Bola itu olahraga yang paling mengasyikkan sekaligus menyakitkan. Mengasyikkan kalau lolos dari memanjat, menyakitkan kalau dipukuli tentara dan polisi saat kita tidak berhasil manjat.
Jakarta, Lontar.id – Waktu itu saya masih SMP. Tahun-tahun saat PSM
Makassar benar-benar kuat. Ada Christian Gonzales, Ronald Fagundez, Toledo, dan masih banyak lagi nama mentereng.
Sehabis pulang sekolah, di kantin atau di depan sekolah sambil minum air tahu, kami membicarakan banyak hal soal PSM. Mulai dari kapan pertandingannya, dan siapa pemain yang hebat di sana.
Saya bertukar banyak sekali informasi. Sampai-sampai, dulu saya rela baju kaosku ditandatangani pemain PSM yang saat itu masih menempati mes di jalan Taman Makam Pahlawan.
Tidak ada waktu untuk tidak membahas klub sepakbola di Indonesia. Sebab, saking kuatnya pengaruhnya, winning eleven bahkan menghadirkan klub-klub Indonesia saat gim itu berjaya di Playstation 1.
Sepakbola itu indah sekali. Ia bisa mengundang air mata, gelak tawa, dan masih banyak lagi ekspresi yang tidak pernah kaudapatkan pada olahraga-olahraga lain. Misal, gulat.
Syamsul Chaeruddin dan Irsyad Aras adalah dua sosok yang saya kagumi. Mereka semuanya kuat sekali. Mereka orang yang mencintai PSM. Gelagatnya menunjukkan itu. Baik saat memilih meninggalkan PSM pun pensiun.
Bel pulang berbunyi. Teman-teman sekolah berhamburan di depan kelasnya masing-masing. Saya masih ingat, waktu itu saya menghampiri seorang kawan pecinta PSM. Ia teman kelasku.
Kuajak dia nonton. Toh, waktu itu, saya belum tahu kendaraan umum apa yang akan dipakai jika ingin berkunjung ke Stadion Mattoanging.
Ikut saya saja, kata kawan saya. Saya mengangguk. Mukanya cerah, dan berkali-kali bilang kalau ia tak mau saya membatalkan janji untuk menonton PSM.
Sudah petang. Langit akan berganti warna. Saya keburu mengingatkan kawan saya. Nanti PSM main, dan kita terlambat, woi. Tak lama kami keluar sekolah dan mencari kendaraan umum.
Kurang jelas kami pakai mobil berkode apa untuk ke stadion. Yang kami tahu, kami sudah tidak sabar menonton. Di jalanan, beberapa kali kami lihat para suporter konvoi di tengah jalan.
Semuanya berbaju merah. Kita saja barangkali yang pakai baju SMP? Kawan saya tertawa mendengar pertanyaan saya. Putih biru. Hal yang kontras dengan warna kebesaran PSM: Merah.
Kami turun di Ratulangi. Masuk lorong kecil. Saya benar-benar tidak paham. Kawan saya yang baik hati menunjukkan saya jalan yang tak pernah saya lalui sebelumnya.
Kami tidak sendiri di lorong itu. Ada beberapa suporter juga yang memakai pernak pernik yang mencolok. Dari jauh terdengar suara pekikan suporter yang menyambut para pemain PSM masuk lapangan.
Terlambatki? Kawan saya menjawab, tidak masalah, karena pertandingan baru saja dimulai. Kami santai saja berjalan sampai gerbang stadion. Orang-orang sudah berlarian untuk menonton.
Saya lupa hari itu PSM bertandingan melawan apa. Saya tidak peduli, yang penting saya harus bisa menonton PSM secara langsung.
Suara snare drum yang ditabuh, ribuan tepuk tangan berbunyi, dan nyanyian para suporter membuat saya bergairah untuk cepat-cepat masuk stadion. Sabar. Kawan saya mengingatkan.
Sebab kelamaan, tiket habis. Saya murung bukan main. Sudah jauh-jauh datang, masa tidak nonton? Saya mengeluh. Teman saya mencarikan jalan agar kita bisa masuk.
Manjat tembokmki? Saya jawab, memang bisa? Pakai apa? Kawan saya menunjuk tempat untuk manjat. Saya melihat orang-orang tergesa-gesa dengan napas yang tersengal naik ke puncak tembok stadion.
Ada tentara mengawas di bawah. Wajahnya sangar. Badannya bongsor dan kulitnya hitam. Keringatnya cucur sedikit-sedikit dan membasahi baju lorengnya. Mereka memegang rotan sembari memperbaiki baretnya. Hijau.
Orang-orang berteriak dari atas. Rp5 ribu per orang katanya. Jika kami ingin, ia bisa menjuluri tali tambang ke bawah. Jadi bagaimana? Kawan saya menjawab, kita harus menunggu.
Seseorang naik, lalu dilihat penjaga. Kakinya ditarik. Tidak ada ampun, saat jatuh ke tanah, ia dihajar rotan tebal. Lelaki itu meringis kesakitan karena beberapa kali dipukul rotan. Ia dibiarkan kabur saat rotan sudah malas menghantam badan keringnya.
Di tempat lain, tampak juga pemandangan sama. Miris sekali. Ada yang jatuh di selokan yang sudah tidak berair, dan langsung dibabat rotan oleh tentara. Namun, ada juga yang lolos.
Tugasnya memang sudah begitu. Untuk menghalau anak-anak nakal yang seenaknya saja bayar murah dan tidak ingin membeli tiket. Janganmi manjat, deh. Saya ketakutan benar melihat tampang sangar tentara penjaga.
Teman saya memaksa untuk memanjat. Sudah kepalang tanggung katanya. Akhirnya, karena dipikir sudah tidak ada jalan lain untuk menonton, manjat dengan konsekuensi dipukuli pun siap dihadapi.
Kami berdua mencari celah, kami melihat-lihat tempat yang tidak ada penjaga di sana. Lama keliling stadion, akhirnya kami temukan tempatnya. Di tribun utara saat itu. Satu orang dari mercu tembok stadion melihat ke bawah.
Manjat? Kami mengangguk. Lelaki itu melempar tali tambang dari atas. Kawan saya yang pertama naik. Lalu saya, Tidak ada kesulitan berarti setelahnya. Kami membayar lelaki “penolong” itu setelahnya.
Akhirnya kami berdua menonton. Samar-samar karena terlalu banyak orang. Saya bersyukur bisa melihat Ronald Fagundez saat itu. Pemain depan yang saya idolakan. Yang namanya selalu diteriakkan lewat radio kalau mencetak gol.
Puas saya terbayarkan, meski saya sadar kurang menikmati pertandingan. Bukan alasan tidak seru, namun terlalu banyak orang. Saya bukanlah penggembira fanatik, namun saya penonton serius yang ingin menikmati jalannya pertandingan secara utuh.
Pluit panjang dibunyikan. Kami bubar dan pulang. Saat di atas kendaraan umum, saya sadar, kalau misal kerjaan tadi adalah hal yang salah. Badan saya bisa lebam dihajar tentara kalau kedapatan. Namun bagaimana lagi, duit saya pas-pasan.
Tidak seru karena tidak bisaki nonton dengan baik, kata saya pada teman. Ia juga merasa begitu. Kami sepakat menjadikan kejadian tadi sebagai pengalaman yang tak terlupakan dan edukasi.