kau telah menentukan jalan hidup yang tepat di ruang virtual ini.