Ada yang kapok meminjam uang, baik di bank, pembiayaan, dan online. Ada pula yang doyan mengutang.
Lontar.id – Saya menemui seseorang yang gemar sekali kredit atau berutang. Katanya, ia punya cerita menarik soal dunia simpan-pinjam di Indonesia.
Namanya MJ. Sengaja namanya saya samarkan, sebab ia tak ingin belangnya diketahui publik. Ia mulai bermain utang sejak lima tahun yang lalu.
Di atas sebuah meja warteg, jelang pagi, kami berdua makan di pinggir jalan. Kami makan nasi kuning dan telur balado. Biasanya ada sambel goreng tempe, namun sudah habis. Sayang sekali, padahal tempenya garing dan lumuran gula merahnya pas.
Nasi kuningnya masih hangat. Uapnya mengepul. Kami disuguhi air dingin jelang pagi. Saat itu pukul 03.00 WITA. Jam-jam terbaik untuk curhat. Kami bercerita banyak hal.
Saat masuk dalam pembicaraan utang, diskusi kami makin menarik. Kami akui, kami berdua adalah pemikir dangkal dan kami menikmatinya. Yang kami kerjakan adalah: bicara sedikit, ketawanya banyak. Makkala’ puara’ istilah Makassarnya.
“Saya ini pusing ditagih utang melulu. Debt kolektornya selalu ganti nomor ponsel. Dia kira saya orang bodoh.” Bajingan tengik ini tertawa berkali-kali. Untung saja air dingin yang diminumnya sudah tertelan habis. Jika tidak, ia pasti tidak bisa bicara, airnya akan tumpah dari sela-sela giginya yang kuning.
Saya bodoh karena menertawai penderitannya, dan dia lebih bodoh karena mau menderita dan juga menertawai kebodohannya dengan lebih keras. Lebih keras.
Saya bertanya sudah berapa uang yang sudah ia hasilkan dari peminjaman. Sudah puluhan juta katanya. Saya lupa-lupa ingat angkanya berapa. Terpenting, sudah puluhan juta.
Lalu bagaimana ia meminjam? Di sinilah dramanya.
Kau mau tahu bagaimana cara saya meminjam? Caranya itu gampang sekali. Pertama, kamu harus punya agunan. Misal, BPKB motor. Itu untuk pembiayaan. Kamu juga harus menyertakan biodata.
“Di pembiyaan, bunganya besar. Jangan coba-coba meminjam kalau tidak sanggup membayar.” Ia tertawa lagi. MJ benar-benar tampak seperti penjahat di televisi, sewaktu usai tertawa dan mengisap rokoknya dalam-dalam.
Pertama, kata MJ, usai melunasi utang di pembiayaan, dirinya menyesal ribuan kali. Ya, ribuan kali, sebab yang ia kembalikan sangat banyak dari yang ia pinjam.
“Itu benar-benar seperti mencekik leher sendiri. Tapi sakitnya, enak. Karena dapat uang. Habis itu semaput lagi, karena yang dikembalikan banyak,” MJ tertawa lagi. Sudah tiga kali ia tampak konyol di hadapan saya. Sialan benar orang ini.
Saya? Tertawa dong. Kan cerita lucu. Dari awal saya bilang, kalau kami ini dua orang bodoh. Sudah-sudah jangan heran begitu, ah! Baca selanjutnya lagi.
Sudah berhari-hari MJ ditelepon oleh nomor yang tak dikenal. Rumahnya juga disatroni. Tapi, ia berdalih akan membayar berikut dengan tunggakannya. Ia sampai stress. Kini ia pinjam di bank.
“Bisa ndak ya, kalau tidak usah ditelepon melulu? Kalau mau ambil motor saya, ya ambil saja. Saya juga akan bayar kok. Sekalian hitung dendanya. Ribet amat deh, Mbak.”
Begitu katanya, terakhir, waktu ia ditelepon pegawai pembiyaan. Air mukanya memang tidak mau ambil pusing. Ia sudah menghitung untung rugi peminjaman.
“Saya masih untung. Saya taksir motor saya sekarang harganya jauh di bawah nilai yang kupinjam. Uang bulanan saya juga lancar.” Ia meminjam Rp25 juta di bank. Ia tidak takut.
Menurutnya dengan yakin, ia pasti bisa melunasi utang. Jika toh tidak, ia ikhlas motornya diambil. Terpenting, ia sudah untung. Untuk apa pinjamannya? Membeli motor baru.
“Kan kalau di diler, bisa dibayar kes. Nah, saya pinjam uang di bank untuk itu. Daripada nyicil di pembiyaan, terlalu mahal. Lebih baik di bank, bunganya rendah. Tidak bikin repot. Hahaha.”
