Lontar.id – Melakukan perjalanan ibadah di tanah suci barangkali menjadi momentum yang paling dinanti seluruh ummat muslim di dunia termasuk saya. Tahun ini, Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk mengecap perjalanan spiritual di sana. Seperti yang dikatakan kebanyakan orang bahwa perjalanan spiritual yang dimaksud bukan sekadar menjalankan praktik atau ritual ibadah tapi laku ibadah yang lain.
Pengalaman spiritual yang agak tak biasa itu saya dapatkan saat berada di Madinah dan Makkah. Dua tempat yang wajib didatangi para jamaah umrah. Cerita bahwa pelecehan seksual kerap terjadi di tempat-tempat ibadah termasuk tanah suci sebenarnya telah saya dapatkan dan kurang beruntungnya itu menimpa diri saya sendiri. Jika merujuk pada perkataan penceramah, anggap itu sebagai cobaan dari Tuhan agar lebih berhati-hati. Tapi pelecehan seksual tetaplah pelecehan yang tidak bisa dimaklumi dengan dalih kesabaran.
Pelecehan seksual itu saya dapatkan beberapa kali di Madinah dan Makkah. Saat itu, saya sedang berjalan-jalan di salah satu ruko perbelanjaan yang hanya berjarak beberapa meter dari Masjid Nabawi (Madinah). Perlu diketahui jika semua penjaga ruko di Madinah ataupun Makkah adalah laki-laki. Jika ingin menemukan penjual yang perempuan kita bisa menemukannya saat mengunjungi Padang Uhud dan tempat lainnya, tapi semua ruko di sekitar Masjid Nabawi memang dijaga oleh laki-laki.
Perjalanan saya ke tanah suci bisa dibilang tidak sepenuhnya sebagai perjalanan ibadah. Tujuan awal saya ke sana adalah menemani nenek saya yang telah berusia senja sembari juga melakukan rukun umrah. Hal itu yang membuat saya harus melakukan aktivitas seperti belanja dan berjalan-jalan ke tempat wisata lainnya dengan sendirian. Saat berbelanja itulah saya mendapatkan pelecehan seksual dari laki-laki Arab. Awalnya, ia hanya menawarkan kerudung dengan harga yang menurutnya lebih murah, kemudian ia mengeluarkan kata-kata rayuan seperti, “saya suka perempuan Indoensia karena cantik dan ramah” atau “umur kamu berapa? mau menjadi isteri saya?”
Biasanya pedagang di Arab Saudi akan mengetahui kita dari Indoensia hanya dengan melihat wajah. Setelah beberapa kali mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, peluang untuk “dilecehkan” itu besar terjadi saat kita berlama-lama menanggapi obrolannya apalagi saat hanya sendirian. Saran saya jika ingin berbelanja usahakan untuk mengajak teman atau paling tidak menggunakan niqob (cadar).
Bentuk pelecehan seksual yang saya dapatkan memang tidak membuat saya traumatis tapi pelecehan tetaplah pelecehan apalagi hal itu terjadi di tanah haram, tempat yang katanya setan-setan tidak bisa masuk.
Terlepas dari itu semua, pelecehan seksual yang dilakukan pedagang Arab kepada saya dengan menempelkan tangannya di payudara saya adalah tindakan yang sangat tidak pantas sebab bukannya kita diajarkan untuk memuliakan perempuan.
Peristiwa itu berulang kembali saat saya berada di Makkah, saat pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di Makkah (pasar jafariyah). Modus mereka tetap sama, melontarkan gombalan di awal, setelah kita membayar belanjaan, mereka biasanya akan bereaksi, yang paling parah saya dapatkan adalah mereka sampai menunjukan alat kelaminnya sembari mengatakan “punya saya besar”.
Beberapa bulan yang lalu, Paus Fransiskus berdiri di depan dan secara terbuka mengakui jika rumor perbudakan seks para biarawati benar terjadi. Itu tentu saja sesuatu yang sulit diungkap sebab berkaitan dengan insitusi agama dan lembaga. Tapi kita tentu saja menunggu, kapan suara itu datang dari pemerintah Arab Saudi mengingat rumor tersebut telah ada sejak dahulu. Bahkan, pelecehan seksual kerap terjadi di dalam masjidil haram, saat melakukan tawaf. Tempat paling suci dan sakral bagi umat muslim.