Oleh :
Laode M. Rusliadi Suhi
“ Lebih baik di sini rumah kita sendiri,
segala nikmat dan anugerah yang kuasa,
semuanya ada di sini,
Rumah Kita…. “
Itulah sepenggal lagu God Bless yang mengakhiri sesi penutup acara debat pertama calon presiden dan wakil presiden, yang dibawakan Dorkas Waroy putri Papua asal Serui. Beliau pernah mewakili Indonesia pada ajang Bintang Radio ASEAN Tahun 2012. Tentunya itu murni untuk menghibur para tokoh politik nasional, pendukung pasangan calon 01 dan 02, serta masyarakat Indonesia. Bukan untuk menutupi persoalan Papua di negara ini. Kita ketahui bersama acara debat pertama calon presiden dan calon wakil presiden antara Joko Widodo-Ma’aruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bekerjasama dengan beberapa media-media pada, Kamis, 17 Januari 2019 di Jakarta, yang mengusung tema: Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme, dan didukung oleh tim panelis yang kompeten di bidangnya masing-masing antara lain : Prof. Bagir Manan (mantan Ketua Mahkamah Agung RI ), Prof Hikmanto Juwana (Guru Besar Fakutas Hukum UI- Pengamat Hukum Internasional), Agus Raharjo (Ketua KPK RI), Ahmad Taufik Damanik (Ketua Komnas HAM RI), Dr Margarito Kamis (Pakar Hukum Tata Negara), dan Bivitri Susanti (Pakar Hukum Tata Negara).
Selama acara debat berlangsung selama dua jam sama sekali tidak menyinggung isu Papua dalam konteks Hukum, HAM, dan Korupsi. Dan seakan rasa penasaran publik pun khususnya di Papua tidak terjawab. Lembaga KPU, pasangan capres dan cawapres, Joko Widodoi-Ma’aruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno , beserta tyim pemenangan masing-masing tidak mampu melihat dan punya kepekaan atas persoalan Papua (Sensitivity of Papua). Ibarat sebuah perumpamaan “ anggota tubuh ketika ada bagian yang sakit apalagi mengeluarkan darah, tentunya, anggota tubuh yang lain ikut merasakkan.”
Negara ini punya tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan berbagai hal yang menyangkut permasalahan Papua sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi kita. Pemerintahan mulai dari era Presiden Soekarno sampai Presiden Jokowi , penanganan masalah Papua pun secara khusus dan konstruktif yang menjadi bagian dari Rencana Program jangka Panjang maupun menengah oleh Pemerintah Pusat. Kekhususannya dalam berbagai aspek baik sejarah, politik, ekonomi, kultur budaya, dan sosial. Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari NKRI, begitu pula segala hal yang menyangkut persoalan tentang Papua. Secara administratif, Papua terbagi dalam dua provinsi: Papua dan Papua Barat, dengan 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua dan 13 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat.
Sementara untuk pemerintahan Jokowi saat ini hanya fokus pada pengembangan infrastruktur dan perbaikan konektivitas proyek jalan Trans-Papua seluas 4.330 km, misalnya, bertujuan untuk membuka akses bagi banyak komunitas Papua yang telah lama terisolasi. menerapkan program “BBM Satu Harga”, yakni harga standar nasional untuk pembelian BBM di Papua. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan harga BBM di Papua, yang dapat mencapai Rp50 ribu-Rp100 ribu per liter, hampir sepuluh kali lipat harga rata-rata secara nasional. Kebijakan harga ini terbukti populer, meski dalam praktiknya masyarakat di daerah pegunungan Papua hanya menikmati harga standar nasional sekali atau dua kali sebulan karena kendala pasokan.
Namun hal itu berbanding terbalik jika dilihat konteks penegakan hukum dan HAM, pemerintah pusat tidak serius menangani. Penulis memfokuskan pada penegakan hukum dan HAM, hampir setiap Desember, Papua selalu menjadi berita utama di media nasional dan internasional. Untuk Tahun 2018, setelah Penangkapan orang Papua yang memperingati “hari kemerdekaan” mereka pada 1 Desember, kita dikejutkan oleh Pembunuhan Puluhan pekerja konstruksi di Nduga yang diduga dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata meski secara detail rinciannya belum jelas.
Menurut keterangan Kapolri, Tito Karnavian yang dilansir diberbagai media menyebutkan ada 20 orang yang menjadi korban pembunuhan KKB. Jumlah itu terdiri dari 19 orang pekerja Trans Papua dan satu orang lainnya adalah anggota TNI. Selanjutnya dalam penegakan hukum dan kasus-kasus HAM yang lain misalnya tiga masalah HAM Berat yang lain adalah kasus Wasior (2001), kasus Wamena (2003) dan kasus Enarotali-Paniai (2014), dan kategori tersebut berdasarkan amanat pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Belum lagi kasus penembakan “misterius “ di sekitar area penambangan freeport, hal ini menunjukkan bahwa proses penegakan hukumnya belum jelas sampai saat ini.
Di sisi lain berdasarkan data komnas HAM 2018 terkait konflik agraria di Papua, Komnas HAM mendapatkan aduan sebanyak total 5.828 berkas selama Januari-Desember 2018. Adapun perincian total aduan tersebut di antaranya, hak atas tanah (1062); hak untuk hidup (188); hak atas kesejahteraan (2317);dan hak masyarakat adat (853). Hal tersebut merupakan bahwa ada persoalan besar yang harus diselesaikkan bangsa ini terkait proses penegakan hukum dan HAM di Papua. Selain pelanggaran HAM berat masa lalu juga belum dapat diselesaikan seperti peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, Talang Sari, dan Kerusuhan Mei 1998. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui yudisial (pengadilan) merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan Indonesia sebagai negara hukum. Karena setiap orang berhak atas pemulihan dari pelanggaran HAM yang dialami (access to remedy).
Sebuah ironi memang dalam debat capres dan cawapres Pilpres 2019 isu Papua tentang Hukum, HAM dan Korupsi secara spesifik hilang dan tidak dimuat dalam lembaran “kisi kisi” KPU yang sempat mewarnai pemberitaan karena di duga bocor, bahkan masing-masing dua capres dan cawapres beserta tim tak mampu melihat persoalan negara ini secara utuh. Apakah dengan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua bukan merupakan persoalan negara ini? secara tidak sadar, lagu penutup yang dibawakan Dorkas Waroy merupakan bagian perenungan kita bahwa apakah Papua dengan segala nikmat dan anugerah yang kuasa, sudahkah menjadi rumah kita bersama?
***Penulis adalah Praktisi Hukum dan Mahasiswa Magister Hukum Konstitusi Universitas Pancasila (UP)