Jakarta, Lontar.id – Kabar soal bakal dibebaskannya Ustadz Abu Bakar Ba’asyir muncul sehari setelah debat pertama Pilpres 2019. Adalah politisi yang juga Penasehat Hukum Capres Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra yang menyampaikan kabar ini.
Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) mengaku, dirinya telah meyakinkan Presiden Jokowi untuk membebaskan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dari LP Teroris Gunung Sindur, Bogor.
Abu Bakar Ba’asyir sendiri sudah mendekam dalam LP selama sembilan tahun dari pidana lima belas tahun yang dijatuhkan kepadanya.
“Sudah saatnya Ba’asyir menjalani pembebasan tanpa syarat-syarat yang memberatkan. Jokowi berpendapat bahwa Ba’asyir harus dibebaskan karena pertimbangan kemanusiaan,” kata Yusril mellaui keterangan tertulis yang diterima Lontar.id, Jumat (18/1/2019).
Ba’asyir kini telah berusia 81 tahun dan dalam kondisi kesehatan yang makin menurun. Jokowi kata Yusril, mengaku sangat prihatin dengan keadaan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Karena itu ia meminta Yusril untuk menelaah, berdialog dan bertemu Abubakar Baasyir di LP Gunung Sindur.
Baca Juga: ‘Etok-etok’ dan Janji yang Nihil Realisasi
Semua pembicaraan dengan Ba’asyir dilaporkan Yusril ke Jokowi, sehingga Jokowi yakin bahwa cukup alasan untuk membebaskan Ba’asyir dari penjara.
“Saya sangat menghormati para ulama. Saya tidak ingin ada ulama yang berlama-lama berada dalam lembaga pemasyarakatan,” kata Yusril menirukan pernyataan Jokowi.
Karena itu lanjut dia, Presiden Jokowi segera memerintahkan jajarannya untuk membebaskan Ba’asyir.
“Penangkapan Ba’asyir dengan tuduhan terorisme terjadi pada masa pemerintahan SBY,” ujarnya.
Pembebasan Ba’asyir akan dilakukan secepatnya sambil membereskan administrasi pidanya di LP. Ba’asyir sendiri minta waktu setidaknya tiga hari untuk membereskan barang-barang yang ada di sel penjara. Setelah bebas, Ba’asyir akan pulang ke Solo dan akan tinggal di rumah anaknya, Abdul Rahim.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah atas pembebasannya ini dan berterima kasih kepada semua pihak yang telah mengambil inisiatif pembebasan dirinya. Termasuk kepada juru rawat yang telah merawat kakinya yang sakit.
“Pak Yusril ini saya kenal sejak lama. Beliau ini orang berani, sehingga banyak yang memusuhinya. Tetapi saya tahu, beliau menempuh jalan yang benar,” kata Ba’asyir seperti yang ditulis Yusril.
Yusril datang ke LP Gunung Sindur ditemani Dr Yusron Ihza dan Sekjen Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor.
Baca Juga: Gantung Diri: Dosa Jokowi dan Jualan Prabowo
Ia didaulat untuk menjadi imam dan khatib Jum’at di Mesjid LP. Keluarga Ustadz Abu Bakar Ba’asyir juga datang dari Solo. Hadir pula pengacara Abubakar Ba’asyir Achmad Michdan yang turut bersyukur atas bebasnya Ba’asyir.
Jejak Ba’asyir di beberapa Penjara
Abu Bakar Ba’asyir sering dikaitkan dengan beberapa rencana teror di indonesia. Ba’asyir diketahui adalah pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo. Sebelumnya, Ba’asyir kembali ditangkap Detasemen Khusus 88 pada Senin (9/8/2010).
Ba’asyir diduga ditangkap terkait terorisme. ia ditangkap di Ciamis, Jawa Barat, saat itu ia dalam perjalanan menuju Solo. Bagaimana sepak terjang selama ini Abu Bakar Ba’asyir. Berikut ini perjalanan Ba’asyir.
Abu Bakar Ba’asyir bin Abu Bakar Abud biasa dipanggil Ustad Abu, lahir di Jombang, 17 Agustus 1938. Ia mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Jombang, Jawa Timur (1959) dan Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah (1963).
