Lontar.id – Meskipun lahir dan tumbuh dari keluarga bersuku Bugis, tidak lantas membuat identitas saya sebagai orang Bugis terus melekat. Dalam beberapa peristiwa, misalnya, saat keluar dari Pulau Sulawesi dan bertemu dengan orang-orang dari pulau lain, mereka kerapkali mengomentari logat saya yang sangat tidak Makassar.
Tidak sampai di situ, sikap dan perilaku saya katanya tidak menggambarkan perempuan Bugis. Biasanya orang Bugis dikenal menjunjung tinggi siri’ na pacce (sikap pemalu yang tinggi). Mungkin gaya komunikasi dan bahasa yang blak-blakan, membuat mereka berpikir kalau saya tidak cukup representatif sebagai perempuan Bugis.
Terlepas dari itu semua, ada hal yang paling sering saya temukan saat memperkenalkan diri sebagai orang Bugis. Yakni, pertanyaan ihwal uang panaik.
Seberapa pun tidak representatifnya saya sebagai perempuan Bugis, pertanyaan itu sepertinya wajib saya jawab. Pertanyaan yang tidak hanya datang dari teman lama saya di kampus, misalnya, tapi juga orang-orang yang baru saya kenal.
Saat tahu saya bersuku Bugis, mereka secara spontan bertanya, apa benar menikahi perempuan Bugis harus seribet atau semahal itu?
Uang panaik memang beberapa waktu belakangan ini semakin menghegemoni, apalagi saat beberapa sineas Makassar mulai mengangkatnya ke layar lebar.
Seolah berkutat pada persoalan masih relevankah uang panai di era digital 4.0? Saya justru ingin melontarkan pertanyaan yang agak kritis (ciee). Mengapa tradisi ini masih eksis hingga sekarang, padahal kita ketahui bersama Islamisasi suku Bugis sangat kuat?
Beberapa kebudayaan lama sudah tersingkirkan, alih-alih melakukan negosiasi kebudayaan dalam artian terjadi peleburan dua budaya, Islam dan Bugis.
Uang panaik berbeda dengan ajaran Islam. Tradisi jelas lahir dari kebudayaan Bugis yang terlepas dari konsepsi Islam. Dalam ajaran Islam, kita tidak mengenal uang panaik tapi mahar. Dua hal ini berbeda.
Uang panaik bermakna pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita, dengan tujuan sebagai penghormatan.
Penghormatan yang dimaksudkan di sini adalah, rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya, dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panaik tersebut.
Kembali ke pertanyaan awal. Mengapa kebudayaan ini masih ada di tengah gempuran zaman yang telah melampaui post-post-post modernisasi?
Uang panaik memang tidak bisa dipisahkan oleh perilaku gengsi. Hal itu telah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, utamanya pada suku Bugis-Makassar.
Uang panaik menjadi tolak ukur seberapa berharga dan tingginya status sosial suatu keluarga. Mungkin hal itu salah satu penyebab tidak memudarnya tradisi ini.
Penentuan uang panaik umumnya ditentukan oleh status sosial yang disandang oleh keluarga mempelai perempuan. Status sosial tersebut antara lain: keturunan bangsawan, status pendidikan, status pekerjaan, dan status ekonomi.
Semakin baik status sosial yang dimiliki pihak keluarga mempelai perempuan, semakin tinggi uang belanja yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki.
Maka tradisi uang panaik sepertinya tak akan lekang oleh waktu. Selama status perempuan Bugis masih disandarkan pada hal-hal yang masih kuno yakni materialisme.