Lontar.id – Di sebuah warung kopi di bilangan Kalibata, kami bertiga terlibat dalam sebuah pergulatan debat tentang pemilu 2019. Tentang siapa yang pantas dan tidak menjadi presiden, karena pemilu sangat menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan.
Salah memilih pemimpin, akan berdampak buruk pada kehidupan sosial, ekonomi, hukum dan semua sendi kehidupan bangsa.
Awalnya kami memesan tiga gelas kopi cappuccino dan makanan ringan. Seorang teman memantik diskusi dengan mengajukan pertanyaan, tentang pilihannya nanti di bilik suara.
“Kamu pilih Jokowi atau Prabowo?” ujarnya.
“Saya pilih Jokowi karena sudah terbukti membangun infrastruktur, desa sudah menikmati dana desa dengan kucuran anggaran besar, paling penting di era Jokowi sudah berhasil membangun,” ia bertanya kemudian menjawabnya sendiri.
Teman saya yang satu ini memang bukan simpatisan Jokowi yang tiba-tiba mendukung Jokowi. Tetapi sejak pemilu 2014 lalu, ia sudah memantapkan pilihanya pada Jokowi. Ia merasa Jokowi sosok sederhana, mau bekerja dan paling penting baginya ia lahir dari masyarakat “wong cilik”.
Sementara teman saya satunya lagi, enggan memilih Jokowi. Ia merasa kecewa, sebab satu periode terakhir ini, infrastruktur yang dibanggakan hanya membangun jalan tol. Jalan tol menurut dia hanya diperuntukan pada kalangan tertentu. Orang yang bermobil.
Sementara akses jalan menuju kampungnya, sampai sekarang masih belum terjamah, becek di musim hujan dan berdebu di musim panas. “Saya nggak mau pilih Jokowi lagi, saya pilih Prabowo,” terangnya dengan nada meninggi.
Diskusipun semakin hangat, menyeret-nyeret Jokowi kerap kali menggunakan aparatus negara untuk mencekal para ulama ‘kriminalisasi ulama’ yang berani mengkritik. Acara-acara yang bernuansa keagamaan, ia khawatir akan mulai mengikis dan deretan masalah lainnya.
Lalu teman yang satunya lagi, tidak memilih Prabowo karena khawatir kembalinya rezim orde baru. Ia punya alasan, yakni soal masalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang belum selesai, serta nama Prabowo yang diseret terlibat pada kasus penculikan dan pembunuhan aktivis. Ia tak ingin jika Prabowo menjadi presiden dan kengerian masa silam terulang kembali.
“Pilihan saya tidak akan berubah, saya Prabowo,” sambil acungkan dua jari simbol nomor urut Prabowo-Sandi.
“Saya juga sama, tetap Jokowi. Jokowi dua periode,” balasnya
Diskusi pilpres pun berakhir dan menjalar ke topik lain. Sementara saya duduk diam sambil seruput kopi, mendengarkan diskusi mereka. Kendati mereka terlibat dalam diskusi hangat, dan punya pandangan politik yang berbeda. Kadang pernyataannya menohok menyerang capres lain dan menyanjung capres yang dia dukung.
“Pilihanmu boleh berbeda, tapi kita berteman kan,” sambungnya.
Beda Pilihan
Soal beda pilihan di pilpres seharusnya tidak membuat hubungan pertemanan dan keluarga retak, karena perbedaan itu suatu keniscayaan.
Tuhan saja menciptakan manusia dengan rupa berbeda-beda dan bersuku-suku, mengapa kita sebagai manusia tidak menerima perbedaan itu sendiri? Perbedaan itu bukan menciptakan jarak, melainkan menyatukan. Lewat perbedaan kita dapat menghargai satu sama lain.
Seperti dua teman saya di atas, pemilih di Indonesia telah tersegmentasi menjadi dua arus utama, pertama pendukung Jokowi disebut sebagai istilah ‘cebong’ kedua pendukung Prabowo disebut ‘kampret’.
Cebong dan kampret jadi identitas atau penanda bagi pendukung salah satu calon presiden. Cebong dan kampret kerap kali terlibat saling nyindir dan mengampanyekan prestasi kandidatnya, lewat platform sosial media.
Sindiran tersebut bukan saja menunjukkan jika mereka termasuk pemilih kritis, tetapi mengarah pada penyebaran hoax dengan menyebarkan meme, video, kultwit dan sebagainya.
Isi beranda sosial media kita disesakki dengan polusi politik, ibarat tak ada jeda. Mereka terus menerus menyebarkan informasi yang tidak berdasarkan fakta. Saya seringkali di tag melalui beranda sosial media saya, tentang keburukan dan prestasi kandidat.
