Baca kisah sebelumnya di sini.
Lalu kuberitahu ibu soal nyanyian semalam. Pagi itu, ibu saya bikin teh dan menyiapkan penganan yang gurih berbahan dasar kelapa dan ketan.
Kami membincangkan nyanyian aneh itu. Nyanyian di sekitar pohon pisang depan rumah. Ibu bilang mungkin itu halusinasi saya saja. Anak kecil katanya jangan sering-sering keluar malam.
Saya memang masih belia. Baru akan naik kelas menuju sekolah menengah pertama. Saya baru kelas 6 SD. Terus terang saja, saya ketakutan karena itu.
Malam tiba. Saya berdiam di rumah saja. Menonton televisi, membungkus badan dengan sarung, sembari minum wedang buatan sendiri.
Malam memang begitu dingin seperti biasa. Lalu dari dalam terdengar bunyik jangkrik dan kodok saling sahut seperti memanggil nama satu sama lain.
Bapak di atas kursi menonton. Saya dan Ibu selonjoran di depan televisi. Kami bertiga nonton telenovela, kalau tidak salah namanya Esmeralda.
Saya heran, biasanya Esmeralda terputar saat jelang Maghrib. Ini kali ia terputar pada malam hari. Saya bukan penonton telenovela yang baik, makanya saya tak bisa ceritakan lebih jauh soal tontonan ini.
Di tengah film, terdengar suara isak tangis dari luar. Getir sekali kedengarannya. Malam kian dingin. Ya, sudah saya jelaskan sebelumnya kalau sekitar rumah kami memang sepi.
“Itu suara apa, ya, Bu?”
Ibu bilang, mungkin perasaan saya saja. Bapak tak ingin menanggapi pertanyaan saya. Saya lihat matanya tampak serius memelototi Esmeralda. Tampaknya Bapak suka dengan telenovela.
Saya berdiri, mencoba mengecek dari lubang-lubang papan rumah saya. Saya takut melihat jendela. Ketakutan saya menjalar ke seluruh tubuh. Seperti setrum. Seperti setrum.
Lalu terlihat dengan mata kepala saya, di luar, di bawah pohon pisang, seorang perempuan berdiri tegak. Ia menggendong anak bayi. Menangis sesunggukan. Saya mengiba.
Perempuan itu sepertinya habis berlari dengan kuat atau apalah olahraga berat. Bajunya basah. Rambutnya juga basah seperti menampung begitu banyak keringat.
“Siapa dia?” pikirku.
Kata petuah agama, orang baik harus menolong. Lalu saya memberanikan diri untuk keluar. Saya pikir saya harus bertanya perempuan itu kenapa. Kok anaknya dibawa jalan pada malam hari.
Pintu saya buka dan kulangkahkan kaki mendekati perempuan itu. Astaga, manis sekali ternyata. Wajahnya ayu. Kulitnya putih bengkoang. Ada tahi lalat di dagunya. Lipstiknya merah merona.
“Saya sedang kecapaian Dik. Saya takut sekali.”
Napasnya tersengal-sengal. Bayi yang digendongnya tidak bergerak-gerak. Apa mungkin itu hanya bayi main-mainan saja? Lalu saya coba untuk menengok bayinya.
Perempuan itu, yang tanpa saya tahu namanya menyembunyikan gendongannya. “Mau apa Dik? Adik kamu tidak apa-apa kok. Si Adik tidur, Dik.”
Saya mengangguk. Saya menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Lalu saya tanya mengapa ia menangis? Apakah ada seseorang yang memburunya? “Saya kasihan Dik, dengan adikmu ini. Malam-malam harus pergi dari rumah, karena suami saya…”
“Suami Kakak kenapa, ya?”
Lalu perempuan itu mengusap air matanya. Kemudian tertawa sendiri di malam buta. Tidak ada yang lucu. Saya mendengarnya ngilu.
Angin menyapu kami. Cabang-cabang pohon pisang bergoyang-goyang. Bulu kuduk saya merinding lagi. Sekali waktu sebelum masuk ke rumah, saya bertanya asal perempuan itu.
“Dari bukit di Semarang, Dik.”
Jauh benar asal perempuan ini. Semarang ke Klaten kurang lebih 2 jam perjalanan. Lalu saya tanyai lagi, suaminya kenapa? Kok perempuan ini mengeluh.
Perempuan itu tertawa kecil. Saya ketakutan. Lalu membalik badan tanpa pamit, kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Hujan turun pelan-pelan. Malam makin dingin.
Dari lubang papan rumah kulihati lagi perempuan itu. Tangisnya kian terdengar. Lolongan sedih dari mulutnya tampak menambah kelam suasana. Di luar dingin melengketi kulit, daun pisang ditimpa hujan. Seorang perempuan menangis.
Siapa dia?
Bersambung…