Jakarta, Lontar.id – Indonesia U-23 menyantap kekalahan dengan pertamanya dari Thailand dengan skor 4-0. Hal ini di luar dugaan, sebab di AFF beberapa bulan yang lalu, Thailand ditumbangkan Indonesia.
Setelah kekalahan itu, beberapa tangan netizen yang memegang samurai berbentuk ponsel, kemudian menebas keseluruhan tim. Katanya, Timnas Indonesia terlalu di atas angin dan euforia berlebihan.
Benarkah begitu adanya? Sebenarnya ada beberapa alasan yang bisa disebutkan untuk mengukkur mengapa Indonesia mesti kalah di kualifikasi AFC 2019.
Pertama adalah, karena mungkin terlalu banyak acara yang didatanginya setelah Indonesia jadi juara. Mereka masuk televisi dan menjelaskan sesuatu yang banyak. Mereka mungkin saja ingin memberi wejangan bagi anak Indonesia untuk mengejar mimpi disertai usaha.
Tidak ada yang tahu, bagaimana pentingnya mereka masuk dalam satu acara musik di televisi. Ada orang yang bilang, bahwa acara itu tidak penting dan tidak nyambung disandingkan dengan timnas Indonesia.
Meski begitu, perlu juga kita melihat bahwa di balik itu semua, ada orang Indonesia yang juga menonton dan dapat pelajaran dari sana. Tidak bisa pula kita menghujat timnas dengan serampangan cuman karena masuk televisi.
Kalau bagiku pribadi, masuknya timnas di televisi kuanggap akan memberikan efek berbesar diri bagi para pemain dan menganggap dirinya hero-hero baru buat Indonesia, setelah timnas senior, kekuatannya sejauh ini, ya begitulah…
Tak cuma itu, arak-arakan juara juga dilakukan. Euforia, lagi-lagi. Untuk apa diarak-arak? Toh masih ada pertandingan lebih penting lagi yang harus dijalani selanjutnya. Mereka, anak asuh Indra, harus dituntun untuk fokus dan bersiap menghadapi ujian berat.
Sesudah diarak-arak itu, kita semua bisa melihat sendiri, bagaimana memblenya Indonesia di mata pesepak bola Thailand. 4-0 bukan angka yang sedikit. Mereka luluh lantak di kandang Vietnam, kemarin. Sungguh suatu hal yang bikin dada sesak.
Alasan yang kedua adalah, menurut pelatih timnas Indonesia U-23, Indra Sjafri, adalah absennya Ezra Walian. Padahal, tanpa Ezra juga, timnas Indonesia bisa mengalahkan Thailand.
“Absennya Ezra Walian memberikan sedikit dampak terhadap psikologi tim, tetapi bukan alasan utama untuk kekalahan ini,” ucap Indra Sjafri.
Kualifikasi ini adalah pertandingan yang penting. Sebab, jika Indonesia mampu keluar dari tekan lawan tangguh yang ada di hadapannya, yakni Vietnam dan Brunei yang bisa saja tampil beringas, anak asuh Indra pastinya mudah melenggang lolos ke fase berikutnya.
Hanya itu saja? Belum. Indonesia juga menunggu sisa pertandingan seterunya dalam laga kualifikasi itu. Istilahnya, Indonesia tidak harus buang handuk lebih awal. Makanya, kalah atau tidak, wajib hukumnya kita mendukung mereka. Sebab masih ada kesempatan yang menganga lebar.
Ketiga, Indonesia tampil melempem dan jauh dari kekuatan Thailand sekarang. Tak ada jaminan bahwa Indonesia lebih baik dari Thailand, usai mengalahkan Negeri Gajah Putih di final piala AFF. Sebab hal itu baru permulaan.
Buktinya, Indra Sjafri mengakui beberapa pemainnya tak tampil maksimal seperti yang dibayangkannya. Thailand sukses membuyarkan gaya permainan Indonesia sejak menit awal. Para pemain Indonesia juga tak fokus.
Selanjutnya, Indra Sjafri mengaku salah menerapkan pendekatan. “Rencananya kami langsung menyerang, tetapi permainan menekan Thailand membuat Timnas U-23 Indonesia harus berubah.”
Masalah utama pemain tertumpu pada skill. “Kami coba menerapkan penguasaan bola, tetapi tidak bisa mewujudkan apa yang kami inginkan.”
Keempat, Thailand lebih jago dari Indonesia. Akuilah. Bahkan pelatih Thailand U-23, Alexandre Gama menegaskan kalau anak asuhnya menguasai permainan sepanjang laga.
“Sungguh sangat penting mencetak 4 gol di turnamen dengan 3 laga kualifikasi, hari ini saya bahagia,” dikutip dari Dantri, situs sepak bola di Thailand.
Gama mengambil banyak pelajaran setelah kalah dari Indonesia. Salah satunya, ia mempercayai kekuatan pemain mudanya.
“Setelah Thailand kalah dari Indonesia di turnamen Piala AFF U-22, kami membawa banyak pemain muda. Dan hari ini (kemarin), banyak pemain bagus, bermain dengan usaha keras 100 persen.”
“Indonesia mungkin subyektif setelah sukses di Piala AFF U-22.”
“Saya sangat percaya diri, saya tahu bagaimana kondisi pemain saya, saya tahu mereka bisa bermain lebih 100 persen dari kekuatan mereka.”
“Indonesia mungkin tahu, bahwa kami lebih kuat dibanding sebelumnya di Piala AFF U-22, tetapi mereka tak mengira Thailand bisa bermain sangat baik.”
“Indonesia agak subyektif,” sindir Alexandre Gama.
Ahli strategi sepak bola dari Brasil itu, juga sangat hati-hati menganalisis permainan timnya. Sebab, sepak bola berubah sangat cepat.
Alasan yang kelima adalah, karena pemain timnas Indonesia, sekarang, lebih banyak menjadi selebgram. Apa masalahnya instagram dengan performa pemain? Ini adalah proses pengkambinghitaman instagram.
Dulunya saya berpikir bahwa instagram bisa menjeblokkan performa pemain. Memecah konsentrasinya. Namun sekarang, saya harus berpikir ulang. Sebab tak ada komentar psikolog yang tepat, bahwa instagram itu punya pengaruh buruk dengan kekuatan pemain bola.
Ada banyak contoh yang bisa diambil. Pertama, pemain PSM, Mark Klok, yang hobi “menjual” dirinya di instagram pribadinya. Permainannya bersama PSM sejauh ini cukup konsisten. Ia masih menjadi gelandang terbaik yang dimiliki Pasukan Ramang.
Kedua yakni pemain Ajax, Frenkie De Jong. Ia malah sebaliknya dari Klok. Ia jarang mengunggah foto ataupun video dalam akunnya. Cuma sesekali saja. Namun, tentu saja aku harus bersikap positif untuk itu.
Barangkali, netizen Eropa dan Indonesia berbeda. Barangkali memang pribadinya yang malas mengunggah foto. Barangkali pelatihnya melarang untuk menghabiskan waktu di media sosial seperti pemain-pemain bola Indonesia.
Mungkin saja. Semua alasan ini kukembalikan pada netizen yang budiman. Kira-kira mengapa timnas Indonesia sampai kalah?