Ramai-ramai lembaga survei meramal siapa pemenang pilpres 2019. Acuannya elektabilitas. Hasilnya, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang dijagokan. LSI malah sudah memastikan dan telah melakukan “deklarasi” bahwasanya pasangan nomor urut 01 itu telah menjadi pemenang. Benarkah?
Lontar.id – Pasca reformasi pada 1998, keran demokrasi mulai dibuka secara luas. Masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya di muka umum, berkumpul dan mendirikan organisasi, lembaga survei dan partai-partai politik bermunculan bak jamur di musim hujan. Hal yang tidak bisa ditemukan pada rezim Soeharto yang otoriter, di mana kebebasan diamputasi, aktivis yang berani mengkritik pemerintah diciduk, media massa dibredel dan sejumlah aktivis yang hilang entah kemana rimbanya.
Berkat reformasi, warga negara mendapatkan kembali kebebasannya. Organisasi masyarakat sipil terus bertambah demikian dengan lembaga survei di Indonesia. Munculnya lembaga survei turut mewarnai proses demokrasi yang sedang dibangun, melalui penjajakan opini publik hasil survei dapat merekam apa yang sedang diinginkan oleh warga negara.
Peran lembaga survei tak hanya digunakan pada saat kontestasi politik (Pilkada dan Pilpres), tetapi juga digunakan dalam berbagai segmentasi untuk keperluan tertentu. Misalnya, sebuah perusahaan ingin mencari tahu prodak, layanan dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat, tentu perusahaan tersebut akan menurunkan tim surveyor. Tujuannya agar perusahaan dapat memetakan dengan jelas kebutuhan konsumen sebelum memproduksi barang dan jasa dalam skala besar.
Data hasil survei lapangan atau melalui media daring, ditelaah, dianalisis hingga menghasilkan sebuah kesimpulan, bahwa konsumen dengan klasifikasi usia tertentu menginginkan prodak yang mudah, instan dan tidak njelimet. Disitulah perusahaan dapat membaca setiap kebutuhan konsumen, sehingga produk yang dihasilkan perusahaan jadi trending disukai oleh konsumen.
Survei Politik
Pada konstestasi politik, peranan lembaga survei kerap digunakan oleh partai politik, politisi dan kandidat yang akan maju pada pemilu. Gunanya untuk memetakkan di mana letak wilayah basis suaranya, kelemahan, evaluasi kerja-kerja tim pemenangan saat kampanye politik dan dapat dijadikan sebagai patokan, langkah strategi dan taktik apa selanjutnya yang digunakan untuk pemenangan.
Lembaga survei dapat membantu politisi menggiring opini publik, dengan merilis hasil popularitas dan elektabilitasnya yang jauh lebih unggul dari lawannya. Agar lawan politiknya ciut jika berhadapan dengan dirinya, partai politik ikut mengeluarkan surat rekomendasi dan publik akan cenderung memilih calon yang memiliki tingkat keterpilihan lebih tinggi ketimbang kandidat lain.
Kita boleh percaya dengan lembaga survei yang melakukan pendataan berdasarkan mekanisme yang ada, betul-betul turun ke lapangan dan menemui langsung responden, agar mengetahui wacana yang berkembang di publik, serta mengumumkan data yang sebenarnya.
Tetapi apakah semua lembaga survei yang merilis datanya pada momentum politik, tidak punya korelasi dan afiliasi politik terhadap politisi dan partai politik tertentu. Sebab, jika itu benar, apakah kita masih bisa percaya survei dengan menjejalkan angka-angka elektabilitas calon tertentu yang berada di atas puncak. Sedangkan kandidat lain, yang bukan dari afiliasi politiknya jauh tertinggal.
Seperti pada hasil sejumlah lembaga survei di Pilpres 2019, di mana hanya dua calon presiden yang maju antara Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga. Keduanya didukung oleh masing-masing koalisi partai politik. Jokowi berada di koalisi PDIP dan Prabowo di koalisi Partai Gerindra.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, yang baru saja merilis hasil surveinya pada bulan ini (Maret), menujukkan pasangan Jokowi-Amin masih unggul jauh dari rivalnya dengan angka 58,7 persen, sedangkan pasangan Prabowo-Sandi terpaut jauh dengan selisih mencapai 27,8 persen yaitu di angka 30,9 persen.
Jika membaca sekilas tentang hasil survei milik Denny JA ini, maka publik akan menyimpulkan bahwa petahana akan kembali duduk sebagai presiden untuk periode kedua kalinya. Karena hasil lembaga survei dapat melegitimasi semua hal, termasuk elektabilitas dan popularitas calon presiden.
Apakah hasil survei LSI, benar-benar menjadi ramalan jitu yang kembali membawa Jokowi ke puncak kekuasaan sekaligus mempecundangi Prabowo setelah sebelumnya juga kalah di 2014?
Menurut saya, tidak semudah dan segampang itu menilai pilpres berdasarkan hasil lembaga survei. Karena yang menentukan kemenangan calon ada pada penguasaan program yang ditawarkan pada publik, kerja-kerja mesin partai dan relawan yang turun langsung menemui masyarakat di bawah. Apalagi pengalaman pada Pilgub DKI Jakarta, elektabilitas Basuki TJahaja Purnama jauh mengungguli Anies Baswedan. Namun hasil akhir berbeda, justru Anies dilantik sebagai Gubernur.
Terlebih lagi jika masyarakat mulai kritis terhadap kinerja petahana selama satu periode terakhir, tidak menujukkan perubahan yang cukup signifikan. Maka pemilih akan cenderung mencari kandidat alternatif lain. Meski belum pernah teruji, tetapi itu adalah pilihan terbaik dari pilihan terburuk.
Jika membandingkan pilpres pada 2014 lalu dengan 2019 saat ini. Ada sejumlah perbedaan yang sangat mencolok, terutama dari petahana Jokowi. Pada duel Jokowi dan Prabowo lalu, animo masyarakat terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta ini sangat besar. Apalagi Jokowi tampil dengan mengenakan baju kemeja warna putih dan celana hitam, diasosiasikann sebagai figur sederhana dan merakayat. Sehingga tak jarang kita temukan, bejibun relawan dari berbagai komunitas membentuk tim pemenangan Jokowi.
Praktis, siapapun pasangan yang akan digandeng Jokowi pada pemilu sebelumnya, sudah bisa diprediksikan akan tetap menang. Namun dukungan seperti itu nampak tidak kelihatan di Pilpres 2019 saat ini, entah karena publik sudah melihat hasil kerjanya selama ini ditambah dengan isu-isu yang menyudutkan Jokowi seperti anti terhadap ulama, PKI dan program yang tidak pro terhadap masyarakat kecil.
Justru Prabowo yang menggandeng Sandiaga nampak lebih ramai mendapatkan dukungan dari komunitas, relawan hingga para tokoh ulama yang tergabung dalam komunitas keagamaan.
Lalu mana yang akan dipercaya, apakah hasil survei dapat dijadikan sebagai patokan kandidat tersebut akan keluar sebagai pemenang atau kerja-kerja tim relawan yang mendatangi warga dari pintu ke pintu rumah (door to door). Namun tetap saja lembaga survei punya mau. Mereka punya data sebagai alasan untuk menyimpulkan siapa yang layak diunggulkan.
Penulis: Ruslan