Badannya terbaring lemas di sebuah gubuk milik orang tuanya, tangan dan kakinya tak bisa digerakan sejak berbulan-bulan lamanya, ia sedang mengidap penyakit stroke.
Jakarta, Lontar.id – M. Nasir namanya. Ia sehari-hari berprofesi sebagai seorang petani dan sopir mobil pick-up milik orang di kampungnya. Tepatnya di Desa Parado, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia hidup bersama istri dan dua orang anaknya yang masih kecil. Hasil jerih payahnya sebagai seorang sopir mobil, memang tidak seberapa. Itu hanya cukup untuk memenuhi keperluan keluarga kecilnya setiap hari.
Kadang pendapatannya, sangat tergantung ada orang yang menggunakan jasanya mengangkut barang dagangan dan atau hasil panen, tarifnya-pun tak ia patok lebih tinggi. Karena ia sadar betul, persaingan cukup tinggi, sebab bukan cuma dia seorang berprofesi sebagai sopir mobil pick-up. Makanya dia mematok tarif standar, asalkan orang percaya dan terus menggunakan jasa mobilnya.
Pendapatannya, ia harus setor di sore hari ke pemiliknya, kadang juga tengah malam usai mengantar barang di luar daerah. Kucuran keringat dan rasa lelah setelah menyetir seharian, kadang hilang begitu saja setelah sampai di rumah dan bertemu dengan anaknya yang masih kecil. Secangkir teh hangat tak lupa disiapkan istrinya untuk menambah tenaga, kadang juga jika uang mulai menipis cukup diganti dengan air putih saja.
Meski pendapatanya terbilang kecil, M. Nasir sama sekali tak merasa berkecil hati. Profesi itu terus ia jalani agar menopang kebutuhan hidupnya. Saat tak menyopir mobil, dia gunakan waktu untuk bertani. Pekerjaan turun temurun dari orang tuanya, bahkan sebagian besar orang-orang di kampungnya berprofesi sebagai petani.
Awal mula kejadian yang menimpannya hingga mengidap penyakit stroke, pada medio 2018 lalu. Sebagai seorang sopir mobil pick-up, kadang ia membawa kernet mengangkat dan menyusun barang di mobil. Tapi pada saat itu, M Nasir tak membawa kernet untuk membantunya mengangkat barang. Ia mengangkat sendiri sejumlah tumpukan karung berisi jagung dengan cara memikul. Rencananya jagung tersebut akan diangkut ke pedagang.
Namun naas, saat memikul 1 karung besar jagung dan menaruhnya di atas mobil, tiba-tiba kakinya terkilir hingga ia terjungkal jatuh. Ia roboh di atas tanah dan tertimpa karung besar berisi jagung merah. Meskipun ia sudah merasakan tanda-tanda ada yang tidak beres di badannya, ia masih bersikeras menyelesaikan sejumlah tumpukan karung hingga selesai. Lalu mengantarnya ke pedagang.
Setelah itu, ia hanya mengobati kaki, perut dan punggungnya lewat pengobatan tradisional dengan cara diurut. Pergi ke rumah sakit dianggapnya hanya menghabiskan uang, apalagi sakitnya bisa disembuhkan dengan cara itu. Namanya hidup di perkampungan, pengobatan tradisional masih dianggap lebih mujur ketimbang ditancap jarum suntikan dan deretan jenis obat yang harus diminum.
Beberapa bulan berselang, badannya kondisinya mulai tak stabil, malahan semakin parah. Badan, kaki hingga tangan mulai kehilangan fungsi dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Sang istri berusaha mencari cara agar penyakitnya bisa disembuhkan, tapi ia kerap menemui jalan buntu. Keinginan sang istri membawanya ke rumah sakit pun tak pernah dilakukan karena terbatas biaya. Apalagi M Nasir tak bisa lagi menyopir mobil dan praktis tidak ada pendapatan yang masuk. Demikian juga dengan penghasilan yang tak pernah lagi masuk seperti dulu.
Hari terus berlanjut, keadannya semakin parah, dia sama sekali tak bisa menggerakan seluruh anggota badannya. Lalu istrinya disarankan untuk membawa ke Puskesmas di kampung sebelah untuk mendapatkan pengobatan. Istri M Nasir masih mengeluhkan belum ada jaminan biaya kesehatan selama di Puskesmas, Parado. Memang saat M Nasir dirujuk, dia belum memdaftar sebagai anggota pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).
“Kami sekeluarga belum membuat kartu BPJS, tapi sekarang sedang dibuatkan, ada orang yang kita minta bantuan untuk membuatkannya langsung di kantornya. Saya sendiri tidak tahu membuatnya seperti apa,” kata Istri M Nasir, Nur, saat berbincang dengan Lontar.id, Minggu (10/3/2019).
Setelah beberapa hari dirujuk ke Puskesmas, sembari mengurus surat kartu BPJS. Keluarga M Nasir lalu disarankan oleh dokter agar dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Bima guna mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi. Istri M Nasir sempat ragu, bukan karena biaya rumah sakit yang ia khawatirkan, karena seluruh biayanya sudah ditanggung oleh kartu BPJS. Tapi ia khawatir karena tak memiliki uang di sakunya untuk keperluan sehari-hari.
