Lontar.id – Beberapa hari lalu saya berdiskusi atau anggaplah sedikit berdebat dengan teman-teman di kantor. Kami mendikusikan ihwal pelecehan dan kekerasan seksual yang kerap kali terjadi pada perempuan. Memang benar, perbincangan yang seperti ini sudah sangat sering saya dapatkan, entah di ruang maya ataupun dalam ruang-ruang sosial sehari-hari.
Sebagai satu-satunya perempuan di kantor, saya merasa memiliki tugas lebih besar untuk membela perempuan dalam konteks pelecehan dan kekerasan seksual. Bukan soal saya pernah belajar teori feminis tapi justru hal itu terkait dengan cara berpikir saja.
Peluang saya didebat habis-habisan lebih besar sebab saya sendiri, maksudnya adalah perempuan satu-satunya dalam tim. Tapi, saya tetap kekeh pada posisi membela perempuan.
Bagi mereka, kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan salah satunya dipicu oleh perempuan yang berpakaian seksi. Saya tentu tidak bersepakat.
Demi tidak menyinggung perempuan, laki-laki biasanya memoles bahasanya lebih halus tapi maknanya tetap patriarkis. Ada yang berkata, memang pakaian seksi tidak memicu kekerasan seksual, tapi jika semua perempuan memilih menurutup aurat, maka akan meminimalisir kasus kekerasan seksual.
Dua argumentasi di atas sepertinya berbeda tapi maknanya serupa. Menuduh perempuan sebagai dalang dari kekerasan seksual.
Saya mati-matian membela perempuan dengan mengatakan itu pandangan yang sangat patriarkis. Bagi saya, kekerasan seksual terjadi bukan karena pakaian perempuan yang terlalu terbuka, tapi otak si pelaku yang terlalu bejat.
Perempuan yang memilih berpakaian terbuka dengan perempuan yang sengaja menonjolkan tubuhnya untuk menarik perhatian laki-laki adalah dua praktik yang berbeda. Dan dua hal itu harus dipahami dan direspon berbeda pula.
Lebih dari itu, yang membuat saya semakin geram tatkala membaca berita pagi ini tentang seorang paman yang memperkosa keponakannya yang masih duduk di bangku kelas enam SD.
Dilansir dari Tribunnews.com, dua orang anak kembar, murid kelas enam SD diperkosa oleh pamannya itu, salah satunya melahirkan seorang anak. Peristiwa keji itu terjadi di kecamatan Batu Ampar, Kepulauan Riau.
Kajadian itu membuat saya semakin percaya bahwa kekerasan seksual sangat jauh dari persoalan sekadar pakaian seksi dan terbuka. Kita mafhum, sejak kecil, kehidupan sosial mengkonstruksi perihal seks sebagai sesuatu yang tabu. Kita lupa membaca tubuh sebagai bagian yang sakral dan otonom.