Jika kau atau temanmu sedang bersedih, rangkullah dan ajak ia untuk mencari solusi. Dari kasus Afif Dhia Amru, kesimpulan sementara, depresi itu hal yang tak boleh dianggap sederhana.
Jakarta, Lontar.id – Afif DA, warga Tangerang, meramaikan jagat maya. Ia dibicangkan setelah twitnya yang seperti mengalami depresi. Tak lama, ia didapati bunuh diri.
"Gua gamau terus menerus jadi benalu di lingkungan gua, so kayanya lebih baik gua enyah dari muka bumi ini. bye!"
Kalimat itu kemudian diserbu oleh netizen, setelah Afif ditemukan di kamarnya dalam keadaan tak bernyawa. Dari keterangan polisi, di kamarnya ada botol berisi serbuk untuk bunuh diri.
Pria berumur 21 tahun ini, awalnya sempat mengirim pesan pada teman-temannya kalau ia hendak “pergi”.
“Korban kirim pesan melalui line kepada saksi dan mengirim foto satu botol plastik warna putih tanpa merek yang berisikan serbuk warna putih yang akan diminumnya,” ungkap Kasat Reskrim Polres Tangerang Selatan AKP Alexander Yurikho, Jumat (25/1/2019).
Polisi mengambil kesimpulan sementara setelah mengambil informasi dari saksi yang juga kawan dari Afif, yakni Egard Kenanth. Saat dikirimi pesan, Egard langsung datang ke kontrakan Afif.
Saat berada di sana, pintu kontrakan Afif terkunci dari dalam. Afif tidak menajawab saat pintunya diketuk-ketuk beberapa kali. Tak dinyana, setelah dibuka paksa, Afif didapati dalam keadaan tak bernyawa.
“Pada pukul 17.40 WIB, pintu rumah kontrakan dibuka paksa, didapati korban dalam posisi terlungkup di ubin,” ujar Alex.
Masih dari sumber polisi, di kamar Afif, ditemukan bekas muntahan dekat tubuhnya. Ada botol plastik dekat tubuhnya. Polisi langsung mengeceknya, dan tidak ditemukan ada tanda-tanda kekerasan di tubuhnya.
Korban pun diduga bunuh diri karena depresi.
Bukan Masalah Tunggal
Berseliwer informasi tunggal soal bagaimana masalah yang dijalani Afif. Ia disebut kesulitan membayar uang kuliah. Persoalannya tak jauh dari ekonomi.
Beberapa media mengatakan kalau ia bunuh diri karena hal itu. Kesusu, mereka mengambil sudut pandang kalau penyebab Afif memilih mengakhiri hidupnya lantaran ekonomi.
Sampai sekarang, saya masih sangat yakin kalau Afif pergi bukan karena masalah itu. Ada banyak faktor ia nekat membunuh dirinya sendiri.
Asumsi kedua, ia merasa kawan-kawannya sudah meninggalkannya. Dalam keadaan yang tertekan, ia begitu merasa sangat kesepian.
Simbol pun ia tebar. Jika melihat dari twitnya, Afif menyampaikan kata-kata yang begitu kelam: ia tidak suka dengan kondisi yang melingkupinya mengikut soal perasaannya dengan kawannya.
Pengalaman Depresi
Saya bukan orang yang tidak pernah dijangkiti masalah yang begitu serius. Dalam hidup, ada beberapa hal yang bikin mata saya kunang-kunang dan nausea. Keduanya nyaris membuat saya roboh.
Masalah berat pernah datang. Manusia, sejatinya tidak kuat-kuat amat bertahan, ketika problema menghantam batin dan batok kepalanya secara bersamaan.
Saya menyadari, masa saat saya depresi, tidak pernah ada faktor tunggal. Dalam kepala saya, selalu tampil memori yang membuat saya sedih lebih dari implikasi atas masalah yang saya hadapi.
Saya meyakini tak ada faktor tunggal dalam orang-orang yang memilih untuk bunuh diri atau depresi. Ini menurut saya pribadi.
Saya menyarankan, media, atau siapapun harus berhenti mengambil sudut pandang tunggal atau kesimpulan soal bunuh diri. Jika begitu, keluarga yang ditinggalkan akan terkena dampaknya. Bisa stress dan depresi lagi.
Menjadi depresi itu menyedihkan dan membuat kita sadar betapa kecilnya kita. Saat depresi, biasanya saya malas untuk berbuat apa-apa. Lebih banyak meratapi masalah, dan memikirkan jalan keluar sendiri. Sayangnya, saya lemah.
Untung saja ada sahabat dan kawan yang siap menampung keluh kesah saya. Ia memberi saya sudut pandang baru dalam mengambil solusi.
Ia dengan sangat baik, seperti memberikan rangkulan dan memahami emosi orang-orang depresi seperti saya. Jadi untuk kawan-kawan yang lain, ada baiknya jika depresi, mencari sahabat untuk sekadar mencurahkan isi hati.
Kedua, dalam agama saya, saya banyak belajar soal bagaimana pentingnya sabar dan meyakini kalau tidak ada masalah yang tidak tuntas kalau kita berusaha mencari jalan keluarnya.
Janji Tuhan selalu baik bagi orang-orang yang pandai bersyukur, berusaha, dan bagus bersosialisasi pada kawan-kawannya. Intinya, tidak ada masalah yang tidak bisa selesai, bukan? Masalah malah akan terus bertumpuk, jika didiamkan.
Setelah melewati fase itu, saya jadi menghargai orang-orang yang curhat. Saya pernah mengalami beban itu, dan takkan membiarkan kawan saya mengalami hal yang buruk sama seperti saya.
Minimal, saya tidak merendahkan masalah orang dan menganggapnya enteng, dengan menertawainya atau merundungnya bertubi-tubi. Masalah itu jalan keluarnya solusi, bukan hinaan.
Semua ini diawali dari stereotipe yang sudah tertanam kalau curhat itu berlebihan, atau lebay, atau tidak baik. Dampaknya? Banyak orang yang menyimpan masalahnya sendiri, karena takut dirundung dan ditertawai.
Saya pernah merasa begitu. Namun, merugikan saya. Di sisi lain menjadi pelaku, tak ada keuntungan yang didapat, menjadi korban pun malah semakin mempersulit keadaan.
Jika memang tak menemukan kawan yang ingin menampung curhat, masih ada lembaga yang bisa menjadi tempat Anda berbagi jika merasakan depresi seperti Yayasan Pulih dan LSM Jangan Bunuh Diri.
Dua lembaga itu, yang saya tahu, bisa dicari alamatnya atau narahubungnya di mesin pencari. Jadi, terakhir, pesan saya sederhana: Curhatlah, kawan. Hentikan depresi dan niat bunuh diri. Hidupmu indah.