Karena urusan penyakit, akan banyak sekali kebutuhan yang harus dikeluarkan, baik biaya untuk sekadar membeli makanan atau keperluan lain yang tiba-tiba saja harus dipenuhi. Lantas Biaya tersebut dari mana bisa dia dapatkan dalam waktu secepat mungkin. Mencari pinjaman, bukan solusi untuk menyelesaikan masalah keuangan. Malahan akan menambah beban di masa-masa yang akan datang.
Beberapa hari ia harus berbaring lemas di Instalasi Gawat Darurat (IGD), perawat datang mengecek kondisi kesehatannya dan memberikan sejumlah butiran obat yang dikantongi plastik agar diminum. Obat-obat tersebut diminumnya hingga habis, sesuai dengan resep dokter. Namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan M Nasir, badannya masih belum bisa bergerak, kecuali dibantu oleh istrinya.
Di rumah sakit ia tidak mengalami perubahan apapun, meski sudah mengikuti semua anjuran dari dokter. Tetapi penyakitnya masih saja bersarang di tubuh. Setelah berhari-hari ditangani dokter, akhirnya dia disarankan agar dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi di Mataram. Dokter memberikan penjelasan panjang lebar tentang penyakit yang sedang suaminya hadapi, dan kenapa pasien harus segera di rujuk lagi di provinsi.
Berangkatlah dia bersama suaminya, diantar menggunakan mobil ambulans menuju rumah sakit di Mataram. Setiba di sana, mereka disambut dengan santun. Pasien lalu diangkut ke kamar, sesuai dengan kelas peserta BPJS. Setelah beberapa hari ditangani oleh dokter, segala macam jenis obat ia minum demi kesembuhan.
Tak disangka M Nasir sudah mulai menunjukkan banyak perubahan, perlahan-lahan anggota badannya mulai bisa digerakan sedikit-demi sedikit. Senangnya bukan main, karena badannya yang kaku beberapa bulan terakhir ini membuat dirinya sedih dan mencapai tingkat kepasrahan. Waktu terus berjalan, kondisinya semakin membaik. Dokter menyarankan agar M Nasir dilakukan operasi, agar penyakitnya sembuh total. Istrinya gembira mendengar sang suami bertambah baik, tapi ia tak sanggup harus membayar ongkos operasi yang jumlahnya cukup besar bagi keluarga mereka.
Rumah sakit mematok harga Rp40 juta untuk biaya operasi, praktis jika uang tersebut tidak terpenuhi maka operasi dibatalkan. Kartu BPJS yang baru saja ia buat, tak menanggung biaya operasi dengan biaya sebesar itu, padahal jika memegang kartu BPJS dan kita membayar iurannya setiap bulan, maka kantor penjamin layanan kesehatan ini seharusnya bisa menanggung semua biaya setiap peserta yang mendaftarkan diri di BPJS. Ini bukan tentang aturan dan syarat-syarat, tapi soal kemanusiaan yang harusnya dikedepankan bagi mereka yang miskin.
Karena merasa tidak mempunyai uang sebesar itu, agar suaminya dioperasi. Diapun berpikir, karena kondisinya saat ini semakin membaik, tidak salah kiranya ia berusaha dengan cara pengobatan tradisional. Orang-orang pintar di perkampungan jumlahnya cukup banyak, berbekal minyak dioleskan pada bagian yang sakit, maka tukang urut akan mengurutnya dibagian dengan cermat. Semakin sakit bagian yang diurut, semakin keras dia pijit.
Setelah pulang kembali dari rumah sakit, mereka langsung menuju ke rumah istrinya di Kabupaten Dompu. M Nasir mulai jalan keliling-keliling di sekitar rumah, duduk di depan halaman rumah sambil melatih bagian tubuhnya yang lama tak berfungsi. Rasa gembira tersirat di raut wajahnya karena organ tubuhnya berfungsi kembali.
Tapi sayang, kebahagiaannya itu tak berlangsung lama. Setelah pulang ke rumah dan dalam waktu 3 hari, penyakitnya kambuh lagi. Tangan, badan dan kakinya tak bisa digerakkan lagi. Praktis ia hanya terbaring lesu di tempat tidur. Sesekali istrinya membawa ke tempat orang-orang pandai mengurut, namun hasilnya nihil.
“Ya pernah dibawa ke tempat urut beberapa kali, tapi tetap seperti ini,” ujarnya.
Sebulan kemudian sang istrinya membawa ke Puskesmas, selain badanya tidak bisa digerakkan, saat itu saluran kencingnya tidak berfungsi normal atau biasa disebut dalam istilah medis sebagai prostat. Sekitar seminggu ia dirawat di Puskesmas. Beberapa perawat menyarankan agar dirujuk lagi rumah sakit dan menyerahkan surat rujuk, keesokan harinya mereka berangkat ke rumah sakit. Keluarga terdekatnya bisa dibilang jarang menjenguk M Nasir yang sakit. Sekali lagi ia berangkat tanpa uang yang cukup.
Beginilah Fakta sosial di negeri ini. Sepertinya Adagium orang miskin dilarang sakit masih tetap berlaku setiap hari. Layanan kesehatan memang sering kali hanya milik mereka yang kaya. Jaminan kesehatan yang diharapkan mampu memberikan keadilan dalam pelayanan bagi mereka yang miskin nampaknya telah menguap seperti janji kampanye saat Pilpres.
Seperti kata seorang teman saya: “Kekayaan terbesar yang dimiliki orang miskin adalah kesehatan. Jika kesehatanmu hilang, solusinya adalah berusahalah menjadi orang yang kaya.”
Penulis: Ruslan