Jakarta, Lontar.id – Orang-orang piknik di kotanya sendiri adalah suatu kesalahan. Itu yang kupahami dari kejadian di stasiun baru, stasiun
Moda Raya Terpadu (MRT) modern di Jakarta. Warga yang makan di pelataran stasiun jadi bahan cemoohan para netizen budiman.
Perasaanku sebenarnya agak marah atau bisa juga dibilang tersinggung dengan ucapan-ucapan para warganet yang mencemooh suatu kebahagiaan orang yang lebih kerdil dirinya, atau yang dianggap lebih kota dari dirinya.
Norak, kampungan, atau kata-kata semacamnya benar-benar menyakitkan hatiku. Mungkin terkesan berlebihan, namun pelan-pelan akan kuceritakan bagaimana pahitnya menjadi objek makian orang-orang kota.
Dulu sekali, entah tahun berapa, di sebuah mal di Kota Makassar yang belum lama dibangun, orang-orang ramai datang berbelanja serta melihat-lihat gerai seperti pakaian dan banyak lagi dari itu semua.
Aku juga pergi, sekadar ingin jalan-jalan mengitari sesembahan baru orang Makassar itu. Waktu itu aku masih kecil, umurku belum cukup untuk dibilang dewasa, apalagi remaja.
Dari rumah ke mal, bersama seluruh kawan, aku berjalan kaki. Tidak cukup jauh lah mal itu dari rumahku. Aku ingat, aku berdandan cukup lama, cuma karena ingin pergi ke mal itu. Semuanya demi terlihat menarik.
Aku cukup norak pada zamannya, namun aku bahagia. Pada umur segitu, aku belum tahu kalau pakaian dan dandananku norak, kampungan karena baru melihat mal, setelah aku menjalani tahun demi tahun.
Semakin sering ke sana, aku jadi paham, kalau aku harus mengubah dandananku jadi lebih santai. Aku merasa, dandananku selama ini adalah sebuah kesia-siaan. Makin lama aku mencoba untuk memakai celana pendek, sendal jepit, dan baju kasual saja.
Selama itu pula, aku makin jarang ke mal itu. Sebab aku tahu, tak ada hal yang penting-penting amat untuk kulihat di sana. Aku juga tidak ingin berbelanja. Persoalanku selesai.
Cerita kedua adalah, aku ingin bilang kalau ibuku sewaktu dulu, entah tahun berapa, setelah aku melewati fase di mana aku lebih memilih nongkrong di pinggir jalan daripada mal, malah belum pernah menginjakkan kakinya ke mal.
Pada masa itu, aku sudah punya sedikit uang dan sudah bekerja di koran lokal yang cukup besar di Makassar. Ibuku tinggal jauh dariku. Makanya, usai terima gaji, aku mengajaknya jalan-jalan sekadar untuk menghiburnya.
Aku tahu kalau ibuku akan sangat bahagia dengan begitu. Ibuku juga tidak suka pakai ponsel. Ia tidak paham teknologi. Ia merasa dirinya tidak butuh-butuh amat. Ia merasa dirinya seorang yang udik. Tapi aku menyemangatinya.
“Hari ini kita akan pergi jalan-jalan ke mal.”
Ibuku girang. Segera ia berdandan. Ia memilih baju tua yang terbaik yang ada di lemari tuanya. Aku bisa menghitung baju terbaik ibuku. Tidak cukup banyak. Ibuku pandai benar menyimpan baju usang yang jarang dipakai.
Ibuku bahagia. Aku pun begitu. Sepanjang jalan ia tersenyum dan melihat kemegahan mal. Sebagai anak, aku merasa sudah sangat bangga karena bisa mengajak ibuku ke pusat perbelanjaan besar di Makassar.
Aku menggandeng ibuku sesekali, lalu berjalan bersisian dengannya lebih banyak. Ia melihat-lihat gerai di mal. Matanya berkeliling melihat kemewahan. Aku paham kalau aku dan ibuku adalah sosok yang menyedihkan di mata orang lain.
