Wajah kemiskinan di setiap negara akan selalu sama. Penyelesaiannya yang berbeda-beda. Ada yang bunuh diri, disiksa, dan diubah gaya hidupnya secara tidak sadar.
Setelah ucapan Prabowo soal masyarakat yang gantung diri karena kesulitan membayar ongkos buat hidup sehari-hari, saya jadi ingat beberapa hal.
Dulu, beberapa tahun silam, desa saya dibikin gempar dengan kejadian yang menyedihkan. Ada perempuan tua menggantung diri di rumahnya.
Tetangga sekitar dan orang jauh berduyun-duyun datang ke rumahnya. Mereka berkerumun dan berbisik-bisik entah berbicara tentang apa. Tangisan dari rumah korban terus terdengar. Pilu.
Perempuan tua itu adalah ibu dari kawan saya di desa, yang tiap tahun, baru saya bisa temui. Saat itu saya masih sekolah, dan liburan hanya bisa dilakukan tiap semester.
Muncul spekulasi tentang banyak hal dengan tewasnya ibu dari kawan saya itu. Jika didengar akan menambah sakit hati dari keluarga yang ditinggalkan.
Keluarga saya bercerita, kalau perempuan tua yang tinggal di belakang rumah itu, sudah terlalu lama sakit. Ia lumpuh dan tidak lagi bisa bekerja.
Ia menghabiskan waktunya bertahun-tahun untuk tidur dan berbaring. Kakinya sudah kelu dan tidak bisa digerakkan. Menyedihkan.
Sebab anaknya pergi merantau mencari rezeki, dan ia ditinggal sendiri, akhirnya ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Ia tidak mau lagi merepotkan keluarganya.
Di lubang ventilasi pintu rumah, ia gelung seutas tali yang tebal. Entah bagaimana caranya, ia menggantung dirinya di situ. Lehernya sampai berbekas. Ia pergi pada dini hari yang sepi.
Keluarga saya cuma menceritakan satu asumsi, mengapa perempuan tua itu nekat. Ia juga orang yang kurang dari segi materi.
Ada lagi kisah yang lain. Intinya, karena patah hati dan putus dari kekasih usai bertengkar lewat ponsel, anak muda itu menyetop napasnya tepat di bawah pohon mangga.
Ingatan saya terkatrol ke sana setelah Prabowo Subianto mengisahkan, kalau di salah satu daerah Jawa Tengah, seorang kepala keluarga menggantung dirinya karena tak bisa menghidupi keluarga. Satu pukulan telak ke pemerintahan Jokowi.
Jawa Tengah itu kandang banteng alias markas besar Partai PDIP. Makna kalimatnya begitu politis, namun mau tidak mau realitasnya begitu. Dibolak-balik bagaimana pun, ini momentum politik. Saling berkait.
Di luar itu, kemiskinan mampu membuat orang bisa melakukan hal menyedihkan. Jujur saja, saya bahkan ngeri mendengarnya. Di pikiran saya, terus bertanya-tanya.
Indonesia yang mayoritas penduduknya berekonomi menengah ke bawah, banyak menggantungkan hidup dari dirinya sendiri, kemudian ke pemerintah.
Permohonan bantuan dengan sangat banyak terlihat di televisi, cerita-cerita warung kopi, dan segala tempat. Pemerintah dianggap jadi faktor dan tuan penolong dari pemiskinan. Sayangnya, dalam beberapa kesempatan, orang berada juga ikut ngantre dan mendaku miskin saat pembagian sembako.
Prabowo berani dan pandai menjual tren hidup begitu dan berjanji akan mengurangi satu hal pemicu orang bunuh diri di Indonesia: keterbatasan ekonomi.
Anda mungkin tak asing dengan kutipan Bill Gates yang berbunyi: jika kau terlahir miskin, itu bukan salahmu. Jika kau mati dalam keadaan miskin, itu salahmu.
Hal itu kemudian dibantah dengan keras oleh Fatima Bhutto, ponakan dari Benazir Bhutto, di akun twitternya. Ia membalas kutipan yang dicantumkan pemerintah Pakistan ihwal Bill Gates dan kemiskinan.
“Kemiskinan itu terstruktur,” tegas Fatima. Kita tidak bisa menyalahkan orang miskin begitu saja. Kalimatnya saya pahami, dan segera tersadar kalau ada yang salah dalam bunyi kutipan penyemangat tersebut.
