Lontar.id – Bagi saya, agama atau sistem kepercayaan sesuatu yang sangat sakral bagi pemeluknya. Lewat agama manusia belajar banyak hal tentang siapa dirinya, siapa penciptanya, apa tujuan manusia hidup di bumi hingga balasan diakhirat kelak akibat dari yang dilakukan manusia. Intinya, agama mengajarkan tentang kebaikan sesama manusia, keseimbangan antara manusia dan alam.
Sebagaimana definisi agama secara umum dapat dipahami, bahwa agama terdiri dari kata ‘a’ yaitu tidak dan ‘gama’ adalah kacau. Jadi orang yang beragama tidak akan kacau jika mengikuti pesan-pesan dari kitab suci masing-masing, berikut dengan ajaran yang diwariskan oleh para nabi dan rasulnya.
Agama tidak sekadar membahas tentang hal-hal yang bersifat ‘langit’, di mana hubungan antara pencipta dan hamba melalui peribadatan, tetapi agama juga membahas tentang hubungan antara sesama manusia. Pembahasan tentang agama cukup luas cakupannya.
Tetapi, bagaimana dengan orang atau kelompok tertentu menggunakan kredo agama sebagai pembenaran pihaknya dan menyalahkan kelompok lain, atau pada momentum politik dimanfaatkan untuk melegitimasi pihaknya lewat ayat-ayat suci Alquran?
Agama dan Politik
Di Indonesia, politik Islam identitas semakin menguat dan terbelah menjadi berbagai kelompok. Kelompok tersebut bahkan ada yang berafiliasi dengan politik hingga mendukung kandidat calon presiden 2019 nanti. Sekilas tak ada yang salah, karena Islam membahas kaitan dengan politik kebaikan, politik yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, lewat jalur politik suara Islam dapat tersampaikan di eksekutif.
Saya membayangkan politik Islam itu akan berpihak kepada orang-orang miskin (kaum dhuafa), memperbaiki sektor pendidikan yang semakin amburadul, karena yang punya uang-lah dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan segudang permasalahan lainnya. Apakah kelompok agama tersebut, merepresentasikan suara orang miskin, tertindas dan tanahnya tergusur?
Pada sebuah momen Malam Munajat 212, yang digelar di Monumen Nasional (Monas). Aktivis #2019gantiPresiden Neno Warisman, dalam doanya menyeret tuhan masuk dan mengintervensi dalam politik perebutan kekuasaan. Doa Neno yang merupakan barisan pendukung Capres Prabowo-Sandi, agar tuhan tidak meninggalkan pihaknya yang sedang bertarung melawan petahana Jokowi-Ma’ruf.
Kekhawatirannya, jika capres yang diusungnya kalah di pilpres, maka ummat muslim tak akan ada lagi yang menyebah tuhan. Seakan Neno sedang mengirim pesan bahwa kalau bukan Prabowo-Sandi sebagai presiden, tak akan ada lagi ummat muslim di Indonesia menyembah tuhan. Kutipan doa Neno menurut saya salah besar dan ini mengindikasikan bahwa dia tidak pernah belajar sejarah. karena doa Neno meniadakan peran kelompok Islam sebelumnya menjalankan dakwah dari mesjid ke mesjid, rumah, pesantren, panggung hingga masuk ke layar televisi.
Kelompok Islam seperti Muhammadiyah dan NU sudah lama ada, menjalankan misi dakwah dan menyerukan agar ummat manusia mendekatkan diri kepada tuhannya. Apakah Prabowo-Sandi kalah melawan Jokowi-Ma’ruf, lantas dua organisasi besar ini tidak menjalankan perintah agamanya?
Meskipun Pilpres tidak dilkasanakan tahun ini, atau tidak pernah terlaksana sekalipun, selama dunia ini masih berputar maka selama itu pula manusia yang memiliki agama menyembah tuhannya. Urusan manusia dengan tuhan adalah suatu yang berbeda dengan memilih presiden. Karena pemilihan presiden akan dilakukan setiap 5 tahun sekali dan akan terjadi pergantian dari presiden lama ke presiden baru. Sedangkan urusan manusia dengan tuhan akan berlangsung hingga ia wafat.
“Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan tak menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan, kami khawatir ya Allah, kami khawatir ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu.” bunyi doa Neno Warisman
Siapa yang dikhawatirkan Neno tidak akan ada lagi yang menyembah tuhan? Dua capres dan cawapres yang maju saat ini sama-sama dari kalangan agama Islam, bahkan mungkin taat, setidaknya ada Ma’ruf Amin mewakili NU dan MUI sebagai kelompok ulama.
Pandangan saya tentang doa Neno hanya ingin mempengaruhi pilihan politik massa di pilpres, karena massa Munajat 212 juga merupakan dari massa FPI dan alumni gerakan 212 pendukung Prabowo-Sandi. Jadi tidak ada hubungannya antara menyembah tuhan dengan kontestasi politik.