Lontar.id – Sabtu 9 Februari yang merupakan Hari Pers Nasional, gaungnya menciut di media sosial. Selain karena dunia jurnalisme Indonesia sedang gonjang-ganjing, perayaan itu juga diganti namanya secara berama-ramai.
Salah satunya oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) se-Jawa Timur bersama KontraS Surabaya. Mereka semua mengganti nama Hari Pers Nasional menjadi Hari Prabangsa Nasional (HPN).
Alasannya karena terpidana pembunuh jurnalis Radar Bali (Jawa Pos Group) AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, I Nyoman Susrama, diberi remisi oleh Presiden Joko Widodo dari seumur hidup menjadi penjara sementara 20 tahun.
Makanya, dalam puncak perayaan Dirgahayu yang ke-73 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surabaya yang didatangi Presiden Jokowi, malah membuat sejumlah aktivis dan pers mahasiswa mendesak Jokowi segera mencabut Susrama.
Desakan ini menyusul pernyataan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM bahwa draft Keppres pencabutan remisi sudah sampai ke meja Mensesneg dan menunggu tanda tangan presiden.
Sebelumnya, terbitnya remisi Susrama sebagaimana tertuang dalam Keppres No 29 Tahun 2018, diakui Dirjen PAS ada kekeliruan. Yaitu luput mempertimbangkan aspek rasa keadilan, apalagi konteks kepentingan kemerdekaan pers pada kasus pembunuhan Prabangsa tersebut.
Apalagi, Susrama sampai saat ini tidak pernah mengakui sebagai otak dan pembunuh jurnalis Prabangsa. Pemberian remisi ini tidak transparan.
Sejak Keppres remisi Susrama mencuat pada 23 Januari 2019, gelombang penolakan dan protes terus bergulir sepanjang dua pekan terakhir.
AJI di 30 kota bersama elemen jurnalis menggelar aksi unjuk rasa. Disusul sepanjang pekan terakhir sebanyak 38 AJI kota bersama koalisi masyarakat sipil, jaringan LBH Pers, YLBHI, dan elemen masyarakat lainnya, menuliskan surat keberatan atas remisi itu.
Dukungan publik juga muncul melalui tanda tangan petisi online di change.org yang hingga Jumat 8 Februari 2019, telah menembus 48 ribu lebih dukungan.
Petisi bersama surat keberatan tersebut pada Jumat 8 Februari kemarin telah diserahkan ke pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM.
“Besarnya partisipasi publik dalam masalah ini, menunjukkan ada keadilan masyarakat yang tercederai. Artinya, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak mencabut remisi bagi Susrama. Tentu kami menuntut sikap politik Presiden Joko Widodo untuk menegakkan keadilan,” ujar Miftah Faridl, Ketua AJI Surabaya dalam siaran persnya.
“Kami turun ke jalan, bukan hanya menuntut keadilan bagi Prabangsa, tetapi juga terhadap delapan kasus pembunuhan jurnalis yang tak pernah diungkap. Ketika negara tidak bisa melindungi nyawa jurnalis saat menjalanjan tugasnya, setidaknya negara harus hadir menjamin penegakan hukum,” tambah Miftah.
Satuan aksi yang turun ke jalan yang membawa misi Hari Prabangsa Nasional membentangkan spanduk raksasa sepanjang 10 meter bertuliskan CABUT REMISI PEMBUNUH JURNALIS sebagai bentuk protes, sekaligus panjangnya perjuangan menghadirkan keadiln bagi jurnalis Prabangsa.
Tak hanya membentangkan spanduk, satuan aksi juga membuat tiga tuntutan pada pemerintah:
- Segera cabut remisi I Nyoman Susrama, dalang dari pembunuhan secara sadis AA Gde Bagus Prabangsa. Karena pemberian remisi telah mengusik rasa keadilan bagi keluarga korban dan insan pers.
- AJI menolak segala bentuk ancaman terhadap kemerdekaan pers dan kekerasan terhadap jurnalis.
- Hentikan praktik umpunitas dengan mengungkap kasus pembunuhan dan kekerasan terhadap jurnalis.