Celakanya, jauh sebelum digaungkan oleh pemerintah Pakistan, kita terbiasa dan tenggelam dalam retorika semacamnya. Arahnya menyuruh kita untuk tidak malas, namun apakah ketidakmalasan bisa langsung membuat kita kaya, minimal berada?
Untung saja pemerintah dan oposannya pandai menjual narasi orang miskin, mereka menjual harapan dan melego kepercayaannya ke publik sebagai jargon yang menarik. Gantung diri salah satunya, ia banyak diulas dalam media massa.
Mari jangan melupakan kalau pemerintah punya kewajiban untuk mengangkat derajat masyarakat, sembari membuat diri kita untuk tidak malas dan kreatif.
Permisif pada Kejamnya Militeristik
Kontras sekali, jika diingat, militer bahkan kerap disebut-sebut adalah alat pemusnah manusia. Bukan bunuh diri. Siapa yang mengendalikan militer, kira-kira?
Setelah membaca buku novel karangan Yu Hua berjudul The Brothers, jargon melompat jauh ke depan danRevolusi Kebudayaan yang diselenggarakan Partai Komunis China, bikin saya kecut.
Seorang keluarga tuan tanah disekap di dalam gudang oleh orang yang pro Ketua Besar, dan digebuki terus menerus karena dianggap akan melawan sistem yang akan dibuat Mao.
Keluarga tuan tanah itu lalu pupus harapannya dan meyakini tidak akan bisa keluar dari tempat terkutuk macam itu. Ia berpikir akan mati membusuk dalam gudang setelah duburnya dibakar.
Dengan susah hati yang memuncak, ia menusukkan paku di kepalanya karena tak ada lagi harapan. Ia tewas seketika, darah meruah di gudang.
Tak jauh beda dengan Indonesia, satuan yang akan diampu Jokowi atau Prabowo ke depannya, sudah punya kekelamannya tersendiri. Pukul, tindas, habisi. Contohnya di Kulon Progo, di Provisini DI Yogyakarta.
Di sana, aparatus pemerintah di bawah Jokowi begitu brutal menghantamnya. Sebelum pembangunan New Yogyakarta International Airport, proyek itu sudah telan korban yang notabene warga asli. Semua untuk memuluskan pembangunan bandara.
Jika punya kesempatan, saya akan bertanya pada eks Pangkostrad, yang pernah memimpin satuan tentara, yakni Prabowo: adakah beda penyiksaan dan bunuh diri yang dilakukan masyarakat? Toh, semuanya sama, menyisakan sakit dan menggemakan dendam.
Jika punya perasaan yang luhur, bisakah kita berbaik-baik pada masyarakat tanpa harus ada momen peregangan nyawa atau menghantam orang miskin yang menolak tanahnya diambilalih untuk pembangunan pabrik semen atau yang proyek lain-lain?
Jokowi juga begitu. Bisakah persawahan yang berpotensi menghasilkan pundi-pundi rupiah dari proyek semen dan bandara, tidak jadi tempat daerah operasi militer? Tidak dicengkeram?
Kasihan, negara ini melihat kemiskinan dengan kaca mata kuda. Warga-warga adat yang dianggap miskin, harus disamakan gaya hidupnya dengan orang-orang yang hidup di perkotaan.
Jika ada narasi kalau petani itu miskin, yang dibuat orang kota, itu sungguh bikin mual. Mereka mau makan nasi, tidak harus membeli. Tak sama dengan kita. Mereka cuma terkendala cara jual karena banyaknya tengkulak yang bekerja sama dengan mafia pangan yang sampai sekarang belum bisa diberantas negara.
Jadi miskin dari mana? Sayur ditanam saja, begitu juga buah, namun dilabrak atas kepentingan yang lebih besar: taraf hidup petani harus naik dan membaik. Begitu juga pemerintah daerah.
Taraf hidup seperti apa? Membuat petani banyak uang, dan mengubah pola hidupnya lebih konsumtif seperti orang kota? Saat uangnya habis, sawahnya sudah tiada. Kerja juga sudah tak bisa. Dan doakan saja ia tidak bunuh diri dan merasa pahitnya narasi jualan Prabowo dan kejamnya Partai Komunis China.
Kita benar-benar tidak adil, dan kemiskinan memang cuma untuk dijual. Cuma sedikit dari kita yang mau memperhatikan mereka. Pemimpin sipil sudah punya bukti. Jadi, siapa yang akan didekap 20190 nanti? Si Militer atau Si Sipil?