Jakarta, Lontar.id – Save our culture, begitulah tulisan spanduk dari Red Gank yang berkibar di Stadion Mattoanging selama pengelihatanku dari tahun ke tahun, sewaktu menonton PSM Makassar.
Mereka memang punya tugas besar untuk menjaga budaya minimal dalam kandang mereka. Budaya adalah akar masyarakat, yang jika dicabut, maka lepaslah sebuah identitas. Itulah saripati omongan Presiden Red Gank, Sul Dg Kulle, dalam beberapa kesempatan.
PSM sudah menunjukkan budayanya dengan permainan keras, tapi tidak kasar. Kebiasaan itu sudah dijalani selama bertahun-tahun lamanya. Hal itu sempat menghilang, lalu dijalani lagi akhirnya oleh anak-anak Makassar.
Setelah bakat-bakat muda bermunculan di tiap lini, skuat PSM tampaknya makin menunjukkan siapa sebenarnya mereka. PSM masih tetap segarang dulu. Baik permainan yang dilakoni Ferdinand, Asnawi, Rasyid dan pemain lainnya.
Mereka semua sukses menjadi simbol kekuatan orang Makassar. Tipikal lihai saling bentur demi menguasai bola, demi kemenangan, serta tak letih-letih mengejar bola adalah Makassar. Begitu kata-kata tetua dulu jika berbicara soal gaya main PSM.
“Mattoanging harus angker lagi. Budayakan hal itu lebih baik,” ujar Sul.
“Kita harus meneror pemain-pemain lawan saat di stadion. Perlihatkan kalau kita punya semangat untuk itu. Tanamkan kalau suporter dan pemain adalah kekuatan yang tak bisa dipisahkan.”
“Para suporter-suporter tua dahulu itu, kadang kala meneror pemain-pemain loh. Pokoknya mental mereka harus kita ganggu. Tak boleh curi poin di Mattoanging.”
Sekarang hal itu dilihatnya sudah mengendur, sebab para pemain lawan begitu gampang mencuri poin di kandang dalam beberapa kesempatan. Itu yang kadang kala dipikirkan oleh Sul.
Hal itu menggusar isi dadanya. Sepertinya ada yang salah dari peradaban sepak bola Makassar sejauh ini. Tampaknya budaya malu kita kalau kalah di kandang tak lagi disakralkan. “Takutnya akan menjadi sebuah kebiasaan. Kalah di kandang itu sangat tidak baik.”
Sul tidak sendiri. Nyaris seluruh dedengkot suporter PSM Makassar, juga merasakan hal yang sama. Maka digagaslah viking clap, atau tepukan khas timnas Islandia, di Mattoanging. Hal itu mereka ikuti agar menambah syahdu kedekatan pemain dan suporter.
Itu murni sebuah totalitas dukungan. Selain itu, anthem “Berjuanglah PSM-ku” juga dinyanyikan agar semangat pemain tetap membara di setiap pertandingan, untuk sekadar mengingatkan kalau PSM itu punya sejarah yang terpatri baik.
Dalam beberapa kesempatan, pemain PSM mendengar dengan takzim lagu yang diciptakan untuknya. Ada pemain yang menutup mata sambil memegang logo PSM di dadanya, ada juga yang bernyanyi bersama.
Hal yang paling menarik perhatian yang beredar di media sosial adalah didorongnya prosesi angngaru di Stadion Mattoanging. Tidak ada yang tidak mungkin, jika seluruh suporter sepakat dan mendukung hal itu.
Angngaru sendiri adalah ikrar setia yang diucapkan orang-orang Gowa dulu yang ditujukan pada rajanya, atau sebaliknya, oleh raja kepada rakyatnya. Dinilai cocok karena PSM adalah sebuah kesatuan, bukan menghitung persona.
Aru itu sumpah atau angngaru artinya bersumpah. Aru dipercayai mengandung nilai magis dan religius. Makanya, Aru harus diungkapkan dengan sungguh-sungguh dan harus dilaksanakan pula dengan sungguh-sungguh. Jika dilakukan di PSM, peruntukan berubah untuk khusyuk mendukung klub.
Sewaktu perang berkecamuk, di hadapan Sombayya (Raja/Pemerintah), pasukan tubarani yang akan angngaru, mengambil posisi berlutut sembari tangan kanannya memegang badik yang terhunus, dan wajah yang menatap ke arah depan dengan penuh kemantapan hati sebagai tanda setia kepada Sombayya.
Angngaru juga sebagai ikrar untuk mempertahankan wilayah kerajaan, membela kebenaran, dan tak akan mundur selangkah pun sebelum melangkahi mayat musuhnya. Pada saat mengucapkan aru, dapat membakar semangat juang prajurit, menumbuhkan jiwa patriotik di kalangan laskar prajurit.
Pada masa sekarang, angngaru sering digunakan dalam berbagai kegiatan, seperti upacara adat kegiatan pemerintahan, maupun penyambutan tamu-tamu kehormatan. Bisa saja ritual macam begini dilakukan saat laga big match, bukan pada setiap pertandingan.
Menanggapi itu, Sul mengaku kalau hal itu belum dipikirkan olehnya. Ia malah mengusul ada ritual mappatabe atau berizin pada pemilik Stadion Mattoanging.
“Ini bukan musyrik, ya. Ini budaya kita, untuk sekadar meminta izin, dan berdoa yang baik-baik pada Tuhan, agar memberkahi suporter, dan seluruh struktur klub.”
“Ini cuman saran saja sebenarnya. Sebab budaya, ya, itu lagi. Tak bisa dilepaskan dari tubuh orang Makassar atau siapapun yang merasa suku apapun.”