Selama lima dekade, Washington telah mengorganisir puluhan gerakan kudeta di berbagai belahan dunia
Lontar.id – Krisis Venezuela setelah ultimatum yang diajukan oleh Presiden Nicolas Maduro, kini bergerak ke tingkat yang baru, bahkan lebih berbahaya.
Dalam pidato-pidato oposisi di negara Amerika Latin, yang mengakibatkan rezim di Caracas goyah secara terpaksa, keterlibatan AS terlihat sangat jelas.
Upaya kudeta di Venezuela hanya satu dari sekian banyak contoh bagaimana Gedung Putih, berbicara tentang mempertahankan demokrasi atau mencegah genosida, serta tanpa malu mencampuri urusan negara lain.
Wilayah kudeta yang didukung Amerika pun meluas–dari Ukraina hingga Laos; dari Grenada ke Vietnam. Lontar.id menuliskan beberapa contoh paling ambisius tentang bagaimana Washington berjuang untuk “nilai-nilai abadi” di luar negeri, terutama untuk mengejar kepentingan pribadi.
Pertempuran Sistemasis
Secara gamblang, beberapa kasus intervensi AS terhadap struktur politik negara lain dalam sejarah modern, terjadi selama periode Perang Dingin dengan Uni Soviet.
Sebagai lawan ideologis di arena internasional, yang berusaha memperkuat posisi geopolitik, secara teratur AS mencoba menempatkan pemerintahan “mereka” di negara tertentu.
Karena, setelah Perang Dunia Kedua, susunan partai pada pihak lawan di Eropa telah diputuskan, dan negara-negara Asia, Afrika, serta Amerika Selatan, biasanya menjadi tempat bagi Uni Soviet dan AS untuk beraksi kala itu.
Motif politik yang disembunyikan pemerintahan Amerika dalam tindakan mereka, seringkali dikaitkan dengan kepentingan ekonomi Amerika Serikat itu sendiri.
Keinginan untuk menguasai transportasi, sumber daya alam, terutama logam, minyak dan gas, disamarkan sebagai keinginan untuk mencegah Islamisasi negara-negara Timur Tengah atau untuk menghentikan penyebaran ideologi komunis di Asia dan Amerika Latin.
Barisan pertahanan, seperti PBB, misalnya, tidak selalu menjadi penghalang yang efektif bagi upaya Gedung Putih untuk menggambar ulang peta politik dunia.
“Operasi Ajax”
Pada awal tahun 1950-an, Amerika Serikat dan Inggris Raya memutuskan bahwa mereka tidak lagi ingin berurusan dengan nasionalisasi industri minyak Iran, yang diluncurkan oleh Perdana Menteri yang terpilih secara demokratis, Mohammed Mossadegh.
Dalam situasi tersebut Perusahaan Minyak Anglo-Iranian (AIOC), yang beroperasi di bawah izin pemerintah, mengalami kerugian hingga jutaan. Selain itu, pihak Barat juga khawatir dengan kemungkinan adanya kerjasama antara Tehran dan Moskow–sewaktu Uni Soviet membantu Iran, yang berada di bawah blokade ekonomi, dengan minyak yang sama.
Gagasan Inggris mengenai kudeta di Iran didukung oleh pemerintah Republik Amerika Serikat – aktor utamanya adalah Direktur CIA, Allen Dulles dan kakaknya John Foster Dulles, Kepala Departemen Luar Negeri. Perwakilan dinasti politik AS yang berpengaruh lainnya, Kermit Roosevelt, kepala CIA Direktorat Timur Tengah, cucu Presiden AS ke-26, Theodore Roosevelt, secara langsung merencakan sebuah operasi yang dinamakan Ajax.
Sebagai hasilnya, pada tahun 1953, persekutuan Barat mendanai dan mengorganisir demonstarsi massal melawan Perdana Menteri Iran, yang dituduh melakukan korupsi, anti Islam, dan anti monarki. Setelah serangkaian bentrokan antara pendukung dan penentang perdana menteri di Tehran, Mossadegh kemudian ditangkap dan dihukum penjara.
Jenderal Fazlollah Zahedi, “dipilih” oleh London dan Washington, mantan kepala MIA, yang dipecat oleh Mossadegh pada tahun 1951, menjadi perdana menteri baru.
