Legislator memang kerap dicoreng nama besarnya karena doyan duit dan suka korup. Namun, saya yakin masih ada sisi persona yang baik darinya.
Jakarta, Lontar.id – Jika ada orang yang pura-pura akrab pada musim politik, itu berarti dia caleg. Temanku berseloroh menjurus bercanda belum lama ini.
Selentingan kabar yang buruk itu, ia dapatkan dari kolom chat whatsaap-nya juga facebook. Tiba-tiba saja ada orang yang mengiriminya pesan, menanyakan kabar, juga memintanya membantu suara.
Temanku tertawa terbahak-bahak sambil emosi. Saya juga bingung, di sela tawanya, mulutnya mengeluarkan isi kebun binatang dan omel-omelan sarkas yang bisa bikin cedera hati kalau didengar seorang caleg.
Lalu apa yang balasan yang kaukirim, kawan? Tanyaku padanya. Ia hanya menjawab, iya. Pendek, dan tak mau lagi melanjutkan obrolan yang sudah basi itu.
Sembari duduk dalam satu meja di warung kopi. Aku tiba-tiba ingat bagaimana perdebatanku dengan Ibu, soal tim sukses yang pasang stiker di pintu rumahku.
Pintuku terbuat dari kayu yang sudah rapuh. Saya menebak, kayunya dari pohon jambu klutuk. Keseringan terendam air banjir, akhirnya pelan-pelan pintunya berlubang.
Baca juga: Obituari Rahman Tolleng: Beda Pandang dengan Gie dalam Melihat Politik
Pintu itu berhadapan dengan sumur, yang kira-kira dalamnya 5 meter. Karena banyak orang yang numpang mandi di depan rumah, makanya lubang di pintu ditutup oleh stiker caleg.
Aku tidak marah pintu rumahku ditutupi stiker yang desainnya buruk, kualitasnya jelek, dan tidak menarik dipasang di kendaraan. Namun…
Lama-kelamaan, ada stiker baru lagi. Semua dari caleg partai ungu kebiru-biruan. Caleg perempuan. Keluarga dari bekas gubernur di Sulawesi Selatan.
Aku paham dan tahu siapa caleg itu. Betapa kagetnya, karena ia tidak orisinil di foto yang terpampang megah di pintu rumahku. Ia sengaja dikuruskan, dan pipinya ditiruskan.
Aku tahu karena setelah melihat foto stikernya yang sudah dipulas, aku mengecek instagram pribadi caleg perempuan itu. Wajahnya segar, tubuhnya berisi, pipinya tembab, dan sedap dipandang.
Foto saja sudah bohong, apalagi janji, hih!
Aku bingung, kenapa keluarga gubernur ini tidak berhentinya memupuk anak, cucu, ponakan, dan segala macam keluarganya untuk menjadi politisi? Apa yang menarik dari politisi?
Banyak jalan untuk berbakti pada Negara. Kubayangkan kalau setiap keluarga di seluruh Indonesia maju dalam bursa legislator tiap 5 tahun sekali. Siapa yang akan memilih, coba?
Baginya, jadi masyarakat biasa, mungkin tidak menarik sama sekali. Siapa yang pasang stiker ini? Saya bertanya pada ibu dengan nada menyelidik.
Kata Ibu, oh, itu keluarganya Si Fulan, bekas gubernur kita. Kemarin beliau datang di dekat posyandu, dan berjanji mau membantu program kesehatan pemerintah, seperti Jamkesmas.
Ibu saya tidak tahu soal politik dan tetek bengek kebijakannya. Ia terima-terima saja kalau ada caleg yang datang dan mengunjungi rumahnya. “Bu, orangnya tidak minta izin waktu pasang stikernya di pintu?”
Ibu saya diam. Aku jelasi dengan pelan, kalau tidak minta izin, terus adab dan sopan santunnya di mana?–dikira pintu rumah itu kayak tiang listrik, yang bisa seenaknya ditempeli stiker informasi soal sedot tinja?
Lalu aku menjelasinya lebih dalam lagi soal pengecoran jalanan di gang masuk rumah. Tidak ada sepeser pun dana yang dikeluarkan caleg-caleg itu. Seluruh tetangga bahkan urunan untuk mengecor jalan, karena sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki. Jalanan pecah sana sini. Bukan aspal, namun batako.
Ibu saya diam. Namun, masih menganggap caleg itu baik. Alhamdulillah.
Beberapa kisah di atas aku ingat saja, setelah mengubek timeline twitter dan menemukan satu cerita yang mirip dengan kisahku. Tapi, pelakunya dari Jakarta. Kota gedongan.
Aku tidak apolitis kok, sama sekali tidak. Cuman, yang tak kusukai adalah orang yang berkoar-koar soal negara, namun tidak beradab pada masyarakat.
Baca juga: Mengenal Ulama Tasawuf dari Sulsel, KH Ambo Dalle
Ya, seperti Tsamara Amany. Ia akhirnya mengaku salah kalau timnya lalai mengurus baliho dan segala macam alat peraga yang beredar di Jakarta. Ia menulis itu pada Roy Thaniago. Setelah Roy menegurnya.
Awalnya Roy menulis satu twit. Merasa tak ditanggapi, lalu ia menulis perkara yang lebih panjang. Masalahnya, poster Tsamara menempel di tembok rumah Roy.
Kata Roy itu vandal. Perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh politikus yang diharapkan Roy mempunyai etika politik yang baru.
Lalu mereka berbincang di Twitter soal siapa yang akan mencabut poster yang sudah ditempeli tim Tsamara di Petojo Utara, Jakarta. Awalnya Tsamara niat mencabut, namun Roy menolak karena bisa mencabutnya sendiri.
Setelah mereka berdebat, aku tidak ingin mengambil pusing lebih jauh soal mereka. Bukan berarti tidak berguna, namun cukup, karena pelajaran penting sudah didapat dari keduanya.
Aku rasa tidak perlu teori yang begitu panjang soal budaya politik dan efektivitas dari baliho yang terpampang menjadi polusi visual dengan corak warna yang awut-awutan.
Terpenting, ada rasa memiliki pada masyarakat yang rumah atau lingkungannya “diserang” poster dan baliho. Sebab, caleg itu juga pasti tidak mau rumahnya dikotori hal-hal yang tidak penting.
Kedua, utamakan bilang: tabik/izin agar adab itu terjaga, sampai kita tua, sampai jadi debu. Ehe ehe ehe.