Jakarta, Lontar.id – Seringkali pandanganku terlempar jauh ke ujung sebuah stasiun tua di Jakarta. Rel-rel yang berkarat, dan bantalan-bantalan rel. Ada banyak tingkah laku manusia jika bercerita soal kereta api.
Aku pikir naik kereta api adalah hal yang menyenangkan. Seorang kakek berambut putih saat cucunya masih kecil, pernah menyanyikan sebuah lagu soal kereta yang menyeret dua nama kota besar.
Bandung dan Surabaya. Dua nama kota itu disebut. Lagu itu punya keriangan sendiri pada persona yang mendengarnya, jika disertai tepukan tangan. Cucu itu keburu makan dan lahap di depan kakeknya yang kepalanya dipenuhi uban. Cucu itu adalah aku dulunya.
Bel palang rel berbunyi. Semua kendaraan saling adu cepat dengan laju kereta api. Jakarta memang membuat orang terburu-buru, dan harus berhadapan dengan kenyatan yang menyedihkan: selalu ada kata terlambat karena macet.
Sebuah Kopaja melaju dengan cepat, di perempatan lampu merah, di sebuah jalanan yang besar di Jakarta. Lampu merah di Jakarta, bagi orang yang tak sabaran menunggu adalah kutukan. Sebuah motor hampir ditabrak. Ia melanggar. Sopir Kopaja menegur.
“Mau apa lu?”
Sopir Kopaja menyuruh pengendara motor itu berhenti. Pengendara motor yang memakai topi itu nurut. Ia menoleh dan mengajak sopir Kopaja untuk turun dari kursinya. Ia diajak gelut dengan lelaki ceking, gondrong dan bermuka butek.
Lima pengendara motor di belakang Kopaja menoleh ke arah pengendara motor itu, sambil memberi klakson peringatan untuk Kopaja agar segera berdamai dengan emosinya, sebab mereka tak ingin tua di jalanan, di bawah terik yang membakar Jakarta.
Lalu aku memandang sebuah papan petunjuk di Stasiun Manggarai. Orang-orang menunduk menunggu kereta di sana. “Arah ke Bogor, di koridor sana, Pak.”
Aku bertanya pada seorang lelaki dengan tas gembung berjaket parasut di koridor halte yang menunggu kereta komuter menuju Kota Tua. Aku berterima kasih. Ia kutinggal, kemudian matanya menatap ke depan kembali.
Seorang ibu mengajak main dua bocah berseragam SD di halte tempatku menunggu. Bahasanya sungguh manis. Dua anak itu tertawa. Muka mereka tampak lelah. Aku tertawa kecil. Kawanku masih berdiri menunggu kereta untuk ke Bogor.
Kami tak bercerita apa-apa. Aku asyik memikirkan soal beberapa paragraf yang kutulis di atas. Soal Kopaja dan lainnya. Lalu aku tertawa sedikit kecut dan ngeri bercampur miris.
Sungguh itu tidak benar-benar lucu. Aku memang bisa dicap sedikit mabuk karena menertawai satu celaka bahkan lebih banyak dari itu. Aku berusaha menghibur diriku sendiri, setelah melewati hal yang cukup melelahkan dengan arus kendaraan yang melambat dari Tebet ke Manggarai, jelang sore.
“Kita akan ketinggalan pertandingan PSM melawan Lao Toyota, kawan. Aku yakin.”
Aku tahu belaka jika memang akan begitu adanya. Tak ada yang benar-benar bisa diprediksi dengan tepat soal kapan kita akan tiba pada satu tujuan di Jakarta. Selalu saja meleset. Mayoritas orang-orang terpaksa menjadi rajin dalam upaya memenuhi jalanan pada jam-jam terntentu.
Kereta komuter tiba. Orang-orang yang sehalte denganku memburunya. Mereka menyasar gerbong-gerbong yang kosong, yang masih menyisakan tempat untuk mereka duduk. Tidak banyak. Sekiranya puluhan orang pada sore itu.
Di dalam kereta, kawanku membuka obrolan ringan. “Tidak apa terlambat, yang penting aku merasakan naik komuter kali ni ke Bogor. Ya, untuk sekadar mencoba saja.”
“Aku juga baru merasakan naik komuter, saudara. O, ya, serius, kau tidak masalah jika kita ketinggalan babak kedua pertandingan PSM?”
“Tidak masalah. Kau harus tahu, biasanya aku ke Bogor pakai motor. Ini untuk menghindari sesaknya komuter. Lagi pula, dalam komuter, kita tidak bebas. Kaupikir bagaimana jika ingin singgah di suatu tempat?”
Aku mengangguk. Seorang perempuan duduk di kursi komuter biru, menghadap dengkulku. Di sampingnya, seorang pemuda melihat ponselnya. Terpasang headset di telinganya. Pemuda itu terus-menerus tertunduk, seperti diperintah ponselnya.
Baru kali ini aku mengangkat tangan terlalu tinggi dalam waktu yang cukup lama yakni sejam lebih. Selalu ada ketakutan. Kautahu, jika aku merasa ketiakku dipenuhi dengan bakteri, aku dalam beberapa momen ingin menurunkan tanganku.
Aku takut memberi efek buruk dengan orang-orang di sekitarku saat tanganku terangkat. Namun, keburukanku yang lain adalah, aku beberapa kali mencium lengan sendiri, apakah daerah di sekitarnya bau atau tidak. Puji Tuhan, tidak bau. Aku berhenti was-was.
“Memangnya makan berapa lama kalau dari Tebet ke Pakansari?”
“Oh, biasanya makan waktu dua jam. Makanya, tiga atau empat jam sebelum pertandingan dimulai, saya sudah berangkat, kawan.”
