Lontar.id – Awal bulan Februari mendatang, saya dijadwalkan melaksanakan ibadah umrah di tanah suci, Makkah. Sebenarnya, saya salah satu orang yang tidak berambisi melakukan perjalanan ibadah yang jauh dengan harga yang mahal.
Dalam pikiran saya, untuk mendapatkan amalan yang banyak, masa Tuhan mengharuskan hambanya membayar 20 sampai 50 juta. Tuhan tidak sekapitalis itu Feruguso.
Tapi saya tetap bersyukur, kali ini perjalanan umroh saya gratis. Bukannya Tuhan juga melarang hambanya kufur nikmat. Jadi, saya harus bersyukur. Lebih bersyukur lagi ketika membayangkan jutaan orang mengidam-idamkan perjalanan umroh namun belum terealisasikan.
Saya bersyukur dan blingsatan di saat yang sama. Semenjak diminta melakukan umrah saya pikir segala urusan akan diserahkan kepada pihak travel. Kan sudah bayar mahal masa harus repot-repot lagi, urus sana-sini.
Pada kenyataannya, saya memang harus mengurus banyak hal, bahkan jauh sebelum melakukan perjalanan umrah itu sendiri. Untungnya adalah, saya telah memiliki paspor. Itu berarti, saya tak perlu lagi bolak-balik ke kantor imigrasi. Bayangkan mereka yang harus mengurus dari awal.
Belum lagi, ketika pihak travel meminta saya melakukan vaksin. Iya sih ini penting, jangan sampai kita tertular atau menularkan penyakit saat beribadah. Masalahnya adalah mengapa untuk sekali vaksin saja, saya harus merogoh kocek yang sangat banyak? Mengapa Ferguso?
Saya tidak tahu, kecuali jika ingin berprasangka buruk. Untuk meningkatkan pendapatan negaralah dengan cara memeras uang rakyat kecil yang sedang dihegemoni beribadah di tanah suci, Makkah. Rakyat kecil yang yakin jika beribadah di tanah suci akan menyempurnakan keimanannya.
Saya sih tidak yakin dengan hal itu, sekali lagi dasarnya karena saya percaya Tuhan tidak sekapitalis itu.
Tidak sampai urus-mengurus vaksin. Akhir tahun 2018, pemerintah Arab Saudi mewajibkan calon jamaah umrah melakukan tes biometrik di negara masing-masing. Selain ribet mengurusnya, saya juga terkendala di masalah biaya.
Sebelumnya, tes biometrik untuk keperluan pembuatan visa umrah dan haji hanya dilakukan begitu para jamaah mendarat di Jeddah, Arab Saudi. Prosesnya pun tidak berlangsung lama karena hanya membutuhkan waktu lima menit.
Untuk area Jakarta, tes biometrik hanya dilakukan di satu titik, yakni di daerah Kebayoran Baru. Memang kita tidak perlu mengantri lama. Tidak ada persyaratan yang pengurusannya sangat ribet. Cukup membawa paspor dan KTP.
Tapi sebagai sobat misqueen, saya tetap keberatan karena tes biometrik, yang ternyata hanya merekam sidik jari calon jamaah harus dibayar dengan harga mahal. Nominalnya, 117 ribu. Dengon sewot, saya bertanya kepada petugasnya. “Mba, tes biometrik ini apa sih?”
Si mbak petugas menjawab dengan wajah agak masam, “memang persyaratan umroh, mbak.”
“Tujuannya apa ya?” Timpal saya.
“Karena jumlah jamaah yang semakin banyak, jadi tes biometrik dilakukan di negara masing-masing. Biar nggak numpuk di bandara.” Jawabnya.
Akan tetapi, masih ada yang lebih mengherankan dan aneh, ternyata sebelum berangkat umrah, pihak travel telah menentukan biaya khusus membuat baju seragam. Saya tidak tahu apa pentingnya, barangkali saja agar mudah dikenali saat melaksanakan umrah. Akan tetapi, apa iya ssetiap hari saya harus menggunakan seragam itu?
Parahnya lagi, setelah googling, dana yang sengaja dipentuntukkan untuk baju seragam sebesar 600 ribu. Hah? Baju ibadah ko bisa semahal itu?
Lebih dari itu semua, saya tetap ingin bersyukur kepada siapapun yang telah melayani saya selama pengurusan ibadah umrah. Terutama yang telah memberangkatkan dengan gratis.
Saya juga menjadi yakin jika masyarakat kita masih sangat mementingkan ibadah, setidaknya hal itu positif dibandingkan melakukan gibah, sebar hoaks menjelasng Pilpres, dan hal-hal nirfaedah lainnya.