Kota maju adalah yang macet. Begitu dalam benak saya. Pembangunan bertumpuk dan kendaraan yang dipermudah cicilannya adalah keindahan. Punya kendaraan itu asyik, punya rumah dan kantor bagus juga mantap betul (mantul).
Saya adalah orang yang hijrah dari Makassar ke Jakarta. Menetap di sini meski belum setahun. Jakarta memang mengagumkan jika ditelusuri, baik dari segi bangunan, dan banyaknya mobil Eropa yang lalu lalang di jalan.
Dua pekan yang lalu, dari Cengkareng, saya dapat keramahan seorang teman. Ia rela menjemput sampai ke tempat tinggal saya bersama teman kantor. Kami tertawa-tawa dan berpelukan saat bertemu.
Keluar dari Cengkareng, saya sudah mulai terkagum-kagum dengan pembangunan di sekitar Bandara Soekarno Hatta. Tidak ada pohon-pohon saya lihat di sekitarnya.
Saya senang. Ada banyak buruh yang bekerja dalam sepengelihatan saya sewaktu berkitar di Cengkareng. Buruh-buruh itu pegang palu. Bajunya baju partai yang rombeng. Kerjanya pukul-pukul beton dan menghirup debu.
Saya tipikal orang yang gampang ingat lagu dan menyanyi. Orang-orang bilang saya seperti Bang Ipul. Kiri kanan kulihat buruh, saya meromantisirnya pakai lirik lagu Iwan Fals, Libur Kecil Kaum Kusam. Almarhum bapak saya juga buruh. Saya bahagia dan bisa mengenang bapak saat lihat Jakarta.
Saya tanya dua kawan saya yang duduk di depan. Apa memang Jakarta sedang membangun terus menerus? Jawabnya, iya. Saya disuruh menyimak sekeliling saya.
Menjauh dari Cengkareng, tanpa terasa, kami berempat—dua kawan penjemput duduk di depan, dan teman kantor berdua dengan saya di belakang—sampai di Kemang yang dipenuhi dengan tempat mengaso dan menghibur diri bagi orang kesepian yang aneh. Sudah hampir Magrib.
Langit saat itu gelap. Memang mau hujan. Kaca mobil ditutup. Lagu akustik diputar kencang di dalam mobil. Kami tergelak-gelak dengan candaan remeh untuk menghidupkan suasana.
Sudah macet. Alhamdulillah. Saya akhirnya bisa menikmati Jakarta dengan khusyuk. “Beginilah ibu kota. Macet. Nikmati saja. Lama kelamaan akan terbiasa. Tinggal di sini harus sabar,” teman saya menghibur. Syukur, saya benar-benar suka kondisi begini.
Sejam, dua jam, tiga jam, perjalanan dari Cengkareng ke Kalibata, tempat inap saya. Jarak tempuh tidak begitu jauh jika tidak macet. Saya nyeletuk,” kalau di Makassar, ini sudah sampai kabupaten,” kami tertawa lagi bersama.
Kiri kanan lagi, saya lihat banyak pengendara motor yang melewati garis sejajar lampu merah. Ada ojek online, ada juga yang tidak. Bis juga banyak. Masing-masing rebutan tempat di jalan. Mereka anteng saja tanpa berklakson ria. Nikmat betul di Jakarta.
Semakin jauh, kami memilih untuk melewati gang-gang kecil yang cukup untuk dua mobil. Di banyak gang, ternyata kena imbas macet juga. Saya menelan ludah, dan berbahagia dengan kota yang ledakan penduduknya begitu banyak karena banyak perantau cari kerja.
Begitulah. Saya orang yang patuh saja dengan celoteh pemerintah yang memudahkan cicil-mencicil kendaraan dan pembangunan. Toh, kebijakan itu adalah sebenar-benarnya bijak.
Kaki saya sudah pegal karena kelamaan duduk. Saya meringis pada dua teman di jok depan. “Nanti singgah makan ya. Saya sudah lapar.” Mereka mengiyakan. Kami akhirnya makan bebek di Kalibata. Enak sekali dan terbilang mahal. Untung UMK di Jakarta terdengar tinggi bagi orang yang bersyukur.
Mereka menurunkan kami berdua di Kalibata, di dekat pedagang bebek goreng yang nikmat dan berlumur minyak jelantah itu. Di rumah sederhana yang kami tinggali sementara, kami lalu bercerita, dan menyuruhnya singgah beberapa lama.
Berempat, kami ngobrol soal Makassar, dan agenda yang akan saya kerjakan. Kami juga berbicara soal Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Porsinya terbilang sedikit. Lebih banyak soal Makassar.
Dalam banyak informasi di media daring, Anies lebih banyak menyarankan agar masyarakat harus membiasakan untuk memilih kendaraan umum. Alasannya, biar kemacetan terurai.
Ingat itu, saya jadi tertawa sendiri. Saya langsung mencintai Jakarta, agama, dan kampung saya secara sekaligus. Saling mengaitkan, tanpa tidak sadar, agama dan kampung halaman adalah sebaik-baiknya obat kemacetan.
Buktinya, saat lebaran dan hari libur panjang, jalanan Jakarta memang lowong. Ada banyak foto yang diabadikan di jalanan Jakarta saat Idul Fitri. Mobil dan motor kurang. Macet hilang sementara.
Saya juga merasa menikmati libur Natal baru saja. Jakarta kesepian. Kata teman kontrakan, orang-orang banyak memilih libur dan meninggalkan kota jika begitu. Banyak juga yang beristirahat saja di rumahnya.
Saya bertanya-tanya lagi, kenapa Jakarta bisa tidak macet tanpa tetek bengek aturan yang njlimet? Mungkin pengaruh libur keagamaan, juga pengaruh masyarakat yang pulang ke kampungnya saat itu juga.
Saya bersabda, mereka yang rindu kampung halaman dan beragama, adalah mereka yang sejatinya mencintai Jakarta secara tidak sadar. Memang ateis itu bisa apa? Hih!