Dilansir di laman Tempo.co.id, perjalanan karier Ba’asyir dimulai dengan menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo. Ba’asyir kemudian menjabat Sekretaris Pemuda Al-Irsyad Solo, terpilih menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (1961), Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, memimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Jateng (1972) dan Ketua Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), 2002.
Berikut Jejak Perjalanan Ba’asyir
10 Maret 1972
Pondok Pesantren Al-Mukmin didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abudllah Baraja. Pondok Pesantren ini berlokasi di Jalan Gading Kidul 72 A, Desa Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Menempati areal seluas 8.000 meter persegi persisnya 2,5 kilometer dari Solo. Keberadaan pondok ini semula adalah kegiatan pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta. Membajirnya jumlah jamaah membuat para mubalig dan ustad kemudian bermaksud mengembangkan pengajian itu menjadi Madrasah Diniyah.
1983
Abu Bakar Ba’asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Ia dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. Ia juga melarang santrinya melakukan hormat bendera karena menurut dia itu perbuatan syirik. Tak hanya itu, ia bahkan dianggap merupakan bagian dari gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto)–salah satu tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah. Di pengadilan, keduanya divonis 9 tahun penjara.
11 Februari 1985
Ketika kasusnya masuk kasasi Ba’asyir dan Sungkar dikenai tahanan rumah, saat itulah Ba’asyir dan Abdullah Sungkar melarikan diri ke Malaysia. Dari Solo mereka menyebrang ke Malaysia melalui Medan. Menurut pemerintah AS, pada saat di Malaysia itulah Ba’asyir membentuk gerakan Islam radikal, Jemaah Islamiah, yang menjalin hubungan dengan Al-Qaeda.
1985-1999
Aktivitas Ustadz Baasyir di Singapura dan Malaysia ialah menyampaikan Islam kepada masyarakat Islam berdasarkan Al Quran dan Hadits yang dilakukan sebulan sekali dalam sebuah forum, yang hanya memakan waktu beberapa jam di sana. ia tidak membentuk organisasi atau gerakan Islam apapun. Selama di sana ia dan Abdullah Sungkar hanya mengajarkan pengajian dan mengajarkan sunah Nab. Namun pemerintah Amerika memasukkan nama Ba’asyir sebagai salah satu teroris karena gerakan Islam yang dibentuknya yaitu Jemaah Islamiah, terkait dengan jaringan Al-Qaeda.
1999
Sekembalinya dari Malaysia Ba’asyir langsung terlibat dalam pengorganisasian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari salah satu organisasi Islam baru yang bergaris keras. Organisasi ini bertekad menegakkan Syariah Islam di Indonesia.
10 Januari 2002
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, Muljadji menyatakan bahwa pihaknya akan segera melakukan eksekusi putusan kasasi MA terhadap pemimpin tertinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abubakar Ba’asyir. Untuk itu, Kejari akan segera melakukan koordinasi dengan Polres dan Kodim Sukoharjo.
25 Januari 2002
Abu Bakar Ba’asyir memenuhi panggilan untuk melakukan klarifikasi di Mabes Polri. Abu Bakar datang ke Gedung Direktorat Intelijen di Jakarta sekitar pukul 09.30. Saat konferensi pers, pengacara Abu Bakar Ba’asyir, Achmad Michdan, mengatakan, pemanggilan Abu Bakar Ba’asyir oleh Mabes Polri bukan bagian dari upaya Interpol untuk memeriksa Abu Bakar. “Pemanggilan itu merupakan klarifikasi dan pengayoman terhadap warga negara,” tegas Achmad.
28 Februari 2002
Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, menyatakan Indonesia, khususnya kota Solo sebagai sarang teroris. Salah satu teroris yang dimaksud adalah Abu Bakar Ba’asyir Ketua Majelis Mujahidin Indonesia, yang disebut juga sebagai anggota Jamaah Islamyah.
19 April 2002
Ba’asyir menolak eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA), untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun atas dirinya, dalam kasus penolakannya terhadap “Pancasila sebagai azas tunggal” pada tahun 1982. Ba’asyir menganggap, Amerika berada di balik eksekusi atas putusan yang sudah kadaluarsa itu.