Menyedihkan, karena keluarga kami tidak terlahir kaya raya. Menyedihkan, karena ibuku adalah pekerja kasar. Menyedihkan, karena almarhum bapakku adalah seorang buruh bangunan kasar, yang tiap pekan terima sedikit gaji, yang hasilnya dicukup-cukupkan dan diputar. Almarhum bapak juga nyambi sebagai pengepul sampah, yang nantinya untuk ditimbang.
Setiap hari sebelum mengajak ibuku pergi berwisata selayaknya orang berada, aku selalu bilang kalau aku adalah orang yang terplih, yang bernasib baik, yang masih bisa belajar baca dan tulis. Tak seperti kedua orangtuaku.
Ibu dan almarhum bapak, masih membaca secara tersendat-sendat. Mereka tidak buta huruf. Tulisan tangannya buruk. Ia bahkan sering menanyakan kalau ia sudah menulis apa dalam kertas karton belanjaan untuk keperluan rumah.
Ibu dan bapak adalah orang-orang yang tidak menyelesaikan pendidikannya hingga wajib belajar sembilan tahun. Ibu menikah muda dengan bapak. Bapak menikahi ibu, karena bapak yakin sudah bisa cari nafkah.
Bapak benar-benar yakin, karena bapak bisa mengerjakan pekerjaan kasar dengan tekun. Bapak orang yang kuat dalam bekerja. Bapak adalah nelayan paling baik yang pernah kukenal dalam hidupku, tukang pulas rumah, pembuat pagar dari kayu, dan tukang kayu yang senang bikin kandang ayam.
Mereka membaca secara tersendat-sendat, mungkin saja karena matanya sudah rabun, atau mungkin karena tulisannya jelek. Itulah dua hal yang kupikir. Aku tak ingin bilang kalau kedua orangtuaku bodoh. Tidak sama sekali. Malah setiap aku selesai belajar, aku selalu merasa takkan pernah melewati intelegensia orangtuaku.
Di mal itu, aku dan ibuku akan naik di tangga eskalator. Ibu merinding ketakutan. Badan ibu bergetar seperti menolak sesuatu diasup ke tubuhnya. Saat itu, ada banyak orang yang melihat ibu takut untuk naik ke eskalator. Aku dan ibu merasa sangat kampungan dan norak.
Ibu berujar padaku, kalau ia takut. Lebih tepatnya ia takut jatuh. “Saya takut. Tidak usah naik eskalator.” Aku terseyum. Aku bilang kalau tidak akan terjadi apa-apa. Aku memberikan tanganku, ibu naik anak tangga eskalator secara hati-hati.
Setiap hari, karena keluargaku miskin, aku sering dihina orang dengan kalimat-kalimat yang sungguh tak mengenakkan hati. Tetapi, aku makin kuat, sebab aku dilahirkan dari rahim ibu yang baik, bapak dan ibu yang ekonominya pas-pasan, namun masih bersemangat untuk hidup dan bekerja keras dengan kekuatannya.
Aku sungguh bahagia jika melihat mereka berdua. Mengapa? Sebab ibuku adalah salah satu orang yang tidak mau melihat rumahnya kotor. Ibuku pembersih. Sementara almarhum bapak, adalah lelaki penyayang, ia tidak mau melihat ibuku sedih.
Pada lain kesempatan, ibu juga mencoba naik lift. Ibu pusing dan juga ketakutan. Sama takutnya ketika naik eskalator. Ibu hampir jatuh, karena lift yang mengagetkan dan membuatnya pusing.
“Saya merasa pusing. Lift mengagetkan saya,” kata ibuku saat kuajak pergi ke gerai makanan dan minuman. Kami bercerita di sana sembari membelikan ibu minuman buah serta roti manis untuk ia makan dan bawa pulang.
Hal ketiga yang ingin lagi kuceritakan adalah, cibiran dan makian yang kerap kulontarkan pada orang-orang yang sedang berada di jalan layang di Makassar. Flyover.