Saya ngangguk-ngangguk. Benar juga. Tapi, saya ogah. Saya itu orangnya suka gelisah untuk berutang banyak. Paling tinggi itu Rp2 juta. Itupun kepikiran mulai dari bangun sampai tidur di ranjang. Apalagi kalau sudah ditagih.
Saya tanyai MJ lagi, apa utangnya masih ada? Ia jawab dengan santai sambil mengisap lagi rokoknya dalam-dalam.
“Masih ada. Saya tidak mau ambil pusing. Yang penting saya yakin, saya bisa bayar. Gaji saya ada. Saya paham bagaimana cara putar uang, tidak untung, tidak juga rugi. Kalau mau diambil pusing, hidup tidak maju-maju. Mau maju? Ya berutang!”
Kalimatnya menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Detik itu juga saya yakin, otak kawan saya sudah miring. Kalau saya ikut-ikut, saya bablas. Pusing tujuh keliling. Keringat dingin. Pening.
Kami selesai makan. MJ bayarkan saya. Perut kenyang setelah mendengar banyolan dari ceritanya.
Kapok Diburu Penagih
SL, nama kawan saya satunya. Ini beda cerita dengan MJ. Meskipun keduanya juga karib. Kami melingkar dalam satu pertamanan yang dirajut oleh kesetiakawan dalam silaturahmi yang elok pada suatu senja yang menua.
Halah! Sudah mirip Vicky belum? Atau anak indie sastra snoob, mungkin? Ya udah, gak usah milih, mending juluki saya saja dengan Vicky Sastra, daripada Vicky Vette. Gak usah dicari siapa Vicky Vette. Kamu rugi. Beneran.
SL ini, sudah kapok dan ogah lagi berurusan dengan bank apalagi pembiayaan. Dia tidak agamais, kok. Tidak. Orangnya biasa saja. Namun, masa lalu mengajarkannya untuk tidak bermain-main dengan utang.
Ia pikir utang di pembiayaan dan bank itu riba. Suatu kepercayaan yang baik. Meski, ada banyak tafsir. Namun, pilihannya sudah tepat. Sangat.
Sambil cengengesan, ia bilang kalau dalam suatu kesempatan, dirinya kecapaian. Ia tidur di rumahnya. Kemudian datang orang asing yang menggedor-gedor pintunya.
“Ya, kan, kamar saya dekatan sama pintu rumah. Jadi saya bangun. Pintu diegedor-gedor. Saya kira siapa. Ternyata kolektor.”
Saya agak ngeri mendengar ceritanya. Dengan doyong ia berjalan. Sempoyongan kayak orang teler. Namanya juga ia baru tidur. Dibanguni dengan cara yang kurang etis.
Lalu ia membuka pintu. Melihat siapa pengetuk pintu yang berani begitu menggedor-gedor. Tak disangka, kolektor pembiayaan motor.
SL ambil pisau dalam rumah, kemudian mengacungkan di depan kolektor. “Kurang ajar! Saya baru tidak bayar beberapa hari, kausudah tagih saya kayak begini. Pergiko dari ini rumah!” ujar SL, sembari mengacungkan pisau di depan penagih.
Ia tertawa. Dalam hati saya membatin, kenapa orang yang berada di dekatku, selera humornya semuanya aneh-aneh? Cuman saya yang normal. Ehe ehe ehe.
Pada intinya ia bilang, dengan segala masalah yang dihadapi saat berutang di pembiayaan atau bank, selalu punya konsekuensi yang besar. Ia sarankan, kalau mau pinjam, lebih baik di teman saja. Atau sahabat. Bisa juga keluarga.
Apa punya konsekuensi? Jelas. Kepercayaan jadi taruhannya, jika ngeles saat ditagih. Bisa saja diikhlaskan, namun namamu jangan harap bisa seindah dulu. Ada cippe’ sedikit.
“Kalau tidak sulit-sulit amaty hidup ini, gak usah utang. Saya jamin, saya takkan pinjam uang lagi dengan bunga yang begitu besar. Pun kecil. Jika tidak mendesak sangat, jika pilihannya saya beradfa di anatara hidup dan mati, barulah saya akan berpikir ulang janji saya ini,” tandasnya.
Saya mesam-mesem.
*Kisah ini untuk menanggapi sebuah pemberitaan yang marak dibicarakan, setelah seorang lelaki didapati bunuh diri, dengan surat wasiat yang menyinggung soal utang. Saya yakin yang bunuh diri itu tidak semata-mata punya masalah utang saja, melainkan lebih banyak. Semoga selalu ada empati untuk kita, agar memberi mereka yang membutuhkan bantuan. Tanpa harus membuat orang berutang. Tanpa harus.