20 April 2002
Ba’asyir meminta perlindungan hukum kepada pemerintah kalau dipaksa menjalani hukuman sesuai putusan kasasi MA tahun 1985. Sebab, dasar hukum untuk penghukuman Ba’asyir, yakni Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi kini tak berlaku lagi dan pemerintah pun sudah memberi amnesti serta abolisi kepada tahanan dan narapidana politik (tapol/napol).
April 2002
Pemerintah masih mempertimbangkan akan memberikan amnesti kepada tokoh Majelis Mujahidin KH Abu Bakar Ba’asyir, yang tahun 1985 dihukum selama sembilan tahun oleh Mahkamah Agung (MA) karena dinilai melakukan tindak pidana subversi menolak asas tunggal Pancasila. Dari pengecekan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra, ternyata Ba’asyir memang belum termasuk tahanan politik/narapidana politik (tapol/napol) yang memperoleh amnesti dan abolisi dalam masa pemerintahan Presiden Habibie maupun Abdurrahman Wahid.
8 Mei 2002
Kejaksaan Agung akhirnya memutuskan tidak akan melaksanakan eksekusi terhadap Abu Bakar Ba’asyir atas putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun penjara. Alasannya, dasar eksekusi tersebut, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 11/ PNPS/1963 mengenai tindak pidana subversi sudah dicabut dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, Kejaksaan menyarankan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo (Jawa Tengah) untuk meminta amnesti bagi Ba’asyir kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.
8 Agustus 2002
Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia mengadakan kongres I di Yogyakarta untuk membentuk pimpinan Mujahidin. Terpilihlah Ustad Abu Bakar Ba’asyir sebagai ketua Mujahidin sementara.
19 September 2002
Ba’asyir terbang ke Medan dan Banjarmasin untuk berceramah. Dari sana, ia kembali ke Ngruki untuk mengajar di pesantrennya.
23 September 2002
Majalah TIME menulis berita dengan judul Confessions of an Al Qaeda Terrorist dalam laporan tersebut Abu Bakar Ba’asyir disebut-sebut sebagai perencana peledakan di Mesjid Istiqal. Time menduga Ba’asyir sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional yang beroperasi di Indonesia. TIME mengutip dari dokumen CIA, menuliskan bahwa pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah Abu Bakar Ba’asyir “terlibat dalam berbagai plot.” Ini menurut pengakuan Umar Al-Faruq, seorang pemuda warga Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor dan dikirim ke pangkalan udara di Bagram, Afganistan, yang diduduki AS.
25 September 2002
Ba’asyir pernah membeberkan keberadaanya selama di Malaysia tidak berhubungan dengan pembentukan organisasi atau gerakan Islam apapun. Selama di sana ia dan Abdullah Sungkar hanya mengajarkan pengajian dan mengajarkan sunah Nabi. “Saya tidak ikut-ikut politik. Sebulan atau dua bulan sekali saya juga datang ke Singapura. Kami memang mengajarkan jihad dan ada di antara mereka yang berjihad ke Filipina atau Afganistan. Semua sifatnya perorangan,” ungkapnya.
1 Oktober 2002
Abu Bakar Ba’asyir mengadukan Majalah TIME sehubungan dengan berita yang ditulis dalam majalah tersebut tertanggal 23 September 2002 yang menurut Ba’asyir berita itu masuk dalam trial by the press dan berakibat pada pencemaran nama baiknya. Ba’asyir membantah semua tudingan yang diberitakan Majalah TIME. Ia juga mengaku tidak kenal dengan Al-Farouq.
11 Oktober 2002
Ketua Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba`asyir meminta pemerintah membawa Omar Al-Faruq ke Indonesia berkaitan dengan pengakuannya yang mengatakan bahwa ia mengenal Ba’asyir. Atas dasar tuduhan AS yang mengatakan keterlibatan Al-Farouq dengan jaringan Al-Qaeda dan aksi-aksi teroris yang menurut CIA dilakukannya di Indonesia, Ba’asyir mengatakan bahwa sudah sepantasnya Al-Farouq dibawa dan diperiksa di Indonesia.
14 Oktober 2002
Ba’asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo. Dalam jumpa pers itu ia mengatakan peristiwa ledakan di Bali merupakan usaha AS untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris.
17 Oktober 2002
Markas Besar Polri telah melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba`asyir. Namun Ba’asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME.
