Jakarta, Lontar.id – Turnamen Bulu Tangkis Indonesia Masters 2019 di Istora Senayan, Jakarta, telah resmi berakhir, Minggu (27/1/2019). Namun, kesan para pebulutangkis dunia tentang Istora Senayan akan terus terngiang dalam ingatan mereka. Teriakan tiada henti, hingga suara balon tepuk yang terus menggema menghadirkan kesan ‘menakutkan’ bagi pebulutangkis tamu.
Istora memang dikenal sebagai arena bulu tangkis paling heboh di dunia. Tak akan ada pertandingan tanpa iringan teriakan dan hasutan di setiap turnamen. Namun, ketakutan pebulutangkis lain hanya berlaku jika mereka menghadapi pemain Indonesia. Di luar itu, dukungan suporter Indonesia tetap diberikan bagi pemain Negara lain.
Juara tunggal putra Indonesia Masters 2019, Anders Antonsen salah satunya. Pemain asal Denmark ini merasakan betul nikmatnya menjadi juara di Istora. Saat berhasil mengalahkan pemain Jepang, Kento Momota, Antonsen seolah merasakan bermain di rumah sendiri.
Teriakan, hingga dukungan suporter Indonesia untuknya, membuat Antonsen begitu antusias melakukan selebrasi kemenangan. Bajunya ia lepas, lalu berlari ke arah penonton dan melemparnya. Lemparan pertama Antonsen gagal mencapai tribun penonton. Ia kemudian berlari lagi dan kembali melempar baju yang dia gunakan pada partai final itu. Penonton lalu merespons dengan berusaha menangkap baju Antonsen.
Setelah itu, teriakan penonton Istora kembali menggema. Raut bahagia Antonsen belum mereda.
Dia kembali melakukan selebrasi kemenangan. Eskpresi bahagianya terasa lengkap dengan sambutan positif dari pendukung tuan rumah.
“Amazing” adalah satu kata dari beberapa kalimat bahasa Inggris yang diungkapkan Antonsen. Ini dia ungkapkan saat seorang reporter TV meminta tanggapannya tentang suporter Indonesia di Istora.
Tak hanya Antonsen. Pebulutangkis putri asal India, Saina Nehwal juga begitu bahagia kembali bermain di Istora. Saina mengaku telah 8 kali dalam kariernya bermain di Istora. Atmosfer dan teriakan suporter sudah biasa baginya. Bagi mereka yang paham, teriakan dan intimidasi suporter saat melawan atlet tuan rumah tidak selamanya menjadi beban bagi pemain lain. Karena kata Saina, sambutan negatif justru akan berakhir positif jika para pemain mampu membuktikan diri.
“Dia berkata ini tempat dia di mana 8 kali main di sini, dan dia juga senang banget di sini karena penonton-penontonnya, suporternya sportif dan sangat membantu dia (untuk) bersemangat untuk bermain,” kata seorang penerjemah saat menerjemahkan ungkapan Saina soal suporter Indonesia.
Saina sendiri berhasil menjuarai Indonesia Masters 2019 di sektor tunggal putri. Saina menang di final usai rivalnya, Carolina Marin (Spanyol) mundur karena cedera.
Antara Terbebani dan Termotivasi
Banyak pemain Indonesia saat berlaga di Istora akan tampil kesetanan. Pemain tunggal putra, Jonatan Christie contohnya. Performa Jojo sapaannya–jika bermain di Istora akan jauh berbeda saat dirinya tampil di turnamen negara lain. Saat Asian Games 2018, Jojo sukses menyabet medali emas di sektor tunggal putra.
Di Indonesia Masters 2019, Jojo begitu tampil mendominasi saat menghadapi pemain unggulan. Shi Yuqi salah satunya. Atlet Tiongkok peringkat dua dunia itu gagal bersinar di Istora saat Babak 16 besar melawan Jojo. Teriakan dan riuh suporter yang terus-menerus mendukung Jojo membuat Shi Yuqi tak berkutik.
Shi Yuqi takluk di set pertama dengan skor 22-20. Namun, hasil di set kedua begitu mencolok bagi seorang juara dunia 2018. Shi Yuqi hanya mampu meraih 6 angka dan tersingkir di set kedua dengan 21-6. Performa Jojo terus meningkat dengan dukungan suporter.
Hanya saja, di semifinal ia gagal mempertahankan pola permainan. Dukungan suporter memang tak selamanya menjadi semangat. Juga ada beban tuntutan menang bagi pemain tuan rumah. Gaya permainan Jojo terlihat berbeda saat lawan Antonsen. Ia takluk 18-21, 16-21, sehingga mengakhiri pencapaian positifnya di Istora.
Begitu juga dengan Anthony Sinisuka Ginting. Juara bertahan tunggal putra Indonesia Masters 2018 ini seakan bermain kaku di perempatfinal. Permainan Ginting tak seperti biasanya saat menghadapi Kento Momota.
Istora yang biasanya angker bagi pemain luar justru seakan menjadi beban bagi Ginting. Ia takluk dengan skor mencolok, 9-21 dan 10-21. Jarak angka kekalahan Ginting lawan Momota tersebut merupakan yang paling rendah jika dibandingkan pertemuan mereka di luar Istora.
Hanya sektor ganda putra yang mampu menjawab ekspektasi juara di Istora. All Indonesian Final tercipta lewat Mohammad Ahsan-Hendra Setiawan dan Marcus Fernaldi Gideon-Kevin Sanjaya Sukamuljo. Dua ganda putra andalan Indonesia ini tetap menjaga keangkeran Istora. Hendra-Ahsan bahkan mampu menyingkirkan tiga jagoan ganda putra Tiongkok sebelum melenggang ke final.
Baca Juga: Tembus Final, Hendra-Ahsan Pulangkan 3 Ganda Putra Tiongkok
Meski pada akhirnya takluk oleh juniornya, Kevin-Marcus (17-21- dan 11-21). Namun, gelar juara tetap menjadi milik Indonesia. Gelar juara Minions julukan Kevin-Marcus bahkan semakin menasbihkan mereka sebagai ganda putra peringkat pertama dunia.
Riuh suporter di Istora juga semakin bertambah dengan momen perpisahan Liliyana Natsir. Sambutan luar biasa diberikan oleh Liliyana yang berlaga di partai final. Meski pada akhirnya, Tontowi Ahmad dan Liliyana kalah atas ganda campuran Tiongkok, Zheng Siwei-Huang Yaqiong.
Namun teriakan dukungan tiada henti tetap bergelora di pertandingan profesional terakhir Liliyana itu. Kehebohan dan teriakan yang terus menggema menjadi akhir yang manis bagi Owi-Butet–julukan pasangan pengoleksi emas Olimpiade Rio de Janiero 2016 ini.
Akhir Indonesia Masters 2019 juga memberikan kenangan yang tak mampu dirasakan para pemain di turnamen luar negeri. Istora, riuh suporter, dan teriakan tiada henti saat pertandingan akan selalu menyisakan kesan luar biasa bagi para pebulutangkis dunia.