Reputasi sepak bola di Sulsel, khususnya di Makassar mulai berpijar. Seiring performa menterang Pasukan Ramang di liga, satu demi satu para amunisinya mendapat tugas mulia membela bangsa.
Lontar.id — Lihatlah betapa Indra Sjafri, pelatih timnas seolah menaruh ketergantungan kepada Asnawi Mangkualam Bahar dan Nurhidayat Haji Haris. Dua pemuda dengan dialek khas Makassar itu selalu masuk dalam komposisi utama timnas kelompok usia.
Asnawi dan Nurhidayat juga telah mencatatkan kontribusi sebagai pilar penting di balik sukses timnas merengkuh trofi Piala AFF U-22 tahun ini. Bukan karena keduanya mendominasi daftar pencetak gol, namun kukuhnya benteng pertahanan tim tak bisa lepas dari perannya. Makanya dua bangunan bersejarah di Makassar, Benteng Somba Opu dan Benteng Rotterdam kerap menjadi julukan keduanya.
Julukan itu kian masyhur acap kali komentator memberi atensi kepada Asnawi dan Nurhidayat berkat kepiawaian memotong alur serangan dari serbuan tim lawan. “Inilah bung… duet Benteng Somba Opu dan Benteng Rotterdam yang menjadi pilihan Indra Sjafri di lini belakang. Luar biasa bung..”
Di level senior, jangan ditanya. Pendukung PSM tentu tidak sabar ingin melihat langsung dua aksi pilar Juku Eja, M Rahmat dan Rizki Pellu mengenakan seragam garuda di laga resmi.
Di bawah komando Simon McMenemey, dua jagoan PSM itu mampu memberi kontribusi kepada timnas. Di level uji coba, Rahmat, si pelari cepat itu ternyata menjadi peluru mematikan timnas. Berondongan tiga gol timnas kala menghajar Perth Glory 3-1, semua dicetak oleh lelaki asal Takalar, Sulsel itu.
Simon pun dibuat senyum-senyum dan bangga akan penampilan timnya. Dan sepertinya hanya persoalan waktu saja, Rahmat akan mendapat tempat utama sebagai winger jagoan di timnas. Asal tahu saja Perth Glory itu bukan tim sembarangan. Kiprahnya di liga utama Australia sangat diperhitungkan.
Jadi sungguh istimewa jika pemain yang tak pernah dilirik kala Bima Sakti menukangi timnas mampu unjuk kesaktian di era McMenemy. Rahmat jago.
Semoga Rahmat dan Pellu mampu meneruskan duo suksesornya, Syamsul Haeruddin dan Ponaryo Astaman. Syamsul dan Ponaryo pernah menjadi duet jangkar di lapangan tengah yang paling tangguh di eranya. Baik di timnas maupun di PSM keduanya menjadi tumpuan.
Kembali kala Indonesia menjadi tuan rumah Piala Asia 2007, bagaimana Ponaryo dan Syamsul berjibaku mengimbangi barisan gelandang dua raksasa langganan piala dunia, Arab Saudi dan Korea Selatan. Meski langkah Indonesia terhenti di fase grup, namun timnas senior kala itu mampu menunjukkan permainan terbaiknya.