Mulai dari video yang dicomot sembarangan lalu dibuatkan narasi sesuai dengan kepentingannya. Maka jadilah video tersebut untuk digunakan memfitnah lawan politiknya. Narasi yang dibangun para pendukung, bukan pada substansi, melainkan pada sentimen pada calon, sehingga memilih si A dan si B.
Kampanye capres di pilpres 2019 saat ini, seperti tak ada terobosan dan inovasi baru, ibarat memutar kembali kaset lama. Jika programnya berbeda, itu hanya pada namanya saja, tapi substansi programnya sama saja. Janji soal serapan tenaga kerja pada perusahaan, tapi jumlah pengangguran semakin banyak.
Pengentasan kemiskinan, tapi masih banyak warga yang hidup sangat memprihatinkan. Biaya sekolah murah dan gratis, tapi masih ada anak-anak tak sekolah karena iuran tinggi dan biaya masuk universitas melangit. Biaya kesehatan murah, tapi masih ada pasien tidak mendapatkan pertolongan karena kurang biaya dan banyak deretan masalah lainnya. Lalu apa yang baru?
Model kampanye hampir sama dengan pemilu 2014 lalu, program paslon tidak begitu ada perbedaan mencolok, tidak ada inovasi dan terobosan baru program yang ditawarkan hingga perdebatan sengit antara cebong dan kampret menambah kerunyaman iklim politik. Jika demikian iklim politik saat ini, apakah ada alternatif lain?
Dua capres yang tersaji di pilpres 2019, membuat pemilih tidak memiliki banyak pilihan alternatif lain, karena kalau bukan pilih Jokowi, ya, pilih Prabowo. Hanya itu saja tidak ada yang lain, benarkah demikian?
Kendati konstituen sudah tersegmentasi menjadi dua arus utama, namun pemilih yang belum melihat adanya dobrakan perubahan dari kedua figur tersebut melalui program yang ditawarkan, akan memilih untuk jadi golongan putih (Golput).
Jelang memasuki masa pemilihan pada 17 April mendatang, Golongan putih kerap disuarakan. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini kecewa dengan sistem politik dan tidak adanya calon alternatif lain.
Memang Golput bukan saja muncul saat ini, tetapi pada pemilu 5 Juli 1971 yang dimotori oleh sejumlah eksponen gerakan mahasiswa seperti Arief Budiman. Mereka protes dan kecewa dengan melakukan aksi unjuk rasa terutama di Jakarta.
Golput kini dianggap orang yang tidak mau menggunakan hak suaranya untuk memilih calon, padahal regulasi sudah mengaturnya dengan memberikan kewenangan pada setiap warga negara untuk dipilih dan memilih.
Orang yang Golput masih dianggap antipati terhadap situasi politik dan masa depan bangsa. Menurut saya, itu tidak sepenuhnya benar, sebab orang memilih Golput karena kecewa tidak adanya perubahan yang signifikan.
Mereka kecewa dengan sistem ekonomi kapitalistik yang membawa negara ke dalam cengkraman cakar IMF dan bank dunia, kemiskinan semakin menjadi-jadi, upah buruh kecil, penegakan hukum tebang pilih, hingga sumber daya alam dikuasai asing dan sederetan masalah lainnya.
Kalangan golput, pada intinya, tidak melihat bahwa kedua calon yang ditawarkan merupakan representasi sebagai pemimpin yang dapat memberikan solusi terhadap bangsa.
Namun sebagian masih menganggap bahwa angka Golput semakin meningkat, lantaran pemilihan dilakukan waktu liburan sehingga mereka memilih pergi liburan ketimbang datang ke TPS.
Seperti tulisan guru besar Filsafat Franz Magnis Suseno, yang menyebutkan orang Golput sebagai tindakan bodoh, berwatak benalu, tidak stabil dan seorang psycho-freak.
Pernyataan Franz Magnis Suseno menyindir kelompok Golput sebagai seorang bodoh dan psycho-freak, tidak sepenuhnya benar. Karena partisipasi politik tidak sekadar memberikan hak suara pada pesta politik.
Kontribusi politik bisa saja dilakukan melalui pelbagai cara, seperti membantu fakir miskin, anak yatim piatu, atau mengadvokasi warga yang tergusur rumahnya adalah bagian dari politik. Sebab politik adalah aktivitas kita setiap hari. Jika demikian, maka membantu fakir miskin merupakan bagian dari politik.
Aku rasa, kesimpulan Franz Magnis Suseno terlalu terburu-buru dan menyederhanakan makna politik yang sebenarnya.
Penulis: Ruslan