Jakarta, Lontar.id – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menantang Kivlan Zen dan Prabowo Subianto untuk melakukan sumpah pocong. Hal tersebut setelah Kivlan Zen menuding Wiranto sebagai salah satu dalang atas lengsernya Presiden ke-2 RI, Soeharto 1998 lalu.
Soal tudingan dalang kerusuhan, Wiranto dengan tegas menantang Kivlan Zen dan Prabowo sumpah pocong untuk membuktikan kebenaran terkait dalang sesungguhnya pada kerusuhan 1998.
“Saya buka-bukaan saja, oleh karena itu saya berani, katakanlah berani untuk sumpah pocong itu. 98 itu, yang menjadi bagian dari kerusuhan itu, saya, Prabowo, Kivlan Zein, sumpah pocong kita, siapa sebenarnya dalang kerusuhan itu,” kata Wiranto di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Wiranto mengaku, justru posisinya sebagai Panglima ABRI saat itu berusaha melakukan berbagai langkah untuk mencegah munculnya kekacauan. Jika belakangan dirinya disebut sebagai dalang kerusuhan, hal itu dengan tegas dibantah oleh Wiranto. Justru kata dia, sikapnya saat itu untuk mencegah kerusuhan terjadi.
“Justru saya sendiri saudara sekalian, melakukan berbagai langkah, persuasif, edukatif, kompromis, dialogis, dengan teman-teaman reformis untuk jangan sampai muncul kekacauan, dan muncul kerusuhan nasional yang akan merugikan bangsa indonesia. Bukan saya sebagai dalang kerusuhan, saya mencegah kerusuhan terjadi,” ujar mantan Ketum Hanura ini.
Sebelumnya, mantan kepala staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen menuding Menko Polhukam Wiranto terlibat saat melengserkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden.
Salah satu bukti kata Kivlan, saat keadaan genting saat itu, Wiranto sebagai Panglima ABRI disebutnya malah meninggalkan Jakarta.
“Ya, sebagai panglima ABRI waktu itu, Pak Wiranto kenapa dia meninggalkan Jakarta dalam keadaan kacau dan kenapa kita yang untuk amankan Jakarta tidak boleh kerahkan pasukan, itu,” kata Kivlan di Gedung AD Premier, Jakarta Selatan, seperti dilansir CNN, Senin (25/2).
Tantangan Nazaruddin ke Anas
Tantangan soal sumpah pocong tak hanya dilontarkan oleh Wiranto. Nazaruddin juga pernah menantang Mantan Ketum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum untuk melakukan sumpah pocong.
Nazaruddin menantang Anas sebelum dirinya mengikuti proses sidang perkara kasus suap proyek Wisma Atlet Sea Games XXVI, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/3/2012) lalu.
Meski pada akhirnya tantangan tersebut tak diladeni oleh Anas. Namun, tantangan Nazaruddin tersebut terlanjur ramai diperbincangkan. Bahkan, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kala itu dipimpin oleh Ma’ruf Amin menyebut Islam tak mengenal sumpah pocong.
“Sumpah di agama Islam adalah Demi Allah,” kata Ma’ruf Amin dilansir Okezone.com.
Dalam Islam kata Ma’ruf, meskipun disanggupi oleh kedua pihak, sumpah pocong tidak akan bernilai. Dia sendiri tidak melarang sumpah pocong.
“Ada yang bilang boleh saja, ada yang bilang tidak boleh, kalau dilakukan tidak ada nilai apa-apa, itukan budaya Jawa saja,” ujarnya.
Sumpah Pocong Dalam Budaya
Iwan Zaenul Fuad dalam jurnalnya berjudul, Sumpah Pocong: Upaya Konstruksi Fiqh Kultural Khas Indonesia (2014) mengungkapkan, Sumpah pocong, merupakan suatu lembaga dalam budaya masyarakat (khususnya Jawa) yang digunakan untuk menyelesaikan persengketaan/perselisihan seperti misalnya soal warisan, turun-temurunnya harta, atau utang-piutang.
Hingga tuduhan atau fitnah yang muncul dalam masyarakat, seperti isu dukun santet. Hingga sekarang lembaga ini masih banyak digunakan di daerah Jawa, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sangat sulit mencari data literatur yang yang menjelaskan tentang ontologi sumpah pocong, salah satunya dapat diperoleh dalam tulisan M. Sufyan Raji Abdullah (2007) dan situs-situs di internet, di mana konon katanya sumpah pocong ini merupakan tradisi masyarakat pedesaan di tanah Jawa (khususnya Jawa Timur).
Pelaku sumpah pocong melakukan sumpah dalam kondisi terbaring terbalut kain kafan (pocong) layaknya orang Islam yang telah meninggal. Meski demikian, tak jarang sumpah ini dilakukan dengan cara berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi, tapi hanya dikerudungi kain kafan dan dengan posisi duduk.
Umumnya sumpah ini dilakukan oleh muslim (orang Islam), dengan dilengkapi dengan saksi dan dilakukan di rumah ibadah (masjid). Di dalam sistem pengadilan Indonesia, sumpah ini dikenal sebagai sumpah mimbar dan merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata, walaupun bentuk sumpah pocong sendiri tidak diatur dalam peraturan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.
Sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat, biasanya berupa perebutan harta warisan, hak-hak tanah, utang-piutang, dan sebagainya. Landasan hukum keduanya terdapat dalam KUH Perdata. Dalam hukum perdata, sumpah ini berfungsi menjadi sumpah suppletoir (tambahan) untuk memperkuat alat bukti yang ada.
Namun jika tidak ada alat bukti, sumpah pocong dapat menjadi sumpah pemutus (decissoir eed) yang menjadi satu-satunya bukti yang menentukan dalam pertimbangan hakim ketika memutuskan perkara. Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. Dengan menggunakan alat sumpah decissoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah.
Baik sebagai sumpah suppletoir maupun decissoir, keduanya mempunyai kekuatan yang mutlak lagi memaksa, sehingga sumpah ini sangat menentukan dalam hasil final keputusan hakim nantinya. Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan sumpah pocong.
Sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta. Untuk itu Sumpah pocong atau Sumpah mimbar ini lazim dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan atau kasus yang keberadaan buktinya sedikit sekali atau bahkan tidak ada bukti sama sekali. Sumpah pocong mempunyai konsekuensi yang besar bagi pelakunya. Bila pernyataan atau keterangan yang diiringi sumpah tersebut tidak benar, yang bersumpah diyakini akan mendapatkan hukuman atau laknat dari Tuhan.