Lontar.id- Duka mendalam dialami masyarakat Sulawesi Selatan. Ribuan orang terkepung oleh air yang mendesak naik mencapai leher orang dewasa. Rumah, pepohonan, dan ternak tidak berhasil lolos dari luapan air.
Banjir bandang yang melanda Sulsel hari ini mengingatkan saya pada banjir yang terjadi 2006 silam. Jika hari ini, banjir melanda beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, yakni Gowa, Makassar, dan Maros. 13 tahun yang lalu, banjir bandang pernah melanda daerah saya tepatnya di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Baca Juga: Bencana Sulsel: Daratan Seperti Sungai Telah Surut
Memang ada jarak yang cukup jauh, setidaknya lebih dari datu dekade Sulsel kemudian dilanda banjir kembali. Tapi, kita sangsi apakah bencana lain tidak akan menyusuul ketika melihat kondisi alam yang sedang sakit.
Baca Juga: Manusia Bukan Korban Bencana Alam tapi Pelaku Bencana Alam
Banjir memang bukan sekadar perkara kerugian material, tapi ada banyak hal yang harus direlakan. Kita melihat duka seorang anak yang ditinggalkan Ibunya setelah berhasil menyelamatkan keponakannya. Kita melihat seorang Ibu yang meninggalkan anak perempuannya setelah bertaruh nyawa di Rumah Sakit dengan serangan jantung yang menjangkiti tubuhnya.
Iya, akan selalu ada yang direlakan. Ada selalu ada trauma dan kehilangan mendalam setelahnya. Dan lebih dari itu, bagaimana menyembuhkan ingatan buruk, trauma, dan ketakutan akut kita.
Tidak mudah memang mengembalikan keceriaan setelah alam menunjukkan murkanya. Saya ingat betul, kala itu kampung dan termasuk rumah saya dilanda bajir bandang. Berhari-hari setelah banjir kami tidak pulang karena takut adanya banjir susulan.
13 tahun lalu, saya adalah anak 10 tahun yang hanya bisa menangis dan ketakutan saat melihat bapak saya hampir meninggal karena dibawa arus air. Ketakutan saat melihat ratusan orang meninggal dibopong, mendengar ada keluarga yang tak terselamatkan.
Saat pulang dan melihat kondisi rumah berlumpur serta tak ada apa-apa di dalamnya, hati saya meringis. Sendal kesukaan, pakaian favorit, dan hewan peliharaan saya hilang semuanya. Mereka memilih dihanyutkan oleh air daripada menemani tuannya.
Saya melihat Ibu menangis membuka selembar demi selembar buku-buku yang dulunya dipakai saat kuliah dan ia rawat hingga sekarang. Pertama kali yang Ibu selamatkan adalah buku-bukunya.
Saya melihatnya, diantara kubangan lumpur ia memungut satu per satu bukunya. Mengeringkan berhari-hari dan berharap masih bisa disimpan dan dibaca. Sampai hari ini, buku-buku itu masih ada di perpustakaan rumah, dan setiap kali membukanya, saya selalu dibawa oleh ingatan saat banjir bandang 13 tahun yang lalu.
Baca Juga: Secuil Pelajaran yang Bisa Diambil dari Banjir SulselSelasa, 22 Januari banjir bandang terjadi di Sulawesi Selatan. Ribuan media meliput dan membberitakannya. Masyarakat Indonesia berlomban-lomba membuka saluran dana bagi yang ingin menyumbangkan dan berempati dengan duka yang dialami masyarakat Sulawesi Selatan.
Saya tidak merasakan banjir tahun ini, tapi saya tahu jika butuh waktu yang lama untuk menyiapkan diri hidup secara normal setelah mendapatkan peristiwa alam yang seperti ini. Bantuan material dan dukungan memang sangat membantu, tapi butuh bertahun-tahun lagi untuk bisa memulihkan diri dari duka yang dialami.
Kita semua, tentut sulit menebak kapan ini akan berakhir. Yang tersisa adalah doa dan harapan, setidaknya agar mampu melunasi hidup hari ini.