Namun, dia memimpin kabinet hanya untuk waktu yang singkat – kurang dari dua tahun, setelah periode itu dia benar-benar dikeluarkan dari negara oleh Shah, yang menjadi sekutu Amerika Serikat di wilayah tersebut.
Tetapi AIOC Inggris (kemudian berubah menjadi British Petroleum) dan lima perusahaan minyak Amerika memperoleh kendali 80 persen atas pengembangan hidrokarbon Persia.
Peran CIA dalam menggulingkan pemerintah Mossadegh secara resmi dikonfirmasi pada tahun 2013, ketika informasi terkait diumumkan kepada publik oleh Arsip Keamanan Nasional AS.
Terlepas dari kenyataan bahwa keikutsertaan intelijen AS dalam peristiwa di Teheran pada saat ini hampir tidak dapat dibantah, pihak Langley menolak untuk mengonfirmasi keterlibatan mereka dalam kudeta karena alasan yang jelas.
Perjuangan Operasi “Just Cause”
Kasus signifikan lainnya dari intervensi dalam urusan negara lain adalah operasi Amerika di Panama pada tahun 1989. Di sini kita tidak lagi hanya berbicara tentang tindakan rahasia dari layanan khusus dan agen-agen mereka di antara penduduk lokal – Amerika Serikat melakukan invasi skala besar, mengirim sekitar 26 ribu tentara dan perwira serta lebih dari seratus unit kendaraan lapis baja ke Panama.
Alasan operasi, yang disebut “Just Cause”, adalah ketidakpuasan ekstrem Washington dengan kepala Panama yang sebenarnya, Manuel Noriega. Manuel berkuasa setelah kematian diktator Omar Torrijos dalam kecelakaan pesawat (ada versi yang dibuat sendiri oleh Noriega), dan dia pertama-tama membuat orang Amerika jengkel dengan ketegarannya dalam menggunakan Terusan Panama – mengendalikan arteri lalu lintas yang paling penting dari tahun 1999 melintas dari Amerika Serikat ke Panama itu sendiri, dan upaya Washington untuk mencapai perubahan perjanjian ini ditolak oleh Noriega.
Selain itu, setelah dikecewakan dengan kebijakan ekonomi yang dipaksakan oleh Amerika Serikat melalui IMF, ia memutuskan untuk mencari sekutu baru – termasuk negara-negara Amerika Latin, terutama Nikaragua (di sana, omong-omong, perjuangan yang disebut kontra dengan pemerintah Daniel Ortega juga terjadi dengan dukungan aktif Amerika Serikat).
Sebagai akibatnya, pengadilan Amerika menyatakan Noriega sebagai penjahat perang, dan Presiden Ronald Reagan, yang tengah berupaya memerangi perdagangan narkoba (dan diktator Panama secara aktif terlibat dalam bisnis ini, membantu, khususnya, para cukong Kolombia), membela demokrasi, yang menjamin keselamatan warga Amerika dan melindungi Terusan Panama pada Desember 1989, meluncurkan Operasi ‘Right Cause’.
Setelah beberapa hari pertempuran, di mana ratusan orang tewas, Noriega berlindung di kedutaan Vatikan. Dan dia keluar dari sana dengan musik. Orang Amerika memasang sistem audio yang besar di dekat kedutaan dan menyalakan musik heavy metal dengan volume tinggi.
Tiga hari kemudian, sang jenderal tidak tahan dengan tekanan tersebut dan akhirnya menyerah. Selanjutnya, dia dibawa ke Florida dan dijatuhi hukuman 30 tahun. Dia meninggal pada Mei 2017 di dalam tahanan. Politisi oposisi Guillermo Endar menjadi presiden setelah penggulingan Noriega – ia dilantik di pangkalan militer AS.
Endar memerintah hingga tahun 1994 – terlepas dari klaim AS tentang keberhasilan ‘Right Cause’, ekonomi Panama saat itu tengah tergelincir, dan hanya 12 persen dari populasi mendukung kepala negara. Hal tersebut menjadi alasan utama operasi perang diberikan kepada Panama pada akhir tahun 1999.