“Baiklah. Ini adalah pelajaran pertama, aku pergi menonton bola secara langsung dengan jarak jauh begini. Aku anggap ini adalah pelajaran. Tapi serius, kau tidak masalah dengan ini, kan?”
“Hei, aku tak masalah. Santai. Masih ada pertandingan lagi pada 2 April. Kita bisa sama-sama belajar dari hal ini.”
“Lalu, butuh waktu berapa lama jika naik komuter seperti ini?”
“Menurut kawanku yang lain. Biasanya makan waktu sejam lebih. Memang sih, naik motor lebih lama.”
Lalu aku bertanya lagi pada kawanku yang berdiri di sampingku, yang turut memamerkan liang ketiaknya, sembari memegang gantungan tangan. Tangan kanannya mengepit sebuah dompet besar kulit, untuk menyimpan dompet kecil dan keperluan lainnya.
“Aku dengar ada banyak orang yang sudah kecelakaan karena ditabrak kereta api, ya. Benar begitu?”
“Sudah banyak. Ya, alasannya karena ada yang terburu-buru sambil mengabaikan bel dan palang yang akan tertutup. Jadinya kendaraannya terseret. Kendaraannya bisa motor dan mobil. Hal begitu sudah biasa.”
Biasa? Lalu aku mengingat kembali beberapa helai halaman buku yang mencatat kronik seorang lelaki bernama Song Gang dalam novel karangan Yu Hua yang berjudul The Brothers.
Song Gang diceritakan membunuh dirinya dengan cara tidur di bantalan rel kereta api, setelah tahu bahwa istrinya berselingkuh dengan saudara yang dicintainya. Jika kauingin mengetahui, aku menyarankan kau membacanya. Itu kisah yang mengerikan sekaligus membuat kaupilu.
“Kita akan sampai sebentar lagi. Kereta akan berhenti di Depok. Tak jauh dari situ, kita akan menuju stasiu Bojong Gede, Bogor.”
Tak lama kami tiba di Bojong Gede. Pertandingan PSM sudah habis. Kawan yang akan kutemui di sana sudah menuju pulang ke Jakarta nunut motor, usai menyaksikan pertandingan yang sebelumnya tak ingin kulewatkan itu.
Kami berdua tak sedih. Kami yakin itu. Kami memang dari awal sudah tahu kalau kita cuma akan pergi berbelanja di pasar modern Bojong Gede, kemudian kembali pulang ke Jakarta.
“Kau akan melihat betapa mengerikannya hidup di kota ini, kawan.”
“Mengapa?”
“Lihat saja sebentar.”
Kami menunggu sebuah kereta untuk pulang ke Jakarta. Di halte yang sama, saat kami diturunkan kereta yang menuju Kota Bogor. Cuma sedikit orang di halte Bojong Gede saat itu. Suara azan Magrib sudah terdengar.
Kereta datang dan kami masuk ke gerbong yang entah nomor berapa. Kami mengulang gaya berdiri kami saat di komuter: memamerkan ketiak. Aku memberi perempuan tempat dudukku sebelumnya.
“Ketika nanti komuter ini berpapasan dengan komuter dari Jakarta menuju Bogor, lihatlah penumpangnya. Kau akan tahu seberapa ujian mereka yang bekerja di Jakarta, setiap hari.”
Aku akhirnya melihat sebuah komuter yang isinya dipenuhi orang-orang berdempetan. Barangkali bercampur pula bau tak sedap di dalam gerbong itu. Pendingin pasti dimatikan. Mungkin, liang lahat lebih luas dari pada ruang kosong dalam kereta Jakarta-Bogor pada waktu sepulang kerja.
Konon, sebuah cerita yang dituturi kawanku itu, pekerja di Jakarta, yang tinggal di Bogor, jika memang sudah berkeluarga, kalau punya anak, takkan melihat anaknya berlari-lari dan bermain.
“Anak belum bangun pagi, bapak sudah pergi kerja. Bapak pulang kerja, anak sudah tidur. Tidak heran, kalau hidup di Jakarta, libur sehari jadi harta terbesar orang berkeluarga.”
“Memang begitu?”
“Pikir saja. Mereka, para ayah yang mau berdesakan dalam kereta, masih mending. Mereka pasti bisa bertemu anaknya sebelum tidur. Nah, yang menunggu sekira pukul 8 atau 9 malam baru naik komuter, saat gerbong sudah lengang, gimana kabarnya? Anaknya kemungkinan besar sudah tidur, Itulah risikonya kerja di sini (Jakarta).”
Ada dalam satu masa, ia ingin sekali naik komuter saat gerbong sudah lengang dan kurang penumpang. Ia bisa duduk dengan santai, tidak berdiri seperti yang kami sudah lewati.
“Aku ingin seperti di Jepang, dalam film-filmnya kan, banyak, ya, komuternya sepi melulu? Haha.”
“Di dalam sana (komuter menuju Bogor) pasti tidak mengasyikkan ya. Kita tidak perlu memegang gantungan tangan. Kita bisa tidur berdiri dalam keadaan terjepit pekerja-pekerja dari Jakarta. Itu makanya, aku selalu berdoa untuk diriku, agar diberi kekuatan untuk naik motor ke mana saja. Aku bela-belain deh. Daripada tersiksa kayak begitu.”
Aku takzim mendengarnya. Aku sadar, aku salah satu orang yang beruntung seperti kawanku. Setidaknya dalam beberapa bulan ini. Komuter terus berjalan, dan rel-rel tua yang dilaluinya akan terus-menerus tergesek selama beberapa jam mendatang.
Kami sudah jauh dari Bojong Gede.