Sekitar tiga bulan ke depan, tepatnya 17 April 2019, akan diadakan pesta rakyat yang berlangsung sekali dalam lima tahun, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres). Dalam pelaksanaannya, tentu saja rakyat seharusnya ikut merayakan pesta itu dengan penuh kegembiraan. Sebab layaknya sebuah pesta pasti selalu identik dengan hal-hal yang sifatnya penuh keceriaan dan kebersamaan.
Ya paling tidak, gagasan kita tentang pesta pada umumnya seperti itu. Meskipun pesta ‘politik’ tidak selalu identik dengan keceriaan dan sesuatu yang membuat kita bahagia.
Pesta rakyat, hanya sebuah ilustrasi untuk menggambarkan, bagaimana rakyat turut terlibat pada acara lima tahunan. Mereka berbondong-bondong ikut serta dalam kampanye, menjadi relawan hingga didaulat sebagai tim sukses, sangat menyenangkan bukan?
Saya berpandangan, bahwa rakyat sebagai konstituen dalam pesta itu, hanyalah tamu undangan yang menikmati pesta sementara waktu, setelah acara berakhir mereka bubar dan kembali ke profesi masing-masing. Sedangkan politikus sebagai tuan rumah, memetik hasilnya setelah menang pada kontestasi politik lalu meninggalkan rakyat.
Seperti dalam istilah politik yang santer kita dengar ‘tak ada makan siang yang gratis’ semua pasti ada harganya.
Relasi kepentingan antara politikus dengan rakyat yang memberi suara, bisa dilakukan dengan cara menukar duit dengan hak suara, atau bisa dengan mengakomodir kepentingan kelompok tertentu masuk dalam komposisi jabatan strategis di pemerintahan, asalkan dirinya terpilih.
Transaksi politik pun tumbuh, demikian dengan biaya politik yang semakin mahal. Jika sudah terjadi demikian, maka menutup peluang bagi orang dengan integritas tinggi masuk di gelanggang karena tak punya duit. Bukankah semua itu ada harganya Ferguso! Berpihak Kepada Siapa?
Berpihak Kepada Siapa?
Keberpihakan politik pada calon Presiden, dengan mendukungnya itu hal yang wajar. Karena undang-undang sudah mengaturnya. Namun memberikan dukungan tanpa dasar argumentasi yang kuat dan nalar kritis saya pikir terlalu menyederhanakan, karena memilih presiden, tidak sama persis dengan memilih ketua kelas. Karena nantinya, dia akan memimpin jutaan rakyat Indonesia dengan keanekaragaman kultur, bahasa, agama dan budaya yang berbeda.
Sebab apa jadinya ketika capres yang terpilih nanti, bukan figur yang tepat memimpin bangsa ini. Bukanya membawa negara kita bangkit dan disegani oleh negara lain, malah sebaliknya. Hal inilah menurut saya sangat penting bagi rakyat, menggunakan dasar argumentasi yang rasional, melihat jejak rekam sang capres, sebelum menentukan pilihan.
Dari kedua calon yang ada, antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi, tak ada yang bagus-bagus amat. Misalnya selama Jokowi menjadi presiden, masih banyak kasus pelanggaran HAM di era Orde Baru yang belum selesai.
Kasus agraria antara pemilik perusahaan dengan lahan warga yang dicaplok hingga isu kriminalisasi terhadap ulama justru semakin tajam. Demikian dengan Prabowo, tak bagus-bagus amat. Ia masih dipertanyakan tentang komitmennya memberantas korupsi. Selain itu, Prabowo masih diduga pelaku pelanggaran HAM masa Orde Baru.
Tetapi, karena hanya ada dua capres yang maju, kita tak diberikan pilihan alternatif lain, kecuali memilih yang terbaik diantara salah satunya.
Golput (golongan putih) juga bisa jadi jalan alternatif lain, jika menganggap kedua capres saat ini tidak representatif untuk diberikan mandat sebagai pemimpin. Golput masih dipercayai sebagai penolakan radikal terhadap figur-figur yang tampil. Jika kepercayaan rakyat terhadap dua capres menurun, maka ada kemungkinan gelombang golput semakin meningkat. Semoga saja tidak.
Poin saya, rakyat benar-benar harus menggunakan hak suaranya, memilih capres yang terbaik berdasarkan rekam jejak dan argumentasi yang kuat, terkait alasan memilih sang figur. Sehingga presiden yang dihasilkan melalui proses pemilu, punya kapasitas dan yang paling penting adalah mau berpihak terhadap rakyat.
Pada umumnya, rakyat seringkali menjadi komoditas politik yang sering diperebutkan. Rakyat seolah jadi pasar yang diperjual belikan suaranya, kala musim politik tiba. Mainset tersebut harus dihilangkan, karena akan terus menerus menjadi objek politik dan menjadi penyakit menahun yang sulit dihilangkan.
Bukankah kita menginginkan perubahan drastis, maka kita perlu berpikir kritis!
Penulis: Ruslan