‘Perdamaian’ untuk Irak
AS telah melakukan invasi pada beberapa negara. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Irak, saat Washington pada akhir masa lalu dan awal abad ini mengadakan dua aksi pasukan berskala besar. Alasan operasi pertama – “Desert Storm” – adalah karena invasi Irak di Kuwait: Baghdad menganggap wilayah negara tetangga adalah milik mereka, dan juga menuduh Kuwait mencuri hidrokarbon (untuk tujuan ini, para pekerja minyak menggunakan sumur miring, teknologi pemboran yang ternyata disediakan oleh orang Amerika).
Pada Januari 1991, Presiden George W. Bush Sr. mengumumkan dimulainya operasi. Setelah serangan udara dan serangan roket, operasi darat dilakukan. Dengan kontingen Amerika yang berjumlah lebih dari 420 ribu orang, yang memungkinkan Washington dan Sekutu dalam beberapa hari untuk mengalahkan pasukan Saddam Hussein.
Secara militer, kemenangan AS tersebut tanpa syarat, dan keberhasilan penyelesaian operasi di Irak adalah salah satu pencapaian paling signifikan Bush Sr., yang meninggal pada 30 November tahun lalu. Sebenarnya, alasan invasi bisa dianggap cukup masuk akal: Dewan Keamanan PBB memberi Baghdad waktu satu setengah bulan untuk menarik pasukan dari Kuwait, tetapi Irak tidak memenuhi ultimatum ini.
Selain hasil dari kampanye AS di Irak, hal yang paling kontroversial, yang dimulai pada tahun 2003, sudah ada sejak masa kepresidenan George W. Bush. Alasan dimulainya permusuhan adalah sebagai program untuk memproduksi senjata pemusnah massal, yang diduga dilakukan oleh rezim Hussein.
Pada bulan Februari, Sekretaris Negara Colin Powell pada pertemuan Dewan Keamanan PBB, bersikeras mengenai perlunya tindakan tegas terhadap Baghdad, bahkan menunjukkan tabung reaksi dengan spora antraks yang tertangkap bertebaran di Irak di dalamnya.
Namun, pada tahun berikutnya, dia mengakui bahwa data yang dia terbitkan di WMD di Irak didasarkan pada informasi yang salah dan bahkan dipalsukan.
Namun, pada saat ini, Amerika Serikat, yang tidak memiliki banyak sekutu seperti sebelumnya, telah memasuki Irak – telah masuk untuk tinggal lama. Setelah fase aktif kampanye, militer Amerika selama beberapa tahun harus mengusir serangan oleh para peserta perang gerilya, dan citra Bush, yang dengan penuh percaya diri menyatakan, bahwa ‘misi telah selesai’ pada 1 Mei 2003, kini harus menghadapi berbagai skandal yang berkaitan dengan intimidasi militer Amerika atas penangkapan prajurit militan dan Baath.
Penangkapan dan eksekusi Saddam Hussein dianggap sebagai kunci utama ‘Kebebasan Irak’, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun bagi Amerika Serikat. Bahkan muncul pendapat bahwa Bush Junior memulai konflik untuk membalas dendam pada pemimpin Irak, yang berencana untuk membunuh Bush Sr.
Namun, tanpa Hussein, negara itu akhirnya terjerumus ke dalam jurang perang saudara antara Sunni dan Syiah, serta Amerika Serikat, di samping kerugian antara kontingen militer dan biaya finansial yang sangat besar, hanya memperkuat ketenarannya sebagai polisi dunia yang menggunakan cara apa pun untuk mencapai tujuannya.
“Amerika Sang Juru Selamat”
Musim semi lalu, kedutaan Rusia di Washington dalam sebuah unggahan Facebook membagikan data dari seorang peneliti Amerika di Carnegie Mellon University, yang menurutnya, Amerika Serikat melakukan intervensi sedikitnya 80 kali dalam pemilihan umum di 45 negara di seluruh dunia – itu pun belum termasuk mengorganisir kudeta militer dan revolusi “warna kulit”.
