Lontar.id – Selama beberapa pekan kasus prostitusi online yang melibatkan beberapa artis Indonesia mencuat di ranah publik. Yang paling memuakkan adalah ketika kasus ini semakin di blow up oleh media arus utama yang menjual para perempuan sebagai pemain utama. Masyarakat seolah dibutakan kepada siapa-siapa saja harusnya berita ini ditujukan.
Setiap pembahasan terkait prostitusi, pasti yang akan dilihat lebih dulu yakni perempuan. Maka, saya ingin melihatnya dari perempuan juga, tapi berbeda perspektif. Kali ini saya ingin benar-benar membela perempuan.
Praktik objektifikasi perempuan dalam berita-berita ini ditentang habis-habisan oleh mereka yang paham bagaimana memposisikan perempuan. Terutama bagi para feminis yang memiliki fokus gerakan membela dan melindungi hak-hak perempuan.
Baca Juga: Yang Tersisa dari Praktik Prostitusi Online Deretan Artis Indonesia
Praktik prostitusi memang bukanlah barang usang meskipun wacana ini telah ada sejak berabad lalu. Dalam tinjauan feminis, perempuan dianggap memiliki hak otonom terhadap dirinya. Tubuh perempuan adalah milik suatu subjek, dan adalah salah jika orang-orang mengintervensi pilihan perempuan-perempuan yang memilih menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK).
Perempuan-perempuan yang menjadi PSK disebut sekumpulan subjek karena ia berhasil menentukan dirinya. Mereka memilih menjadi PSK dan mereka dengan penuh kesadaran mengetahui akan mendapatkan hasil dari pilihannya itu.
Dalam konstruksi sosial, prostitusi merupakan cara perempuan menghasilkan uang dengan menjual tubuhnya. Tentu saja, praktik prostitusi dianggap melanggar norma sosial dan norma agama karena melakukan cara-cara yang dilarang oleh agama.
Baca Juga: Vanessa Diumumin, Kok Lawan Mainnya Dirahasiakan, Pak Polisi?
Kali ini saya ingin membahasnya di luar konteks tersebut. Bukan karena saya tidak beragama, tapi membaca prostitusi online bukan sekedar ihwal agama. Namun, berkelindan dengan ihwal-ihwal yang lain.
Sebagai contoh, seorang pemuda beragama Hindu ditemukan meninggal di suatu desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pemuda ini dibunuh karena melakukan ritual persembahyangan di luar rumahnya.
Dibununya pemuda ini bukan karena ia beragam Hindu, tapi bisa jadi karena persoalan lain. Bisa jadi karena persoalan ekonomi. Seandainya saja, pemuda ini memiliki kapital yang snagat banyak dia bisa saja pergi dari desa tersebut, membangun rumah dan tempat beribadah sendiri.
Masyarakat tidak siap menerima argumentasi para feminis yang membiarkan perempuan begitu mudahnya menjual tubuh. Meminjam pemikiran Butler yang mengungkapka bahwa tubuh adalah material. Material bukan berarti diartikan sebagai uang, namun sesuatu yang memproduksi pemaknaan.
Baca Juga: Dari Film Sundel Bolong; Simbol Adanya Kekerasan Terhadap Perempuan
Tentu saja tidak mudah mengetengahkan praktik prostitusi di tengah masyarakat yang sangat heroik mengaitkan segala sesuatunya dengan persoalan agama. Tidak ada yang salah dengan hal itu, akan tetapi yang bias adalah ketika kita telah kehilangan hal mendasar dalam diri kita yaitu kemanusiaan.
Baca Juga: Penggunaan Istilah Feminis yang Justru Mengobjektifikasi Perempuan
Saat kita melihat Tubuh perempuan yang tersangkut kasus prostitusi pantas dihinakan. Kita tak bisa lagi memaknai tubuh perempuan, padahal sebobrok-bobroknya PSK, tubuh mereka tetaplah tubuh perempuan. Yang harus kita hormati.
*Bagi teman-teman yang memiliki esai terkait fenomena menarik untuk diulas entah aktual ataupun kurang aktual, bisa mengirimkan tulisan di redaksi kami lewat [email protected].