Sebab aku pernah merasa orang yang paling kota di dunia ini, aku kerap menghina mereka yang duduk nongkrong di pinggiran flyover. Seakan-akan nongkrong di sana adalah perbuatan yang keji sekeji-kejinya.
Banyak orang yang pacaran dan berduaan di tepi flyover. Banyak. Setiap hari, jika di Makassar, kita bisa menemukannya. Mereka tampak bahagia, dan tidak ingin diurusi oleh mulut orang-orang seperti aku.
Aku tahu belaka bahwa mulutku adalah liang kesalahan setelah seorang temanku, dari kampus yang sama denganku, dengan motor bututnya sering ke sana. Dengan pacarnya, mereka hanya bermodalkan minuman saset berharga murah.
Dalam satu kesempatan, aku bertanya, mengapa ia senang nongkrong di jalan layang itu. Itu adalah tempat yang kurang etis dan norak. Ia menjawab saja dengan sederhana.
“Karena saya tidak punya duit untuk nongkrong di tempat yang lebih mahal. Perempuan yang kutemani ini juga mau saja. Ia tidak pilih tempat.”
“Jika toh aku punya uang, aku akan mengajaknya pacaran di kafe-kafe yang besar.”
Aku jadi mengerti. Semua persoalan rasa dan kenyamanan. Kita seharusnya merutuki terdakwa koruptor, mengomeli para barisan teror bersenjata tajam di jalanan, menggerutui perampok yang membunuh orang, sebab mereka itulah kriminal murni.
Ketiga hal di atas membuatku berpikir jernih. Tak pernah aku mengadili tanpa tahu duduk perkara, mungkin saja harus kita dalami lagi. Ya, kata-kata Pramoedya itu harus merasuk pada kita.
Sesungguhnya, mereka yang tampak piknik di pelataran peron MRT tak pantas untuk dimaki-maki dengan kalimat-kalimat menindas cuma karena kita lebih terpelajar, lebih kota, atau lebih banyak uang dari mereka.
Dalam pandangan orang yang melihat luarnya, itu terkesan seperti norak. Namun, dalam pandangan mereka yang bak piknik di sana, itulah kebahagiaan mereka.
Mereka euforia dengan proyek baru di Jakarta. Mereka bangga. Ada yang mereka simpan. Kenang-kenangan barangkali, untuk mereka cerita pada tetangganya di kampung, atau di mana saja.
Lagipula aku bisa bertanya, adakah larangan makan di pelataran peron? Cuma karena mereka yang pernah mencoba MRT di luar negeri, dan tak melihat ada orang makan di sana, bukan berarti mereka bisa menjatuhkan orang-orang kawannya sendiri. Mempermalukannya.
Situasi yang dianggap sakral oleh orang tua dulu adalah saat makan. Mungkin saja, ada hadist makan jangan bersuara, karena memang makan itu adalah sesuatu hal yang tak boleh disepelekan. Lantas menghina orang yang makan seperti piknik itu, apakah baik?
Kita boleh saja setuju jika tempat itu dipasangi tanda larangan bagi pengunjung untuk makan. Boleh juga menganggap kalau makan di peron adalah kesalahan dan ketidaketisan yang dibikin orang kota. Namun, kita seharusnya tidak boleh sama-sama setuju dengan menghina mereka, yang merasa ada ledakan kecil seperti euforia dalam dirinya di pelataran MRT.
Berhentilah menghina orang miskin, kaum urban, orang yang kalian anggap udik itu. Hinaan itu sungguh menyakitkan. Bukan cuma padaku, namun pada orang yang bernasib sama denganku. Bernegosiasilah dengan keadaan.
Jangan karena kalian terpelajar, maka kalian berbuat dan ngomong seenaknya. Masih ada kalimat yang lebih baik untuk menegur, jika mereka salah. Atau kalian menunggu diri Anda menjadi penyair dulu? Katanya terpelajar, untuk memilih kalimat dan diksi menyenangkan saja sulit.