Jakarta, Lontar.id – Berita hoaks atau fake news memang sangat mudah sekali ditemukan di beranda sosial media (sosmed). Orang dengan mudah membangun narasi tanpa fakta dan data, seolah itu benar, sehingga menjadi pengetahuan publik.
Berita hoaks dibuat dengan beragam tujuan tertentu, namun semuanya akan mengarah pada fitnah untuk menjatuhkan martabat seseorang.
Pada momen kontestasi politik di pemilihan presiden dan legislatif 2019, berita hoaks semakin melebar, ia bak jamur di musim hujan. Diproduksi secara terus-menerus, menggunakan berbagai sarana media, terutama sosial media.
Perang terhadap hoaks semakin gencar dilakukan, baik digaungkan oleh institusi pemerintah, penyelenggara pemilu, hingga orang-orang yang peduli dan kritis terhadap melubernya berita hoaks.
Jika kita mengklasifikasi terhadap pembaca, maka setidaknya ada dua kelas masyarakat yang akan membaca atau menonton cuplikan video yang sengaja dibuat untuk menggiring opini publik.
Kelompok pertama, yaitu pembaca kritis. Kelompok ini tidak akan mudah percaya begitu saja, dengan informasi yang berseliweran di jagad sosial media.
Ia terlebih dahulu akan mengecek kebenaran informasi tersebut dengan mencari data pembanding, agar informasi tersebut tidak ditelan mentah-mentah.
Kelompok masyarakat seperti ini, cenderung ragu dan kritis. Sebab ia punya semacam sensor atau standar informasi yang bisa dipercaya, yaitu akurasi dan kredibilitas.
Apalagi penyebar berita hoaks berasal dari akun-akun palsu yang digerakkan melalui tenaga robot. Sudah pasti ia tidak akan percaya. Biasanya kelompok ini berasal dari masyarakat terdidik dengan wawasan luas.
Kelompok masyarakat yang kedua, yaitu kelompok tidak kritis atau menerima informasi secara mentah-mentah, lalu dijadikan sebagai pegangannya.
Kelompok ini tidak terbiasa berpikir panjang dan mengecek data agar mendapatkan data pembanding. Sehingga informasi yang tersaji di sosial media, akan disebarkan ke teman-temannya, group, atau jadi bahan obrolan dari rumah ke rumah. Mereka biasanya para netizen yang maha benar.
Salah satu alasan, mengapa berita hoaks sulit diberantas karena konsumen di kelompok kedua. Pembuat berita hoaks dan fitnah akan semakin cerdas mendesain informasi baik melalui infografis, meme, hingga postingan status dengan gambar yang mencolok.
Siapa yang disalahkan jika terjadi seperti ini? Menurut saya, kelompok kedua tidak sepenuhnya salah, sebab keterbatasan jangkauan wawasan yang kurang, kemudian para aktor intelektual di belakang yang terus memproduksi hoaks kerap memanfaatkannya.
Berita hoaks sangat sedikit kemungkinan dibuat oleh orang dengan minim pengetahuan, melainkan mereka para aktor intelektual yang rela jasanya dibayar oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Para aktor intelektual ini bisa kita sebut sebagai pelacur intelektual, melacurkan pengetahuan demi mendapatkan imbalan uang.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam halaman Facebook pribadinya, merasa resah dan jengah terhadap ulah pembuat hoax. Jokowi merasa, sejauh ini ia telah difitnah dengan sebutan keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Meski ia berulang kali membantah bahwa dirinya masih kecil sejak PKI dibubarkan. Keluarganya dikait-kaitkan dengan partai terlarang itu, dan menjadi bola liar bagi dirinya saat masuk di musim politik tiba.
Yang paling kejam lagi, bukan saja ia diidentikkan dengan PKI, Jokowi difitnah sebagai pemimpin yang anti Islam, anti terhadap ulama Islam dan melarang azan berkumandang di masjid-masjid. Padahal, Jokowi maju sebagai peserta pemilu menggandeng ulama, bekas Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin.
Isu tersebut memang secara politik menurunkan elektabilitas Jokowi di mata masyarakat, apalagi saat ini pemilu sudah di depan mata.
“PKI, antek asing dan aseng, anti-Islam, anti-Ulama, akan melarang azan jika jadi Presiden, akan menghapus pelajaran agama,” tulis Jokowi kesal.
Fitnah tersebut, menurut Jokowi, hanya sebagian kecil dari sekian fitnah yang ditujukan pada dirinya. Sosial media jadi tempat menyebarkan hoax, agar dirinya tidak mendapatkan simpati publik. Kejadian tersebut sudah berlangsung lama, sejak Jokowi dilantik sebagai Presiden bersama dengan wakilnya, Jusuf Kalla.
Jokowi berencana akan melawan para penyebar hoaks, entah bagaimana caranya. Mungkin mereka akan dijerat menggunakan UU ITE, dan diseret ke polisi untuk bertanggung jawab. Entahlah, hanya Jokowi yang tahu.
“Inilah yang saya terima dan diamkan setidaknya 4,5 tahun ini. Difitnah, saya diam. Dihujat saya diam. Tetapi hari ini saya sampaikan: fitnah dan hoaks seperti itu, saya akan lawan!”
“Bukan untuk diri saya, tapi untuk kepentingan negara,” ujarnya
Di akhir tulisannya, Jokowi mengingatkan agar kekuasaan tidak boleh dicapai menggunakan cara-cara kotor, menyebarkan fitnah. Kepada siapa tulisan Jokowi ini ditujukan, sekali lagi entahlah. Namun yang pasti, Jokowi saat ini sedang berhadapan dengan mantan rivalnya di 2014 Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga.
“Kekuasaan tidak boleh diraih dengan menghalalkan segala cara. Tidak dengan memutarbalikan fakta, apalagi mengarang cerita, atau menebar berita bohong yang ujung-ujungnya fitnah. Sekali lagi, akan saya lawan,”
Saat tulisan ini diturunkan, postingan Jokowi telah mendapatkan 42.133 komentar dan 145.972 like dari netizen.
Penulis: Ruslan