18 Oktober 2002
Ba’asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI menyusul pengakuan Omar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afghanistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali.
31 Januari 2003.
Penahanan Ba’asyir diperpanjang.
27 Februari 2003
Sehari sebelum masa penahanan Ba’asyir berakhir, kejaksaan menyatakan berkas pemeriksaan kasus Ba’asyir lengkap. Polisi menyerahkan dia ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
28 Februari 2003
Penyidik dari Markas Besar Kepolisian RI menyerahkan tersangka Ba’asyir ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Ba’asyir tidak lagi dituduh mencoba membunuh Presiden Megawati dan terlibat peledakan bom malam Natal, melainkan dituduh mencoba menggulingkan pemerintahan yang sah atau makar.
23 April 2003
Sidang perkara makar dengan terdakwa Ba’asyir digelar pertama kalinya oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di gedung Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta Pusat. Ba’asyir diancam pidana 20 tahun, maksimal seumur hidup.
12 Agustus 2003
Kongres Mujahidin II Majelis Mujahidin sepakat mendudukkan kembali Abu Bakar Ba’asyir sebagai Amirul Mujahidin untuk periode 2003-2008.
12 Agustus 2003
Jaksa penuntut umum Hasan Madani menuntut terdakwa Abu Bakar Ba’asyir 15 tahun penjara. Empat dakwaan yang dituduhkan, yaitu makar, menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, memalsukan surat, dan selaku orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah.
10 November 2003
Pengadilan tinggi menurunkan hukuman menjadi 3 tahun penjara. Keterlibatan Ba’asyir dalam aksi makar tidak terbukti. Ia hanya melanggar keimigrasian.
3 Maret 2004
Kasasi Mahkamah Agung menurunkan lagi hukuman Ba’asyir menjadi satu setengah tahun penjara.
30 April 2004
Surat lepas dari Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, bernomor 584/P/04 tertanggal 30 April 2004 ternyata tak membuat pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir, benar-benar bebas dari penjara. Pasalnya, selepas shalat subuh, Ba’asyir dijemput polisi dan dibawa ke Mabes Polri. Kini Ba’asyir mendekam di sel Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), menjalani penahanan dalam statusnya sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana terorisme terkait peledakan bom Hotel JW Marriott dan bom Bali
Maret 2005
Ba’asyir divonis: 2 tahun 6 bulan penjara
Juni 2006
Ba’asyir bebas
19 Juli 2008
Abubakar Ba’asyir melepaskan diri dari organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Pengasuh Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah tersebut, rencananya akan mendeklarasikan organisasi baru, Jamaah Anshori Al Tauhid (JAT) dan dia menjadi amir. Baas’yir mundur karena prinsip struktur organisasi. Dia meminta MMI agar mengubah struktur organisasi. Posisi amir seperti ketentuan syariat, sehingga amir sebagai pimpinan tertinggi yang didengar dan ditaati.
9 Agustus 2010
Ba’asyir kembali ditangkap berkaitan dengan keterlibatan langsungnya dalam rencana teror. Ini berdasarkan keterangan polri. Berbicara dalam konferensi pers di Jakarta hari Senin (9/8/2010), mantan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang, mengatakan, Ba’asyir berperan aktif dalam rencana awal pembentukan “qoidah aminah” atau basis aman bagi gerakan terorisme di Aceh.
16 Juni 2011
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan 15 tahun penjara bagi Abu Bakar Ba’asyir karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana terorisme.
Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut yang menginginkan lelaki berusia 72 tahun tersebut dijatuhi hukuman seumur hidup.
Dalam persidangan Ba’asyir dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pembiayaan pelatihan militer kelompok teroris yang mengadakan latihan bersenjata di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Baca Juga: 150 Juta Anak Terlantar di Dunia: Mereka Akan ke Mana?
Selama persidangan berlangsung dia membantah terlibat dalam kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), tetapi berulang kali mengatakan gerakan tersebut justru sah dalam hukum Islam.
Atas keputusan tersebut kuasa hukum Ba’asyir Achmad Midhan menyatakan banding. Sedangkan Ba’asyir menyebut vonis hakim ”zalim dan haram untuk menerima keputusan hakim”.