Menikah itu sungguh mengasyikan. Babas bermesra tanpa ada yang melarang. Karenanya, banyak yang terilhami untuk nikah dini. Menghindari zina juga katanya. Namun, tetap ada risiko. Melahirkan bayi stunting di antaranya.
Makassar, Lontar.id – Nikah muda bisa dianggap menjadi fenomena. Di sosial media, instagram bahkan ramai tagar #nikahmuda. Jumlah postingan dengan tagar #nikahmuda bisa mencapai 393,975 posts diikuti berpuluh-puluh akun nikah muda. Akun-akun berisi ajakan bernada motivasi untuk nikah muda ini pun memiliki banyak followers.
Gerakan nikah muda ini banyak diikuti oleh mereka yang masih berusia di bawah 20 tahun. Iming-iming mendapat pasangan halal yang bisa diandalkan setiap saat. Ke sana kemari punya tangan yang bisa digandeng. Punya bahu yang menjadi tempat bersandar. Punya teman tidur yang bisa dipeluk. Punya tameng untuk terhindar dari ejekan manusia-manusia yang merasa berdosa jika hidup menjomlo—tapi apa salah jomlo? (pertanyaan ini boleh diabaikan).
Kembali ke persoalan menikah muda, di jagat maya banyak tersebar foto-foto serta video yang sengaja dibagikan oleh pasangan nikah muda. Saya pun punya banyak teman-teman maya yang sering memamerkan kemesraan usai menikah, setiap saat di instastory disertai dengan tulisan “segera menikah, rasanya enak, pahalanya banyak, dosanya hilang, zinanya ga ada”.
Tapi, apakah pernikahan memang hanya untuk menghindari perzinahan? Menikah untuk bisa melakukan hubungan seks secara halal. Lalu setelah itu? Di Indonesia, dengan mayoritas penduduknya Islam, saya rasa penting untuk kita ketahui bahwa pernikahan melibatkan tanggung jawab melingkupi dua keluarga yang jika tidak dikelola secara baik, justru akan menimbulkan dampak yang buruk, baik secara fisik maupun psikis.
Allah Taala berfirman, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan yang perempuan.” (QS an-Nur:32). Menurut sebagian ulama, yang dimaksud layak adalah kemampuan biologis. artinya memiliki kemampuan untuk menghasilkan keturunan. Namun perlu kita cermati lebih dalam lagi, sekedar memiliki kemampuan untuk bereproduksi tanpa dibarengi dengan kondisi tubuh yang sehat dari seorang ibu muda bisa jadi sangat membahayakan kondisi kelahiran bayi.
Beberapa hari yang lalu, Gora Pustaka Indonesia menggelar diskusi awal tahun dengan mengangkat topik pembicaraan seputar Media dan Isu Kesehatan Berbasis Riset Kesehatan Dasar. Ada satu isu kesehatan yang menjadi fokus kami pada diskusi sore itu. Kondisi anak yang mengalami pertumbuhan lamban sehingga cenderung bertubuh lebih pendek dari anak-anak seusianya. Kondisi semacam ini dalam istilah medis dinamakan stunting.
“Bahkan stunting ini berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan anak-anak. Mereka bisa menjadi tidak produktif, dan sulit membedakan benar dan salah,” kata Pemerhati Kesehatan dan Lingkungan, Abd Razak Thaha, yang menjadi salah satu pembicara di Baba The Resto and Cafe, Minggu, (13/01/2019).
Persoalan stunting ini mungkin akan terdengar asing di telinga masyarakat. Sebab kurangnya edukasi yang diberikan. Pun jika sosialisasi telah dilakukan tetap tidak bisa menjangkau keseluruhan sumber daya manusia kita, utamanya mereka yang tinggal di pedesaan.
Sebagian ibu mungkin akan merasa wajar-wajar saja jika anaknya bertubuh lebih pendek dari kebanyakan temannya. Tidak perlu merasa cemas akan bahaya penyakit yang mengintai.
Baca Juga: 150 Juta Anak Terlantar di Dunia: Mereka Akan ke Mana?
Sulawesi Selatan sendiri menempati posisi keempat dengan penduduk terbanyak menderita stunting. Dan ditingkat kabupaten di Sulsel, Enrekang berda di posisi teratas. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh “kebiasaan” masyarakat menikah muda. Bahkan hingga sekarang kasus pernikahan anak usia dini ini pun masih terjadi. Baru-baru ini terjadi di Bulukumba, anak usia 14 tahun yang mendapat izin menikah dari orangtua mereka.
“Kondisi seorang ibu hamil di bawah 18 tahun itu sudah sangat jelas akan melahirkan anak dengan kondisi stunting, karena secara fisik sebenarnya dia belum bisa menampung bayi di dalam tubuhnya,” kata Abd Razak.
“Ini jelas berisiko, anak terlahir stunting yang rentan terhadap penyakit lain seperti tumor, jantung, bahkan kanker,” tambahnya.
Jika terus dibiarkan seperti ini, Indonesia ke depan akan kehilangan generasi-generasi cerdas. Masa depan negara ini ada di tangan calon-calon ibu yang akan melahirkan bayi-bayi lucu. Pemerintah melalui Mahkamah Konstitusi (MK) harus tegas dalam menentukan batasan usia pernikahan. Jangan hanya karena alasan selangkangan, izin pernikahan pun dikeluarkan, padahal itu sama saja dengan membiarkan mereka hancur.
Masalah Lingkungan
Menikah di bawah usia 18 tahun memang cara paling cepat untuk memperoleh anak dengan risiko kelahiran stunting. Namun ternyata, menikah di usia 20 tahun ke atas pun, stunting masih bisa menjadi ancaman serius.
Kekurangan asupan gizi serta lingkungan yang tidak sehat bisa menjadi pemicunya.Terkait masalah gizi ini tentu bersinggungan dengan kemiskinan. Rata-rata mereka yang hidup di garis kemiskinan, tidak mampu memenuhi asupan gizi seimbang. Empat sehat lima sempurna. Bisa makan sehari saja, sudah cukup. Ditambah lagi jika kondisi lingkungan mulai tercemar, seperti kekurangan air bersih dan sanitasi.
Jika kondisinya seperti itu, jadi semua perempuan berisiko melahirkan anak stunting dong? Dari apa yang saya dapat pada diskusi kesehatan hari itu, saya bisa menjawab iya. Namun, kita juga masih bisa mencegahnya melalui program 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Sejak anak dalam kandungan hingga berusia dua tahun atau 1000 hari, calon ibu harus menerapkan pola hidup sehat. Tentunya, berupa asupan bergizi seimbang dan cukup zat besi. Tapi lagi lagi, program 1000 HPK ini butuh campur tangan pemerintah dan dinas kesehatan masing-masing daerah. Melakukan percepatan perbaikan gizi secara merata. Selamatkan Indonesia di masa depan.
Penulis: Miftah Aulia