Berdasarkan laporan konflik baik lokal maupun regional selama periode dan waktu yang sama sejak awal abad XXI, di mana Washington ikut berpartisipasi, juga mengesankan – AlterNet, portal Amerika, menghitung sekitar 80 kasus serupa sejak tahun 1953. Keterlibatan Amerika Serikat dalam intervensi secara sukarela, termasuk dengan menggunakan militer atau layanan khusus yang beroperasi di bawah perlindungan diplomatik, dalam hampir semua perselisihan, diilustrasikan dengan baik pada cerita pendek yang ditemukan pada topik ini: “Mengapa tidak pernah ada konflik di Washington?” “Karena tidak ada kedutaan Amerika di sana.”
AlterNet juga mencatat bahwa “pada skala historis, sekitar setengah dari semua kudeta yang diselenggarakan oleh Amerika Serikat gagal, dan tidak pernah terjamin akan selalu sukses.” “Namun, ketika kudeta gagal, orang Amerika jarang ditemukan meninggal atau berada dalam kesulitan,” tulis portal itu. “Nasib seperti itu selalu ada bagi orang-orang yang tinggal di negara di mana kudeta ini terjadi dan bagi siapa pun yang membayar harga akan menghadapi kekerasan, kekacauan, kemiskinan, dan ketidakstabilan.”
Seorang analis politik, Dekan Fakultas Politik dan Hubungan Internasional Siberian Institute of Management (cabang RANEPA di bawah Presiden Federasi Rusia), Sergei Kozlov percaya bahwa kesiapan AS untuk terlibat dalam suatu “pembongkaran” merupakan ciri khas mentalitas mereka.
“Bagi para elit dan warga sipil Amerika, gagasan tentang peran khusus tertentu untuk Amerika Serikat, contohnya Amerika sebagai juru selamat, adalah aneh,” katanya dalam wawancara dengan Radio Sputnik.
“Justru gagasan bahwa Amerika Serikat seharusnya memiliki hak untuk ikut campur dalam bisnis apa pun di seluruh dunia menjadi alasan bagi mereka untuk memengaruhi situasi di negara lain.”
Menunggangi Ombak ke Khatulistiwa
Selain di negara-negera timur tengah dan latin, Amerika Serikat (AS) juga melakukan operasi intelijen lewat CIA di beberapa negara Asia tenggara, salah satunya di Indonesia, yakni memantau hubungan harmonis Presiden Soekarno dengan sosialis-komunis Rusia.
Kedekatan Soekarno dengan sosialis-komunis, mengancam kepentingan nasional AS, menguasai ladang minyak dan emas di perut bumi Indonesia. AS merasa terancam karena “cangkang demokrasi” digeser dan digantikan komunisme sehingga berulangkali CIA berencana menggulingkan Soekarno, seperti mengirim wanita cantik dan membuat film porno “Bung Besar”.
Berdasarkan buku yang ditulis Tim Weiner “Legacy Of Ashes: The History Of The CIA” mengungkapkan usaha CIA menggulingkan Soekarno dengan memperkuat dan menyolidkan kekuatan militer di Jakarta, menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dekat dengan Soekarno. Karena Soekarno kerap dekat dengan tokoh PKI seperti DN. Aidit dianggap mengkhawatirkan bagi kepentingan AS di Indonesia karena terlalu memberikan ruang yang besar terhadap PKI dan merugikan AS.
Hingga pada kondisi terdesak, Soekarno yang mengawinkan tiga ideologi besar Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (disingkat: NASAKOM), namun gagal mendapatkan pengaruh dan dukungan. Sementara konflik terus muncul baik di dalam maupun diluar Pulau Jawa dan Soekarno terpaksa mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Keluarnya perintah Supersemar dimanfaatkan Soeharto, ia mulai menumpas PKI melalui sokongan CIA di belakangnya. Peran Adam Malik dan Gusti Raden Mas Dorodjatun menjadi jembatan penghubung dengan CIA yang lantas mendapatkan sejumlah bantuan dana dan peralatan komunikasi militer seperti walkie-talkie dari Duta Besar AS, Marshall Green.
Bantuan tersebut turut memudahkan peran Soeharto dalam menumpas PKI hingga ke pelosok. Setelah Soekarno tumbang, tak butuh waktu lama Soeharto menyerahkan pengelolaan tambang emas di Papua kepada PT. freeport Indonesia. Perusahaan ini berafiliasi dengan McMoRan Cooper & Gold Inc milik AS pada 1966.
Reporter : Ruslan
Penulis : N.Halim, Ruslan
Editor : Almaliki